"Apakah Anda tahu arti bunga mawar hitam?"
Terpaksa Ayana mempertanyakan hal itu. Ia cukup tidak menyangka kalau Alfarezi akan memberikannya bunga mawar hitam yang berarti menyedihkan. Padahal, tujuannya adalah untuk proses pendekatan.
Dan ya, Alfarezi menggeleng dengan sendirinya. "Aku tidak tahu. Aku hanya membelikan bunga sesuai dengan warna yang kamu suka dan karena yang aku tahu mawar itu adalah bunga yang romantis, karena itu lah aku memesankannya untukmu."
Sangat disayangkan.
Ayana memberikan kembali bunga itu kepada Alfarezi. Dia berusaha tersenyum, meski tipis.
"Bunga mawar hitam itu berarti duka. Seharusnya Anda mencari informasi terlebih dahulu, tapi tidak apa bapak Alfarezi. Saya sudah cukup terbiasa dengan hal ini. Anda tidak perlu meminta maaf ataupun menggantinya dengan bunga yang lain."
Alfarezi merasa tidak enak hati. Dia melihat raut wajah kesedihan pada Ayana. "Aku hanya berusaha. Aku tidak tahu kalau akan terjadi hal seperti ini." Batin Alfarezi.
"Kedepannya, saya harap kalau hubungan kita hanya sebatas atasan dengan bawahan. Kalaupun di luar jam kerja, kita adalah orang asing. Tidak lebih dari itu."
Rasa tidak terima dari Alfarezi memberontak. Tentu ia tidak mau kalah begitu saja. Ia harus memastikan namanya tertera sebagai nama pemilik rumah sakit itu.
"Kenapa? Kenapa kita tidak boleh lebih dari orang asing? Sekedar berteman pun tidak boleh?" Tanya Alfarezi.
Sayangnya, Ayana mengangguk. "Iya, tidak boleh. Maaf, tapi, saya akan tetap menghargai Anda karena bagaimana pun Anda adalah putra dari atasan saya, pak Erik. Saya harus tetap profesional atas segala hal, termasuk dalam hal ini. Saya hanya tidak mau menciptakan masalah atas sebuah hubungan yang tidak semestinya terjalin, meski hanya pertemanan semata."
Ayana pergi. Langkahnya yang terlihat pasti, namun dalam hati ia sedikit lara. Hatinya berkata, "aku hanya tidak mau terluka, meski hanya dengan pertemanan saja. Karena bagiku, semua hubungan itu berpotensi untuk menyakiti."
Alfafezi tetap mematung di tempatnya. Memperhatikan langkah Ayana yang perlahan menjauh darinya. Bunga ditangannya dihempas tak berdaya, padahal ia harus merogoh banyak uang untuk membeli satu tangkai saja.
"Sial! Sulit sekali dapat hatinya!"
Di saat perasaan hatinya begitu buruk, Cantika menelponnya. Ia begitu kesal.
"Ada apa, Cantika?" Terkesan tidak sabaran.
"Kamu belum menjelaskan padaku. Apa maksudmu tentang menikahi perempuan lain? Kamu kan harus menik--"
Tut....
Alfarezi memutuskan panggilan itu secara sepihak.
***
Tidak ada kata menyerah. Satu penolakan yang diterima oleh Alfarezi, tumbuh 1000 semangatnya untuk kembali berusaha.
Dia tidak melakukannya secara diam-diam lagi, ataupun melakui perantara orang lain. Namun, secara terang-terangan ia masuk ke ruang karyawan dan memberikannya secara langsung untuk Ayana. Di depan karyawan lain, bahkan banyak orang, ia berusaha mendekati Ayana.
Tidak bisa diluluhkan. Ayana terus menolak. Ia tidak hanya membuat Alfarezi malu setengah mati, tapi juga membuat dirinya semakin dibenci oleh yang lainnya. Ia dikatakan sebagai orang yang sombong dan terlalu jual mahal.
Mereka tidak tahu kalau dibalik itu, ada luka yang tidak ingin terasa lagi.
"Aya, kenapa sih kamu tidak mau menerima pemberian dari Alfa?"
Sampai-sampai Erik sendiri lah yang turun tangan mempertanyakan hal itu pada Ayana. Dia cukup melihat perjuangan putranya untuk mendapatkan hati dan simpati dari Ayana.
