"Silakan Anda bayar biaya pengobatannya dan silakan pulang." Ayana berkata demikian setelah selesai mengobati luka dari Alfarezi.
Ia menemui Hendra yang sedari tadi menunggunya selesai mengobati pria yang seharusnya menjadi pasiennya sebab itu adalah waktu kerjanya. Mengulas senyum tipis dan berkata, "saya sudah selesai obati. Jika tidak ada keluarga yang datang menjemput, tolong bantu dia mencarikan taksi untuknya. Dia tidak bisa memakai motornya kembali pulang."
"Oke, Ayana. Terimakasih banyak ya sudah banyak bantu aku hari ini. Sekarang sudah terlalu malam, perlu aku bantu cari taksi?" Hendra menawarkan.
Sebelum akhirnya Ayana menjawab, pria yang bernama Alfarezi itu sudah menyambar. "Dia akan pulang denganku."
Ayana menatap cara Alfarezi yang tampak kesusahan berjalan ke arahnya. Beberapa kali pria itu meringis dan menggerutu. "Dia akan pulang denganku, jadi kamu tidak perlu mencarikannya taksi." Ujarnya sekali lagi pada Hendra.
"Maaf. Bukannya saya menolak, tapi Anda masih belum terlalu bisa berjalan ke depan. Bagaimana bisa Anda mencari taksi? Lebih baik Anda diam di sini dan dibantu oleh pihak rumah sakit untuk mencarikan Anda taksi atau jika Anda mau dibawa pulang dengan ambulans. Silakan memilih, saya tidak bisa pulang dengan pria yang tidak saya kenal."
"Sombong sekali!" Cerca Alfarezi. Dia berdecak tidak suka. "Padahal sebelumnya dia sudah tahu namaku."
"Aku Alfarezi!"
Mendengar itu, Ayana hanya mengangguk. Namun, tidak ada reaksi lain selain itu. Dia tidak tersenyum, tidak pula tertawa. Malah, dia menoleh ke Hendra dan berkata, "tolong bantu saya untuk membawanya pulang, bisa dengan ambulans rumah sakit atau sejenisnya. Saya mau pulang, tidak baik rasanya kalau saya tetap ada di sini sebab besok pagi saya harus menggantikan yang lainnya kerja."
Hendra paham.
Sebelum Ayana pergi, memberikan satu buah permen yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. "Hisap ini selagi di perjalanan. Mungkin tidak akan ada yang mengajak Anda bicara sedangkan Anda orangnya terlihat sering bicara. Maaf, saya hanya bisa membantu Anda sampai sini. Semoga kedepannya Anda berhati-hati dalam berkendara."
Ayana tersenyum tipis dan berbalik pergi. Langkahnya diperhatikan penuh oleh Hendra dan terutama Alfarezi.
"Baru kali ini aku menemukan perempuan yang se-dingin dia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana caranya cowoknya bisa tahan dengan sikapnya yang cuek gitu." Alfarezi berkata dalam hatinya.
Ia pun juga demikian, tanpa mengatakan apapun lagi pada Hendra, langsung pergi begitu saja.
"Kamu tidak perlu mengejar ku. Aku akan bayar biaya pengobatan ini!" Serunya, padahal Hendra sama sekali tidak mengejarnya.
***
Krettt....
Alfarezi pulang dengan taksi. Ia tidak jadi menelpon sopir keluarganya untuk menjemput, dengan dalih tidak ingin membuat keributan di tengah malam.
Ia menunggu dengan Ayana, berdampingan di halte depan rumah sakit dan sama sekali tidak ada pembicara yang terjadi diantara keduanya.
Beberapa kali Alfarezi mendelik, bahkan menoleh. Ayana sama sekali tidak menggubrisnya. Bahkan sampai masuk taksi, Ayana tidak mengatakan sepatah kata pun pada Alfarezi.
Alfarezi tidak langsung naik ke lantai atas, tepatnya kamarnya. Ia tidur-tiduran di sofa depan televisi. Dengan kaki yang diangkat satu ke punduk sofa, lengan yang ia gunakan untuk menutup matanya bergumam, "semuanya karena Cantika. Coba saja dia tidak menerima Derry, aku tidak akan mungkin jatuh dari motor seperti itu. Aku kan jadi tidak bisa ikutan balapan kalau kaki ku sakit begini." Gerutunya.
"Mana aku ketemu sama cewek cuek se-dingin es lagi! Apes banget deh hari ini."
Terus menggerutu, ia tidak sadar kalau dirinya ketiduran. Bahkan tidak sadar juga kalau Sakila menyelimutinya.
***
Sekitar jam 5 subuh, tidur Alfarezi terganggu karena suara ponselnya yang berdering. Dengan begitu malas, tanpa melihat nama, dia menerima telpon itu.
"Hmmm...."
"Kamu jatuh dari motor?!"
Suara cempreng dan manja itu membuat mata Alfarezi sonta terbuka sempurna. Memastikan nama yang sekarang menelponnya. Melihat nama itu, ia menjadi kebingungan.
