"Semakin hari dia butuh ketenangan."
***
Semakin hari di rumah mertuanya membuat Bhiya tidak nyaman. Sindiran terus menerus membuat hatinya berantakan. Bhiya tahu dia sudah salah tapi kenapa selalu dibahas permasalahan tersebut.
"Mas aku kita pindah beli rumah sendiri," ucap Bhiya kepada Marvel.
"Loh kenapa tiba-tiba kamu bilang kayak gitu?" tanya Marvel yang masih berkutat dengan laptopnya. Menjadi pimpinan perusahaan pusat bukanlah hal yang mudah. Setiap harinya dia harus dipusingkan dengan beberapa masalah yang hadir.
"Ya kamu lihat sendiri aja. Mama kamu itu selalu aja nyalahin aku semenjak aku keguguran," ucap Bhiya kesal. Sekali dua kali dia bisa terima kalau berkali-kali juga dia merasa sakit hati.
"Ya maksud Mama kan baik, Bhiya. Mama sayang sama kamu biar kita bisa punya anak lagi," ucap Marvel.
"Kamu bisa enggak sih kalau aku lagi ngomong itu dengerin aku dulu. Sibuk terus sama kerjaan. Ini tuh udah malem, Marvel. Istirahat kek kayak enggak ada waktu buat besok aja," ucap Bhiya kesal.
"Iya-iya ini aku bereskan dulu," ucap Marvel mengalah. Setelah selesai membereskan kerjaan dia melihat Bhiya masih dengan raut wajah kesalnya. Dia menyusul istrinya ke ranjang.
"Ini aku udah sama kamu, kamu enggak usah kesel lagi ya," ucap Marvel mengelus pipi Bhiya.
"Aku enggak tahan, Mas kalau harus tinggal sama Mama. Terus sikap Mama kayak gitu."
"Terus mau kamu kayak gimana? Kita pindah? Kalau pindah pasti Mama enggak setuju," ucap Marvel lagi.
"Aku enggak peduli, Mas. Pokoknya aku mau pindah. Kalau enggak boleh jauh ya Perumahan deket sini aja. Kayaknya masih ada yang kosong tapi enggak satu rumah sama Mama," ucap Bhiya lagi. Marvel pun menghela napasnya panjang, "Terus nanti Mama sama siapa?" tanya Marvel.
"Ada Veni sekarang. Ada Mario juga. Udahlah biar mereka aja. Aku mau nenangin hati aku aja. Kamu mau kalau aku kayak gini terus aku pikiran dan akhirnya aku enggak bisa hamil lagi, Mas," ucap Bhiya memaksa Marvel mengikuti maunya.
"Yaudah besok kita ngomong sama Mama ya."
"Aku enggak mau kita ngomong. Aku mau kita cari rumah terus saat itu juga pamit, kalau ngomong pasti Mama enggak akan bolehin, Mas. Dan ujung-ujungnya aku yang dimarahin ini itu. Kamu seneng ya kalau aku dimarahin," ucap Bhiya lagi.
"Yaudah-yaudah besok kita cari rumah. Setelah itu baru kita langsung pamit ke, Mama." Marvel pun mau tidak mau menuruti mau istrinya.
"Nah gitu dong, Mas. Aku capek tahu harus disindir mulu sama Mama. Bahkan terang-terangan ada Veni malu tahu. Masa kamu enggak malu sih kalau kamu dibandingin sama Mario. Mama itu sekarang lebih sayang sama Mario Dan Veni jadi kamu juga harus peka dong," ucap Bhiya.
"Iya. Yaudah sekarang tidur yuk. Besok kan aku kerja."
"Terus nyari rumahnya kapan kalau kamu kerja terus," ucap Bhiya lagi.
"Kamu aja yang cari ya sayang. Nanti aku tinggal bayar. Di manapun terserah asal kamu suka. Aku enggak bisa ninggalin kerjaan aku. Tapi, Inget ya jangan jauh-jauh dari rumah Mama."
"Iya-iya." Bhiya memutar bola matanya malas. Padahal, dia ingin sangat jauh dari rumah Mamanya. Saking dia terlalu kesal, Mamanya mengatur ini itu. Sedangkan, Bhiya pun punya perasaan.
