Bab. 5. Berduka.

1176 Kata
Puas menumpahkan rasa sedihnya, Bastian beranjak dari sisi calon istrinya yang sudah tak bernyawa. Kedua orang tua Alesya yang meraung menumpahkan segala rasa atas kehilangan untuk putri satu-satunya yang mereka miliki. Tak ada hal yang paling menyakitkan sebagai orang tua harus mengantar buah hatinya ke peristirahatan terakhirnya. "Sudah, Ma. Semua sudah menjadi takdir putri kita. Allah lebih menyayangi dia, Ma!" ucap Bagas merangkul bahu istrinya. "Tapi kenapa harus berpisah secara tiba-tiba dan tragis seperti ini, Pa?" Adel tak terima dengan yang dialami putrinya. "Dia sudah tenang, Ma. Jangan terus menyesali apa yang sudah menjadi takdir Allah," ucap Bagas dengan suara lirih. Sebenarnya, sebagai seorang ayah pun, dia belun rela putrinya pergi untuk selamanya. Apalagi rencana pernikahan sudah di depan mata. Tapi, Allah lebih menyayangi Alesya. "Yang sabar, Bagas! Aku akan mengurus kepulangan jenazah Alesya. Kamu temani Adel dan tenangkan dia," ucap David ayah Bastian. * "Bastian ...!" Fira memanggil putranya yang duduk dengan menundukkan wajahnya. Terlihat bagaimana terpukulnya lelaki tampan itu karena kehilangan wanita yang dicintainya. "Mama ...!" Bastian langsung memeluk pinggang wanita yang sudah melahirkannya itu dengan erat. Menumpahkan tangisnya yang sudah mereda. Fira menghela nafas panjang, dia juga merasa sedih karena kehilangan Alesya secara tiba-tiba. Tapi mau bagaimana lagi, semua manusia hanya bisa merencanakan. Fira pun ikut menangis, menepuk pelan pundak putranya. "Alesya tidak suka kalau kita terlalu terpuruk dengan kepergiannya, Sayang. Biarkan saja dia bersama Allah yang lebih menyayanginya. Apa kamu tidak mau melihat keadaan sahabatmu?" Pelukan Bastian mengendur, lelaki tampan itu mengusap air matanya kemudian menatap wajah ayu wanita yang telah melahirkannya. "Dia kritis dan tidak sadarkan diri. Kita semua hanya fokus pada kepergian Alesya. Sedangkan ada raga yang terbujur tak berdaya dengan luka serius, sedang berjuang untuk hidup," jelas Fira menatap teduh kepada Bastian. Antar aku ke ruangannya, Ma!" Bastian mulai berdiri, menarik nafas dalam, kemudian dihembuskan secara perlahan. Setelah perasaannya mulai tertata, Bastian dan Mamanya mulai meninggalkan ruang IGD menuju ruang rawat Rinjani. "Bagiamana keadaan Rinjani, Tan?" tanya Bastian kepada Almira—Mamanya Rinjani. "Kalau dalam 8 jam tidak sadarkan diri, dia dinyatakan koma, Bas." Almira menjawab dengan nada lirih penuh kesedihan. Fira mendekat, memeluk wanita yang melahirkan Rinjani kemudian memberikan semangat untuk kesembuhan Rinjani. "Dia pasti bertahan, Almira, jangan berpikir buruk mengenai putrimu." "Terima kasih, Fira. Aku turut berduka atas meninggalnya Alesya!" Amira pun merasa kehilangan. Karena Rinjani, Bastian dan Almira berteman sejak SMP. Hingga berpengaruh pada hubungan kedua orang tuanya. "Iya, terima kasih. Kami harus segera pergi ke rumah duka, Almira. Telfon saja aku kalau ada hal darurat," ucap Fira. "Iya. Pergilah! Besok kami akan ke rumah Alesya, Ayahnya sedang membantu suamimu mengurus kepulangan gadis itu," jawab Almira menatap sendu ke arah Fira. Sedangkan Bastian hanya diam berdiri menatap tubuh Rinjani yang mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya. Entah apa yang ada dipikiran lelaki tampan itu, yang jelas, Bastian merasa benar-benar terpukul dengan apa yang terjadi sore ini. * Pagi harinya, sekitar jam sembilan, Rinjani membuka mata. Dia meringis kesakitan karena tubuhnya linu bahkan terasa kaku. Perih di wajah dan tangannya tak sebanding dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Saat dokter meneriksa, wanita itu ingat dengan kecelakaan yang dialaminya kemarin sore. "A-alesya ...!" Rinjani menyebut nama sahabatnya dengan tatapan tanya kepada dokter juga kedua orang tuanya. "Dia tidak bisa diselamatkan, Nona!" Dokter memberitahu keadaan Alesya yang sebenarnya kepada Rinjani. Wanita cantik itu hanya menggeleng, dengan air mata berlinang. "Ma, Pa, katakan semua ini tidak benar!" Almira mendekat, memeluk putrinya yang baru saja siuman. "Dokter mengatakan hal yang sebanarnya, Sayang." "Tidak, Ma! Dia minta maaf kepadaku sebelum kami tak