Mobil terpelanting dan menabrak pembatas jalan raya. Alesya dan Rinjani tak bisa melakukan apa-apa. Darah sudah mengucur deras di kepala Alesya dan Rinjani. Sebelum kesadaran terenggut, Alesya meminta maaf kepada sahabatnya.
"Ma-maaf!"
Rinjani menoleh ke arah sahabatnya dengan air mata berurai. Bibirnya kelu, kepalanya pusing dan kupingnya berdenging. Hingga beberapa saat kemudian keduanya menutup mata.
Orang berkerumun memenuhi jalan raya yang sore itu memang ramai, lalu lalang kendaraan. Warga mulai menelepon polisi juga ambulance untuk menolong korban kecelakaan. Satu per satu mendekat ke arah kendaraan yang dikendarai Alesya juga Rinjani.
Warga mengeluarkan tubuh dua wanita yang sudah tak sadarkan diri. Keadaan Alesya yang lebih mengkhawatirkan, karena kepalanya mengalami luka yang cukup serius. Darah terus mengalir dan kakinya mengalami luka yang lumayan parah.
Sedangkan Rinjani hanya luka di kening bagian kiri mengeluarkan darah yang tak seberapa. Bagian wajah dan tangan pun ada luka yang entah serius apa tidak. Tak lama, polisi datang, mengamankan barang pribadi milik penumpang dan membawa dua wanita yang tak sadarkan diri ke rumah sakit terdekat.
Sedangkan mobil yang hampir menabrak kendaraan Rinjani pun tak kalah mengenaskan termasuk sopirnya. Polisi mulai mencari daftar panggilan dari kedua ponsel wanita itu. Nama Bastian menjadi satu nama yang sering dihubungi oleh keduanya.
Tak menunggu lama, polisi pun melakukan panggilan kepada Bastian. Dering pertama hingga ke tiga, baru diangkat oleh lelaki tampan itu.
"Saudara Bastian!" Polisi langsung bicara menyebut nama lelaki yang namanya menjadi daftar panggilan tercepat.
"Iya, Pak! Bu-bukankah ini nomer sahabat saya, Rinjani? Ada apa dengan dia, Pak?" tanya Bastian dengan suara bergetar.
"Sahabat Anda dan satu temannya mengalami kecelakaan di jalan raya dekat mall. Sekarang mereka di bawa ke rumah sakit Harapan," jelas pak polisi.
"A-apa, Pak?" Bastian seolah tak percaya dengan yang dia dengar.
"Silakan ke rumah sakit, Tuan! Nanti akan kami jelaskan!" Pak polisi mematikan sambungan telepon.
Kemudian mengamankan dompet, tas dan barang lain yang ditemukan dalam mobil itu untuk menjadi bukti kemudian diberikan kepada keluarganya.
*
"Ti-tidak mungkin? Bagaimana ini bisa terjadi?" Bastian mengusap wajahnya karena tak percaya dengan berita yang dia dengar.
Lelaki itu tangannya bergetar, kemudian menghubungi keluarga Rinjani dan Alesya. Bastian keluar dari ruangannya, menuju meja asistennya.
"Galih, batalkan semua jadwal hari ini, karena kita akan ke rumah sakit!" titah Bastian dengan wajah panik, bahkan pucat.
"Siapa yang sakit, Tuan?" tanya Galih penasaran.
"Rinjani dan Alesya mengalami kecelakaan. Kita harus segera ke rumah sakit Harapan," jawab Bastian panik.
Wajah Galih berubah khawatir, karena lelaki itu tahu siapa dua wanita yang belum diketahui keadaannya itu. Bastian kemudian berjalan menuju lift untuk sampai di lantai bawah agar keduaya bisa langsung menuju rumah sakit.
*
Langkah lebar Bastian dan Galih menuju IGD untuk melihat keadaan dua wanita yang selama ini mengisi harinya. Dengan banyak doa terucap dalam hati, Bastian ingin, keduanya selamat dan tidak terjadi apa-apa.
Nafas terengah saat dia berhasil berhenti di depan IGD. Dua polisi sudah menunggu di sana.
"Saya teman dari Rinjani dan Alesya Pak!" Bastian menatap cemas ke arah dua petugas polisi.
Kedua polisi itu saling pandang, kemudian menjelaskan keadaan dua wanita yang dimaksud.
"Keduanya luka parah. Hanya saja, saat kami bawa ke rumah sakit, yang satunya sudah kritis karena mengeluarkan banyak darah. Mobil sahabat Anda, menghindari kendaraan yang dari lawan arah, kemudian menabrak pembatas jalan hingga terguling."
"Dan ini barang-barang milik kedua teman Anda," ucap petugas polisi memberikan dua kantong plastik berwarna bening kepada Bastian.