***
Keesokan harinya mereka makan bersama. Bhiya hanya Mendengarkan Mamanya yang bercoloteh kepada Veni Dan juga Mario. Mario memandangannya meremehkan membuat Bhiya harus sabar jika berkumpul dengan mereka.
"Inget ya, Ven. Kamu harus jaga kandungan kamu. Untung aja kamu itu udah resign kerja. Kalau belum takut kenapa-kenapa sama kandungan kamu, Ven." Jelas ucapan Dian itu pasti menyindir dirinya karna belum resign saat hamil.
Veni melihat ke arah dirinya. Tapi, Bhiya fokus saja dengan makanan seakan memang tidak mendengar apapun dari mertuanya.
"Bhiy aku udah selesai makannya. Mau berangkat dulu ya," ucap Marvel.
"Oh iya," jawab Bhiya. Bhiya langsung menyelesaikan makannya. Dia malas kalau cuma sendiri di meja makan.
"Kenapa buru-buru, Vel. Adik kamu aja belum selesai," kata Dian.
"Gimana mau selesai orang tadi ngomong mulu. Makan itu diem biar cepet selesai. Dahlah, Marvel mau berangkat," ucap Marvel bangkit dari duduknya. Bhiya ikut bangkit dan membawakan tas suaminya sampai ke depan.
Setelah sampai di depan, Marvel langsung mengambil tasnya dari Bhiya, "Kamu jadi cari rumahnya?" tanya Marvel.
"Jadilah, Mas kamu enggak denger dari tadi Mama itu nyindir kita. Kamu juga enggak sakit hati dibandingin sama Mario. Jadi, mendingan kita enggak usah denger itu. Kita cari rumah sendiri biar tenang," ucap Bhiya lagi.
"Yaudah aku serahin sama kamu. Aku berangkat dulu ya," ucap Marvel. Bhiya mengamit tangan Marvel untuk Salim. Setelah itu, Marvel mengelus kepala istrinya Dan menciumnya. Lalu, berangkat ke kantor menggunakan mobilnya.
Setelah kepergian suaminya. Bhiya langsung masuk ke dalam. Dia akan langsung mencari rumah dan pindah besok mumpung besok hari minggu Dan Marvel libur.
Bhiya masuk ke dalam langsung menuju ke kamarnya. Dian dan yang lainnya seakan tidak peduli dengan dia yang membuat dia pun memilih untuk tidak peduli juga.
Beberapa saat kemudian dia ke luar lagi Dari kamarnya dengan membawa tasnya. Dia pun pamit kepada mereka yang juga ada di depan pintu.
"Mah aku pamit dulu ya mau pergi ada urusan," ucap Bhiya.
"Ya." Hanya itu lalu Mamanya mengobrol lagi kepada anak bungsunya itu.
"Mbak Bhiya mau ke mana?" tanya Veni.
"Oh aku mau ke luar refreshing sekalian ada urusan sama temen, Ven," ucap Bhiya ramah. Walaupun, tahu Veni tetap diungguli Mama mertuanya tidak membuat Bhiya sinis kepada Veni.
"Biasalah, Ven kayak gitu orang enggak betah sama mertua Dan enggak deket sama mertua. Heran deh." Veni terlihat merasa bersalah dengan dirinya.
"Yaudah, Ma, Ven, Mar aku duluan ya udah buru-buru," ucap Bhiya lalu ke luar melewati mereka. Terdengar Mamanya yang masih membicarakannya dengan Veni Dan Mario. Tapi, hanya Mario yang menyahut. Mario selama istrinya hamil selalu jadi profokator dirinya Dan Marvel yang keguguran membuat Bhiya kesal setengah mati. Padahal, selama ini Bhiya tidak pernah mencari masalah dengan dirinya. Hanya saja Marvel dulu kadang menyindir Mario. Mungkin itu juga yang membuat Mario membalasnya. Atau ada hal lain yang membuat Mario seperti itu.
***
Bhiya mulai mensurvey rumah-rumah kosong yang masih ada dekat di rumah Mamanya. Dia masih memikirkan keluarga Marvel padahal dia juga sakit hati karna ucapan Mamanya. Tapi, Bhiya terima. Dian juga Mamanya sama seperti Ibunya membuat dia harus tetap berbakti kepadanya.