"Kok kamu telpon aku? Bukannya kamu sudah putuskan hubungan apapun diantara kita berdua? Termasuk pertemanan." Jelas sekali dari nada bicaranya kalau Alfarezi bersedih.
"Iya. Itu sebelumnya. Tapi setelah aku melihat kamu pergi dengan begitu marahnya, aku memikirkan kamu, Alfa. Aku sampai menelpon penjaga di rumahmu, memastikan kamu pulang dengan selamat atau tidak. Tapi apa yang aku dapatkan? Mereka bilang kamu jatuh dari motor dan baru saja pulang dari rumah sakit. Aku khawatir."
Alfarezi sedikit mengulas senyumnya. Dia merasa senang dikhawatirkan oleh perempuan yang ia sukai.
"Kamu tidak seharusnya khawatir, Cantika. Nanti Derry memarahimu. Kalau dia marah, dia bisa main tangan."
"Untuk kamu ketahui, Derry bukanlah pacarku. Dia menyuruhku untuk membuatmu cemburu sebagai balasan karena dia sudah membantu mama ku. Aku tidak suka dengannya, Alfa. Aku suka denganmu." Pengakuan dari Cantika membuat Alfarezi tertegun. Dia langsung bangun dari posisinya yang sebelumnya berbaring.
"Apa?! Kamu suka denganku?" Alfarezi salah tingkah mengatakannya, sampai menahan senyumnya.
"Iya, Alfa. Aku suka denganmu, sangat suka. Alfa, aku tahu kamu sangat menyukaiku, pun juga denganku yang sangat menyukaimu. Aku ingin kamu menjadi pacarku, tapi dengan satu syarat."
Mendengar kata pacar, Alfarezi menjadi begitu bersemangat. Ia sampai tidak curiga sedikitpun kalau ada sesuatu yang salah yang terselip dibalik kata yang diucapkan oleh Cantika. "Apa, Cantika?"
"Aku baru tahu kalau ternyata kamu adalah pewaris tunggal dari keluargamu, salah satunya adalah rumah sakit itu. Aku ingin, rumah sakit itu harus menjadi milikmu. Atas nama kamu, Alfa. Setelah itu, aku akan menerima kamu menjadi pacarku. Bahkan menikah pun, ayo lakukan!"
***
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Alfarezi ikut sarapan bersama. Antara bingung atau senang, baik Erik ataupun Sakila tidak tahu mau bereaksi seperti apa.
"Kamu tumben ikut sarapan." Erik masih marah dengan masalah kemarin malam.
Alfarezi terkekeh. "Apa sekarang aku tidak punya hak untuk sarapan di rumahku sendiri? Sedangkan si wanita itu masih bisa dengan mudahnya keluar masuk rumahku?" Alfarezi menunjuk ke arah Sakila, bahkan dengan tangan kiri.
"Jaga sopan satunmu, Alfa!" Bentak papanya.
"Sayang, sabar..." Sakila berusaha menenangkan suaminya, meski ia sudah mendapatkan perlakuan yang terbilang kasar dari anak tirinya.
"Aku tidak bisa terus bersabar, Sakila. Dia anak yang kurang ajar, tidak tahu adab dan sopan santun! Sekarang dia tiba-tiba berubah, bukankah itu sangat mencurigakan? Seperti ada sesuatu yang dia inginkan."
Alfarezi tertawa, menyela Erik. "Benar, pa. Alfa ingin sesuatu."
"Tuh, kan!" Seru Erik langsung.
"Aku ingin rumah sakit keluarga kita menjadi nama ku. Meski bagaimana pun, cepat atau lambat, akan diwarisi atas namaku. Daripada dibuat lama-lama, kenapa tidak sekarang saja aku diberikan rumah sakit itu?"
Permintaan Alfarezi langsung ditanggapi dengan tawa yang begitu keras dari Erik. Ia sampai mengeluarkan air mata saking merasa lucu dengan permintaan dari putranya sendiri.
"Kamu pikir mengurus rumah sakit semudah kamu mengatur motor balapanmu itu?"
Alfarezi tersinggung dengan apa yang Erik katakan. Dengan mengepalkan tangannya.
"Kalau aku memberikan kamu mengurus rumah sakit itu, bisa aku bayangkan kalau kamu memaksa semua tenaga kesehatan yang ada di sana untuk ikut balapan denganmu dan memaksa pasien-pasien yang ada disana untuk menonton kesombonganmu itu!"
Erik terus mengejek Alfarezi, semakin membuat Alfarezi merasa tersinggung. Ia memanas.
Tidak bisa menahan hinaan itu lagu, Alfarezi menyela. "Aku serius dengan ucapanku. Aku ingin menjadi pewaris rumah sakit itu. Akan aku buktikan kalau aku bisa mengurusnya dengan baik, bahkan lebih baik darimu. Segera!"
Erik langsung terdiam.
Erik terkekeh sebentar, kemudian berkata. "Dengan satu syarat...."