Bastian masih diam, tak menjawab ucapan petugas. Bahkan yang menerima barang itu adalah asistennya. Menit berlalu, kedua keluarga dari Rinjani maupun Alesya datang. Mereka sangat khawatir dengan keadaan putri mereka.
"Bagaimana keadaan Rinjani juga Alesya, Bas?" tanya Almira—ibu kandung Rinjani
"Belum tahu, Tante. Semoga tak lama dokter keluar," jawab Bastian.
Sedangkan Adel—ibu dari Alesya hanya bisa menangis duduk di kursi yang ada di depan ruang IGD. Bastian pun mendekat ke arah asistennya agar ke lokasi kecelakaan melihat situasi atau mencari informasi kenapa kecelakaan ini menimpa kedua wanita yag dia anggap penting dalam hidupnya.
"Galih, tolong kamu ke lokasi untuk mencari tahu kenapa kecelakaan ini bisa terjadi!" titah Bastian dengan suara lirih.
"Baik, Tuan!" Galih menunduk hormat kemudian berlalu dari rumah sakit.
Orang tua Bastian juga datang saat anaknya memberikan kabar mengenai kecelakaan yang dialami dua wanita yang begitu dekat dengannya. Fira— ibu kandung Bastian mendekat ke arah orang tua Alesya dan Rinjani untuk menberikan kekuatan agar tidak terlalu khawatir.
"Yang sabar ya, semoga keadaan keduanya tidak ada hal yang mengkhawatirkan," ucap Fira menggenggam tangan calon besannya.
"Kenapa dokter lama sekali?" tanya Almira menatap ke arah pintu IGD.
Tak lama dokter yang menangani Alesya dan Rinjani keluar dari ruang IGD. Semua yang menunggu dengan cemas lantas mendekat kemudian mengerumuni sang dokter, untuk memberikan keterangan mengenai keadaan pasien.
"Bagaimana, keadaan kedua wanita itu, Dok?" tanya Latif ayah Rinjani.
Dokter seolah bingung untuk menyampaikan berita yang akan membuat keluarga pasti syock.
"Maafkan saya, untuk ketidaknyamanan kalian atas berita yang akan saya sampaikan ini. Wanita yang berambut pendek mengalami kritis, ada luka di bagian wajah, tangan dan kepala."
"Semoga besok dia siuman dan kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut," ucap Dokter.
Kedua orang tua Rinjani merasa bersyukur karena anaknya selamat, meski masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan.
"Sedangkan wanita yang berambut panjang, kami —"
"Ada apa dengan anak saya Dok?" tanya Bagas ayah Alesya memotong pembicaraan dokter.
Hembusa nafas panjang keluar dari bibir dokter yang menangani korban kecelakaan itu.
"Kami sudah berusaha dengan maksimal, Tuan. Tetapi, Tuhan lebih sayang padanya. Putri Anda tidak bisa kami selamatkan karena mengalami pendarahan di bagian kepala yang sangat hebat!"
Penjelasan dokter itu bak petir di siang bolong untuk orang tua Alesya dan juga Bastian sebagai calon suami. Lelaki itu melotot tak percaya, dia berjalan ke arah dokter kemudian mengguncang bahu sang dokter.
"Anda tidak bercanda kan, Dok?" Bastian bertanya dengan tatapan tak percaya.
"Untuk apa saya bercanda dengan kematian seseorang, Tuan!" Dokter menjawab dengan wajah yang tak bisa digambarkan.
Karena sebagai seorang dokter, dia merasa gagal tak bisa menyelamatkan pasiennya.
"Silakan lihat keadaan pasien, untuk Nona Rinjani bisa diurus kamar inapnya. Dan maaf, untuk kegagalan saya menyelamatkan Nona Alesya," ucap Dokter menunduk lesu.
Bastian masuk ke dalam melihat seseorang yang dia cinta telah ditutup dengan kain putih. Lelaki itu membukanya dengan tangan bergetar menahan tangis.
"Sa-sayang ...." Bastian menangis tersedu di dekat wajah Alesya yang telah pucat dengan mata terpejam erat.
Lelaki itu juga melihat darah masih saja nerembes dari kepala Alesya. Mamanya Alesya pun menangis histeris dipelukan suaminya. Semua tak mengira kalau rencana pernikahan yang sudah di depan mata, nyatanya digantikan dengan pemakaman putrinya.
Bastian melampiaskan rasa kecewa dan rasa tak terimanya dengan menangis tersedu di samping alesya yang terbujur kaku. Impiannya bersanding dengan Alesya di pelaminan gagal. Meninggalkan kenangan yang mungkin saja akan lama sembuh atau bahkan sulit dilupakan.