sadarkan diri," ucap Rinjani dengan tangisnya. "Sahabat Anda sudah tiada kemarin sore, Nona. Kami sengaja tidak menyembunyikan berita ini, karena Anda tidak mengalami luka serius. "Apakah aku boleh hadir ke pemakamannya?" tanya Rinjani menatap dengan tatapan sendu. Bahkan, air mata sudah mengalir deras membasahi pipi. Almira menoleh kepada sang dokter seolah bertanya lewat tatapan mata. Namun reaksi gelengan kepala dari dokter membuat Almira menghembuskan nafas lega. Bukan dia tak mengizinkan putrinya hadir di pemakaman sahabatnya. Hanya saja, sebagai seorang ibu, dia merasa khawatir, kalau Rinjani akan dipersalahkan karena kematian Alesya. Meski semua tahu, jika kecelakaan ini bukan keinginan dari Rinjani. Polisi mengatakan, kalau Alesya lah, yang mengendarai mobil Rinjani. Keterangan lebih lanjut, saat polisi sore nanti akan datang untuk meminta keterangan kepada Rinjani. "Tidak bisa, Sayang. Kamu baru siuman, dan lihat sendiri lukamu saja belum mengering. Mama dan Papa saja yang ke sana, kamu ditemani bibi dulu ya?" Almira mencoba merayu putrinya. Meski tak tega melihat air mata yang jatuh, Almira hari ini menjadi ibu yang egois demi kenyamanan anaknya. Almira juga tahu, kalau spsikis putrinya tentu terguncang dengan kecelakaan, kemudian berita duka dari sahabatnya. Rinjani hanya diam dengan air mata yang terus menggenang. Latif— papanya Rinjani masuk ke ruangan putrinya dengan tatapan tanya kepada istrinya. Setelah mendapat penjelasan singkat mengenai Rinjani, Latif mendekati anak semata wayangnya. "Sayang, ini berat untukmu dan untuk kita semua. Apalagi Bastian. Tetapi, kamu harus fokus dengan kesembuhan tubuhmu dulu. Papa dan Mama bahagia pada akhirnya, kamu melewati masa kritis, kemudian kembali bersama kita." "Saat kami datang kepemakaman Alesya, akan kami sampaikan rasa bela sungkawamu kepada kedua orang tuanya juga Bastian. Untuk beberapa jam kedepan, Bi Iroh yang akan menemani ya?" Rinjani hanya mengangguk lemah, menghapus air matanya. Sedangkan Latif mengecup singkat kening putrinya sebelum dia meninggalkan ruangan VVIP. * Suasana pemakaman Alesya diiringi tangis pilu dari Adel. Wanita yang melahirkan Alesya itu belum bisa menerima kalau putrinya harus pergi, tepat satu minggu sebelum hari pernikahannya. Bastian hanya menunduk sedih dengan pakaian serba hitamnya. Lelaki itu memakai kaca mata hitam sebagai penutup kedua matanya yang membengkak karena tangisnya. Kesedihan begitu kental karena Alesya pergi tanpa pesan kepada siapapun. Kedua orang tua Rinjani juga sudah datang, Almira meminta maaf kepada keluarga Alesya karena kepergian Alesya. Namun keluarga Alesya tidak menyalahkan siapapun. Kecelakaan itu memang sudah menjadi takdir Tuhan. Apalagi, Alesya lah yang memegang kendali kemudi. Hanya hitungan menit, tubuh Alesya terpendam di dalam tanah. Taburan bunga kesukaan wanita itu memenuhi tanah merah yang masih basah. Bastian langsung mengundurkan diri, meninggalkan pemakaman menuju mobilnya yang terparkir di bahu jalan. Galih terus mendampingi bosnya agar tak terjadi sesuatu yang buruk, karena suasana hati yang sedang bersedih. "Apa yang kau temukan saat aku memintamu ke lokasi kecelakaan Rinjani juga Alesya, Galih?" tanya Bastian dengan tatapan sedih. "Tidak ada yang aneh, Tuan. Mobil itu langsung saya pangilkan derek, kemudian saya cek apa saja yang salah dengan kondisi mesin bahkan remnya. Tapi semua normal, Tuan!" Galih menjelaskan dengan rinci. "Benarkah? Tapi aku tidak percaya, Galih? Kalau semua mesin normal, kenapa Alesya tidak bisa mengendalikan mobil dengan baik?" Bastian masih ragu dengan keadaan mobil Rinjani. "Ini beberapa foto keadaan mobilnya, Tuan!" Bastian memperlihatkan keadaan mobil yang hancur parah di bagian depan sebelah kanan. Kemungkinan Alesya tewas karena terbentur cukup keras sehingga gagar otak dan tak bisa diselamatkan. Bastian hanya memandangi beberapa foto itu, tak ada satu kata yang terucap kecuali rasa sangsinya kepada mobil Rinjani. 'Aku akan menyelidiki kecelakaan ini sampai tuntas, jika kamu sengaja membuat Alesya pergi, akan aku balas kematian calon istriku dengan caraku sendiri,' monolog Bastian dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN