"Saya pewaris tunggal rumah sakit ini."
Sekali lagi, Alfarezi memperjelas posisi baru yang didapatkannya dengan senyum keangkuhan yang dimilikinya.
Segera Ayana memperbaiki ekspresinya dari yang sedikit terkejut menjadi biasa saja. Bahkan bisa terbilang, TIDAK PEDULI SEDIKITPUN.
"Oh begitu. Saya tidak tahu karena itu bukan tanah saya. Tapi apa hubungannya dengan saya di panggil ke sini ya, pak?" Ayana mempertanyakan itu kepada Erik yang sepertinya tampak menyusun kata di kepalanya.
"Sebaiknya kita duduk."
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Erik, ketiganya duduk. Alfarezi duduk di sofa panjang yang sama dengan Ayana. Namun, Ayana tampak tidak suka dengan hal itu. Ia memojok hingga benar-benar bersentuhan dengan penyangga samping dari sofa itu.
Alfarezi tetap menggeser tubuhnya, mendekat ke Ayana. Hingga akhirnya ia mendapatkan seruan dari perempuan itu. "Maaf, bisakah Anda sedikit memberikan saya ruang di sofa ini atau Anda bisa pindah ke sofa yang masih kosong. Silakan." Ayana menunjuk sofa di samping Alfarezi yang memang benar-benar kosong.
"Gak. Di sini saja!"
Penolakan yang sebenarnya membuat Ayana langsung dongkol. Berusaha untuk tetap profesional adalah pilihannya sekarang. Mau bagaimana pun, pria disampingnya itu akan menjadi atasannya kedepannya.
"Saya tidak memaksa." Ayana pasrah.
Ayana menunggu Erik berkata lebih dulu terkait alasan kenapa dia ada di sini. Dia menunggu, menunduk, tapi cukup lama tidak ada yang bersuara. Dan ketika ia mendongak, ia melihat Erik yang menatap tajam ke Alfarezi.
"Maaf pak. Tapi, apakah ini dilanjutkan atau bagaimana? Kalau tidak, saya harus berjaga lagi. Ada anak perempuan yang harus saya pastikan kondisinya di bawah," Ayana memastikan dan memisahkan perdebatan yang mungkin saja terjadi antara Erik dengan Alfarezi, meski hanya sebatas tatap-tatapan.
"Begini, Aya. Kan tadi kamu sudah dengar kalau dia akan menggantikan posisi aku di rumah sakit ini. Tapi, aku belum seratus persen yakin. Jadi, aku mau meminta tolong sama kamu untuk memantaunya selama aku tidak ada di sini. Kamu laporkan kepadaku apapun yang dilakukan olehnya. Tenang saja, aku akan memberikan uang untukmu, di luar gajimu dari rumah sakit. Kamu bisa, kan?" Permintaan dari Erik malah membuat Ayana tampak kebingungan. Menatap Erik yang menunggu jawabannya, dengan Alfarezi yang masih angkuh, bergantian.
"Maaf, pak. Tapi, saya pikir itu bukanlah ranah saya. Saya hanyalah perawat di sini, tidak ada sangkut-pautnya dengan memantau anak bapak yang notabennya sebentar lagi akan menjadi atasan saya. Saya tidak mau mengambil resiko, sekecil apapun itu, kecuali untuk tugas yang memang benar-benar merupakan tugas yang harus saya emban. Terkait uang, memang selalu menggiurkan, tapi bagi saya, tidak, pak. Saya lebih baik mendapatkan apa yang sudah seharusnya, dibandingkan harus mendapatkan cercaan dari pegawai yang lainnya apabila tahu hal ini. Lagipula, bukanlah terkesan kecurangan kalau sampai itu terjadi? Saya tidak mau, pak." Ayana menolak, Alfarezi yang langsung memperlihatkan kekecewaannya. Lain halnya dengan Erik yang malah tampak kegirangan dengan hal itu.
"Mungkin bapak bisa mencari orang lain, tapi kepada saya, maaf tidak bisa."
"Loh, kenapa gak bisa? Emangnya aku kenapa makanya kamu nolak buat pantau aku? Kalau bukan kamu, maka tidak dengan orang lain. Titik!" Sekarang Alfarezi lah yang malah terkesan memaksa.
Ayana mengulas sedikit senyumnya. "Kenapa harus saya?" Tanyanya balik.
Baik itu Erik ataupun Alfarezi, dilanda kegugupan. Mereka mau menjawab apa setelah ini? Memang benar-benar terkesan aneh, bukan?
"K-karena kamu yang nolong aku di malam itu. Dan itu sebagai balas kebaikan kamu, aku dan papa aku meminta kamu melakukan ini. Lagipula kamu dapat uang, kan? Seharusnya sih kamu mau."
"Kamu kan miskin, pasti butuh uang." Lanjutnya, dengan nada yang begitu angkuh.
Perkataannya yang demikian langsung mendapatkan lirikan tajam dari Ayana. Tidak biasanya.
Ayana terkekeh. "Maaf kalau saya lancang, tapi memang apa yang Anda ucapkan sangatlah lancang." Ujar Ayana. Ia bangun, tidak menunggu pembicaraan diantara mereka selesai.
Ayana bangun, Erik dan Alfarezi pun juga bangun.
"Memang benar, saya orang miskin dan membutuhkan banyak uang karena keperluan saya yang banyak dan bahkan harus berhutang sebelum gaji saya dapatkan. Tapi, itu bukan menjadi alasan saya mau berbuat curang. Lagipula, secara logika, buat apa Anda memegang posisi yang tinggi kalau belum dipercayakan atau harus dipantau? Bukankah itu artinya Anda harus belajar banyak sebelum memegang posisi yang penting itu?"
"Aya, kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik. Aku akui, dia memang kurang ajar sama kamu. Kamu kan sudah tahu kalau anak aku sangat kurang ajar. Nanti aku akan memberikan pembalasan padanya." Erik sampai menarik Alfarezi untuk lebih menjauh dari Ayana, meski ia mendapatkan tepisan kasar dari Alfarezi.
Ayana menempelkan kedua telapak tangannya di depan d*da. "Maafkan saya, pak. Saya sudah lancang dan saya pikir ini sudah lebih dari waktu yang saya dan Anda tentukan. Lebih baik saya pamit dari ruangan bapak. Terimakasih atas waktunya."
Ayana keluar dari ruangan Erik. Tidak jauh dari itu, langkah Ayana terhenti karena mendengar sebuah tamparan dari ruangan Erik. Ia juga sempat mendengar suara bentakan setelahnya.
"Aya, mereka itu bapak dan anak. Jangan selalu ikut campur." Katanya.
***
Sore harinya, Ayana sudah bertukar tugas dengan rekan kerjanya yang lain. Sudah waktunya dia pulang.
Terkait dengan anak perempuan itu, salah seorang keluarganya datang menjemput dan sempat berterimakasih kepada Ayana yang telah membantunya. Orang itu juga sempat ingin memberikan uang dan sedikit barang-barang kepadanya, ditolak oleh Ayana dengan alasan kalau itu sudah menjadi salah satu dari tugasnya.
Hari yang cukup melelahkan bagi Ayana. Keluarganya dari ruangan karyawan pun, ia harus memijit leher belakangnya yang terasa keras.
"Ayana!"
Ayana berhenti. Ia menoleh ke samping dan melihat Jane yang memanggilnya. Tidak ada ekspresi apapun darinya, datar.
"Ada apa?" Tanyanya setelah Jane ada di depannya.
"Tidak ada. Ayo kita pulang bareng!"
Ayana merasa aneh dengan sikap Jane. Pasalnya, sebelum ini ia tidak terlalu dekat, bahkan bisa dikatakan ini adalah pertama kalinya ia diajak untuk pulang bersama setelah bertahun-tahun kerja bareng di rumah sakit tersebut. Namun tetap, dia tidak mengatakan apapun. Ia diam dan membiarkan tangannya digandeng oleh Jane.
Brummmmm!
Bunyi motor yang begitu besar tepat ada di depan mereka. Pria yang memakai jaket kulit itu berhenti tepat di depan Ayana dan Jane.
Kaca helm dibuka. Alfarezi.
"Naiklah. Pulang denganku." Katanya.
Ayana diam. Jane salah tingkah, merasa dia lah yang diajak oleh Alfarezi. Terlebih, dia tahu siapa Alfarezi dan bagaimana posisinya di rumah sakit ini.
Jane begitu kegirangan. Dia bersiap-siap ingin naik ke motor Alfarezi.
"Bukan kamu, tapi dia!" Tunjuknya ke Ayana.
"Ayana Ningrum!" Lanjutnya, menyebut nama lengkap Ayana dengan lantang.