"Ayana, ada kiriman bunga untukmu!"
Seruan itu nyatanya membuat Ayana berbalik. Bukan karena penasaran akan siapa yang mengirimkan bunga itu, tapi ia ingat kalau ada sesuatu hal yang ingin dia bahas dengan si pemanggil.
"Jane, saya baru ingat sesuatu sekarang. Pasien di lorong anggrek no.5 belum dilihat perkembangannya. Saya minta tolong untuk kamu melihatnya sebentar, sebab saya dipanggil pak Erik ke ruangannya." Ayana tidak melirik sedikitpun pada bouquet bunga yang dipegang oleh Jane.
"Itu mah urusan gampang. Tapi, ini ada kiriman bunga untukmu." Jane mengingatkan sekali lagi. Memberikan itu pada Ayana yang tampak kebingungan. Dengan cuek dan rasa tidak pedulinya, ia memberikan itu pada Jane. "Saya rasa, saya tidak pernah memesan bunga dan tidak ada seseorang yang akan mau mengirimkan bunga seperti ini kepada saya. Mungkin saja salah alamat. Mungkin kamu bisa bantu saya mengembalikannya atau kalau tidak sempat, kamu saja yang ambil. Saya tidak pernah merasa memilikinya."
Setelah mengatakan itu, Ayana pergi, hampir berlari menuju lift yang akan membawanya ke lantai teratas, tepatnya lantai ruangan kerja Erik sebagai pemilik rumah sakit tempatnya bekerja.
Sesampainya di depan ruangan Erik, mengetuk pintu guna tidak ada yang kebingungan akan kehadirannya.
Erik membukakan pintu untuknya, langsung masuk dan mengambil posisi yang tepat.
"Selamat siang, pak Erik. Saya dengar, bapak memanggil saya, ya? Terkait apa, pak?" Ayana langsung bertanya to the point, tidak dengan berbasa-basi terlebih dahulu. Ini lah Ayana.
"Sebenarnya tidak ada, Ayana. Aku meminta rekan kerjaku untuk memanggil karena aku mau berdiskusi denganmu. Mungkin sekitar 30 menitan kalau kamu bersedia." Ujar Erik.
Tidak gegabah, Ayana berkata, "maaf, pak. Saya pikir, saya harus menghubungi rekan kerja saya supaya menggantikan saya sementara saya bersama bapak. Apakah boleh?" Tanyanya.
"Iya, silakan."
"Terimakasih, bapak. Saya permisi dulu."
Ayana keluar lagi dari ruangan Erik, beranjak menuju ke lantai bawah untuk menghubungi rekannya. Ia tidak membawa HP atau alat komunikasi lainnya selama kerja, meski dari peraturan di perbolehkan namun tidak berlebihan.
Tapi, bagi Ayana, itu tidaklah profesional baginya. Selama jam kerja, dia akan kerja dengan profesional, membantu para dokter dan orang-orang yang membutuhkannya, sedangkan HP ia tinggalkan di ruang karyawan.
Ayana yang selalu mencoba untuk profesional dan formal. Dengan sikapnya yang dingin dan selalu membantu, tapi banyak yang membencinya karena menjadi anak emas dari Erik.
Sama seperti sekarang. Setelah ia memberitahukan rekannya, tidak langsung ditangkap dengan sikap yang baik oh mereka, bahkan mengejek Ayana dengan kecurigaan-kecurigaan yang tidak mendasar.
"Saya tidak punya hubungan apapun dari pak Erik. Beliau sendiri yang meminta saya untuk berdiskusi beberapa hal. Singkat saja, cuman 30 menit. Saya takut, selama waktu itu, pasien saya ada yang memanggil saya. Karena itu saya turun untuk meminta pertolongan kalian selama 30 menit itu saja. Apakah tidak bisa?" Ayana mencoba berdiskusi kembali meski sudah diejek.
Tidak ada yang menjawabnya. Kecewa? Tentu saja.
Datanglah Jane yang membawa bouquet bunga itu. "Loh kok kamu masih di sini, Ayana? Kenapa gak ke ruangan Erik?" Tanyanya.
"Beliau meminta untuk berdiskusi dengan saya sekiranya selama 30 menitan, tapi saya khawatir selama itu ada pasien yang memanggil saya. Karena itu saya meminta tolong kepada yang lainnya, tidak ada yang mau. Saya bingung."
"Ya udah. Nanti aku saja yang jaga untuk kamu. Sebagai ganti karena sudah kasih aku bunga yang mahal ini!" Jane tampak kegirangan, menghirup aroma bunga itu lagi.
Merasa tenang, Ayana sekarang bisa tersenyum. "Terimakasih ya, Jane. Kesepahaman saya juga akan sering membantu kamu." Ayana beranjak meninggalkan ruangan itu, namun ketika mencapai di depan pintu, sayup-sayup ia mendengar, "pengirimnya ganteng banget! Dengar-dengar sih katanya anak pak Erik."