"Alfa sampai uring-uringan gitu lho sampai di rumah. Ia kadang marah-marah gak jelas. Aku yakin kalau hal ini karena dia habis ditolak mentah-mentah sama kamu, Aya." Ucap Erik.
Kini, keduanya sedang ada di kantin yang kebetulan juga banyak pasang mata yang terarah ke meja mereka. Tentu saja dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Ayana menyeruput es kopinya.
"Sejak awal saya sudah berkata padanya untuk jangan maju. Saya tidak akan menerimanya, pak. Bahkan itu menjadi teman sekalipun." Jawab Ayana.
"Kenapa?"
Ayana mengangkat bahu. "Ada hal yang tidak bisa saya katakan dan percayalah semua usaha yang dilakukan oleh putra bapak akan sia-sia saja. Kalau saya boleh memberikan saran, mungkin bapak bisa mengatakan padanya untuk stop memberikan banyak hal yang pada akhirnya nanti akan ditolak mentah-mentah oleh saya. Saya hanya tidak ingin membuang waktu putra bapak."
Erik kecewa. Ia sudah menaruh banyak harapan pada hubungan Alfarezi dan Ayana. Namun di depan matanya sekarang, penolakan sudah dilakukan secara telak.
"Gini aja, Aya. Kamu katakan padaku, apa saja yang harus dilakukan oleh Alfa. Apa yang salah darinya yang tidak kamu suka dan harus diubahnya. Aku akan sampaikan padanya agar kamu mau berteman dengannya." Erik tetap berusaha membujuk.
Ayana terkekeh. "Itu bahkan terkesan kalau saya terlalu jual mahal."
"Pak, saya tidak bisa. Saya tidak bisa berteman dengan putra bapak. Saya juga tidak bisa menerima banyak hal dari putra bapak. Kecuali kalau hubungannya dengan saya adalah sebagai pasien, maka saya akan bersikap profesional dengan merawatnya sesuai dengan tugas saya di tempat ini." ucap Ayana.
Timbul pertanyaan dari Erik. "Kalau suatu hari, misalnya anak saya sakit dan dirawat oleh kamu. Kamu mau menerima segala pemberian dari dia?"
Pertanyaan yang cukup menggelikan bagi Ayana. Ia sampai tertawa dan beberapa menoleh ke arahnya. "Maaf, kalau saya tertawa, pak Erik. Tapi saya cukup terkejut dengan pertanyaan bapak."
Erik menunggu jawaban dari Ayana.
"Iya, pak. Saya akan menerima pemberian darinya, selama itu masih dalam konteks yang wajar. Tapi, saya berharap kalau putra bapak baik-baik saja mengingat terakhir kali saya merawat lukanya, dia sangatlah manja." Jawab Ayana.
Ayana tidak tahu kalau sebenarnya dibalik itu semua, Erik sedang tersambung dengan Alfarezi dari panggilan yang sudah mereka sambung sejak awal Ayana masuk ke area kantin.
***
Di sisi lain...
"Iya, pak. Saya akan menerima pemberian darinya, selama itu masih dalam konteks yang wajar. Tapi, saya berharap kalau putra bapak baik-baik saja mengingat terakhir kali saya merawat lukanya, dia sangatlah manja."
"Manja? Aku bukan manja, tapi itu beneran sakit!" Gerutu Alfarezi mendengar ucapan Ayana terhadapnya.
Ia terus mendengar dengan seksama percakapan Erik dengan Ayana. Sampai akhirnya timbul lah satu ide.
"Oke. Setelah ini, satu-satunya cara agar aku tidak ditolak lagi olehnya adalah aku harus sakit dan memastikan dia lah yang merawat ku."
"Semoga kali ini papa mau bantu aku lagi dan tidak menambah syarat lainnya. Hanya untuk mendengarkan suara Ayana saja, aku harus merelakan satu motor sportku ke papa."
"Tapi tidak apa. Setelah aku mendapatkan Ayana, maka otomatis aku akan mendapatkan hak atas rumah sakit ini. Setelahnya, Cantika juga akan menjadi milikku."
***
"Ayana, ada pasien kecelakaan yang sedang menuju ke sini!"
Mendengar itu, Ayana langsung berlari, terburu-buru ke depan untuk menunggu ambulans yang datang.
Saat mobil itu sudah datang dan brankar sudah dikeluarkan, ia melihat seorang pria yang terluka cukup parah.
"Alfarezi?"