"Ih, beruntung banget memang si muka datar. Udah dekat sama pak Erik, sekarang si kirimin bunga sama anaknya pula. Pengen deh sehari jadi Ayana, tapi gak mau dingin juga!"
Ayana tidak peduli dengan pendapat mereka tentangnya. Terlepas dari sebutan si muda datar atau si dingin dan banyak lagi panggilan tidak mengenakkan lainnya, Ayana berusaha untuk tidak memendamnya dalam hati.
Saat Ayana hendak masuk lift, ia mendengar suara tangis seorang anak. Ia menoleh ke sembarang arah dan menemukan anak itu menangis di ujung lorong.
"Kasihan sekali. Kemana orangtuanya?" Tanya Ayana. Ia tidak jadi masuk lift, menghampiri anak kecil yang sedang menangis itu.
Di usapnya rambut anak perempuan itu dengan lembut, "ada apa, dek? Kok nangis?" Tanya Ayana. Dia mengulas senyum manis.
Anak kecil itu langsung memeluk Ayana. "Kata mama, papa sudah pergi ke surga. Dia tidak mau mengajak Gea ikut. Mama juga tidak mau ajak Gea pergi dari sini. Mama dan papa ninggalin Gea."
Deg.
Ayana langsung membeku mendengar itu. Tangannya yang mengusap punggung anak perempuan yang bernama Gea itu.
"Kenapa banyak yang tidak adil di dunia ini? Bahkan kepada anak kecil yang masih butuh banyak perhatian dari kedua orangtuanya." Batin Ayana.
***
"Tunggu kakak di sini dulu ya, dek. Sebentar lagi kakak akan datang dan ketemu Gea. Ya?"
Ayana membawa anak kecil itu ke ruang informas dan meminta mereka untuk menghubungi mamanya Gea.
Gea mengangguk. "Jangan lama-lama ya kak. Gea gak ada teman main." Ujarnya dengan muka yang masih bersedih.
"Iya. Kakak janji gak lama-lama."
Ayana melanjutkan tujuan awalnya untuk ke ruangan Erik. Tak sengaja ia berpapasan dengan seorang pria saat baru saja keluar dari ruang informasi.
"Kenapa dia begitu sulit untuk ditaklukkan? Tantangan ini sangatlah seru bagiku."
Ayana terburu-buru untuk sampai ke ruangan Erik. Sesampainya di sana, kembali mengetuk pintu dan menunggu Erik untuk membukakan pintu untuknya.
"Maafkan saya agak lama, pak. Saya kebetulan bertemu dengan anak perempuan yang baru saja ditinggalkan papanya dan mamanya meninggalkannya sendirian di sini. Saya sudah membawanya ke ruang informasi untuk menghubungi mamanya. Kalau semisalnya tidak ada respon baik dari mamanya dan tidak mau mengurus Gea lagi, saya akan membawanya ke panti asuhan untuk sementara waktu sebelum saya mencoba berdiskusi dengan mamanya lagi. Kasihan, dia masih kecil " Ungkap Ayana, sontak membuat Erik tersentuh dengan sikap sigap Ayana.
"Kenapa kamu bisa baik sekali, Aya? Saya benar-benar kagum dengan sikap dan sifat kamu." Ujar Erik.
Ayana tersenyum. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dia masih kecil dan pantas mendapatkan kasih sayang orangtuanya."
Erik mengangguk.
Tok...
Tok...
Tok...
Erik hendak bangun untuk membuka pintu, namun sudah terlambat. Pintu sudah terbuka dan masuklah seorang pria.
Melihat pria itu, Ayana cukup terkejut. Ia sampai ikut berdiri. "Alfarezi?"
Alfarezi tidak menghiraukan tatapan papanya yang menyuruhnya untuk langsung duduk di sofa dekatnya. Malah, pria itu mendekati Ayana.
Badannya yang lebih tinggi dibandingkan Ayana, membuat Ayana hanya setinggi d*danya.
"Kenapa kamu menolak bunga dariku?" Alfarezi langsung mempertanyakan itu.
Ayana agak gugup sekarang.
"Saya tidak tahu itu bunga dari Anda karena tidak ada nama pengirimnya. Lagipula, untuk apa Anda mengirimnya? Saya rasa tidak ada hubungan yang dekat diantara kita berdua. Jadi, Anda tidak perlu membuang-buang uang Anda untuk-hal yang tidak bisa saya terima, kecuali dalam hal pekerjaan." Jawab Ayana.
"Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus menerima apapun yang aku beri karena mulai hari ini aku lah yang menjadi atasanmu, bukan papaku lagi!"
Sontak Ayana melihat Erik yang mengangguk padanya. "Dia adalah putraku, Aya. Pewarisku."