Sweet Love Scandal ][ Manis Sekali

3084 Kata
**** Rona merah di kedua pipiku pasca ciuman dengan Badu tadi pagi masih saja tidak ingin menghilang. Sesekali aku menatap kaca hanya untuk memastikan kalau kali ini Badu tidak berbohong. Setelah membiarkanku menyetir sendiri tadi pagi, siang ini dia benar-benar menjemputku ke kantor dengan mobilnya sendiri.  Kami beriringan. Entah kenapa aku masih saja malu dengan kejadian pagi tadi. Pasalnya setelah ciuman itu, Badu nekat mengecup leherku hingga tanda merah bersarang di sana. Aku tahu ini konyol tapi aku kesal sekali. Jadi ku putuskan untuk tidak satu mobil dengannya karena takut Badu lebih nekat dari pagi tadi. Akan menjadi masalah jika lelaki iti sampai melakukan sesuatu diluar kendali. Dapat dipastikan aku tidak akan menolak mengingat betapa aku mencintai dan menginginkan Badu menjadi cinta terakhirku. Kemudian yang ada Badu menikahiku hanya karena rasa tanggung jawabnya. Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu. Secintanya aku pada Badu, aku tidak sudi dia menikahiku hanya karena rasa bersalah. Lebih baik kami tidak bersama jika akhirnya hanya ada pernikahan yang di dalamnya hanya ada kesiasiaan. Aku menurunkan kecepatan ketika melihat restoran yang Badu maksud. Sedikit membelokan stir untuk masuk ke basement restoran yang sekaligus menyatu dengan hotel itu. Tak lama kemudian aku menekan rem agar mobilku berhenti dengan aman. Kami sudah sampai. Badu memarkirkan mobilnya tepat di samping mobilku. Aku sengaja masih berdiam diri di dalam mobil. Sedang menunggu apa yang akan Badu lakukan. Ku lihat dia turun duluan dan mengetuk pintu mobilku. Ku buka pintu, senyum manis terukir di wajahku saat melihat tangannya yang terulur. Aku menerima uluran tangan itu dengan hati yang berbunga. "Ayo!" ujarnya. Ahh Badu manis sekali. Dia menggenggam tanganku dengan erat. Sesekali menolehkan kepalanya untuk sekedar menatapku. Membuatku lagi-lagi tersipu malu. Lupa sudah tentang apa yang pernah Badu lakukan. Semua janji yang pernah lelaki itu ingkari dan berujung menyakiti telah sirna dari otaku. Ya, sehebat itu peson Badu Admaja yang berkali-kali membuatku tergila-gila. Aku sadari diriku terlihat bodoh. Masih saja mengharapkannya meski aku tahu hanya ada kesakitan bila didekatnya. Diriku benar-benar dibutakan. Padahal baru malam kemarin aku berjanji untuk merelakanmyan pergi. "Kenapa melamun?" pertanyaan Badu menyadarkanku dari lamunan yang panjang tentang hubungan tak jelas ini. Sejak sampai di pintu restoran, sampai menerima perlakuan Badu yang manis yang menarik kursi untuk mempersilakan aku mendudukinya, aku termenung sambil menatap lekat pada Badu Admaja. "Nggak apa-apa," jawabku seakan semua baik-baik saja. Padahal perasaanku selalu saja gelisah setiap kali Badu bersikap manis. Badu menganggukan kepalanya, "Jangan melamun, aku yakin kamu suka tempat ini," ucapnya yang sedikit meninggikan suara seakan aku berada jauh darinya. Tetapi, aku yang sibuk merasakan sentuhan tangannya pada tanganku tak terlalu memusingkan itu. "Tapi aku nggak suka tempat ini," ucapku dengan jujur. Tempat ini memang tenang tetapi entah kenapa aku tidak menyukainya. Hatiku menolak semua ketenangan dan kenyaman yang restoran ini tawarkan. Padahal aku suka sekali ketenangan. Tetapi karena ini adalah restoran pilihan Badu, aku tak berani menolaknya dan mengajaknya pergi dari sini hanya untuk membuatku senang. Aku lebih baik menahan gejolak tak nyaman ini dalam diam. Lagi pula dia sempat mengtakan makanan di sini enak-enak. "Du, aku baru tahu kalau restoran ini termasuk restoran faporitmu," ucapku mengutarakan apa yang sejak tadi mengganjal. Badu terlihat mengangguk santai. "Restoran ini memiliki banyak kenangan, aku suka tempat ini," balasnya. Sekali lagi suaranya seperti sengaja dikeraskan. Seolah ia melakukan itu agar orang lain juga mendengarnya. Ruangan private yang Badu pilih ini hanya terdapat tiga meja saja. Jaraknya juga tak terlalu berdempetan. Satu meja beserta kursinya berada tepat di depanku, diisi oleh dua sejoli yang seperti memiliki dunianya sendiri. Sementara meja yang satunya tepat berada di belakangku. Saat kami masuk ke sini meja itu masih kosong. Kursi terdengar ditarik bertepatan dengan teguran Badu padaku yang sedang melamun. Aku penasaran dan bermaksud ingin menolehkan kepala ke belakang, namun dengan cepat Badu kembali mengeluarkan suaranya. "Tetapi kenangan itu nggak pantas diingat," ucapnya membuatku mengurungkan niat untuk memeriksa meja di belakangku. "Kenapa?" tanyaku penasaran. Sedikitpun tak ada rasa curiga pada lelaki itu. Badu tidak menjawab, dia hanya mengedikan bahunya saja. Pada detik selanjutnya makanan dihidangkan oleh pelayan. "Terima kasih," ucapku mewakili Badu yang sibuk memandang makanan di depannya. "Badu?" tegurku saat pelayan sudah pergi. Badu tampak begitu tertarik pada makanan itu. Membuat aku ikut mengamatinya. "Sejak kapan kamu suka tumisan kangkung?" tanyaku yang sudah kembali menatap wajahnya. Selama ini yang aku tahu Badu anti sekali pada sayuran hijau. Lelaki itu sejak kecil tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan sayur-sayuran. Bahkan ibunya saja kesulitan memaksa Badu memakannya. Ketidak sukaan itu masih terjadi hingga kini, itu yang aku tahu. Tapi sekarang Badu memesan salah satu makanan yang paling dia hindari itu. "Kamu mau?" tanya Badu tanpa menjawab pertanyaanku. Aku menggelengkan kepala karena sudah memesan makanan paforitku yang lain. "Aku punya ini," brokoli dan teman-temannya ada di piring yang berbeda dengan nasiku. "Ohh iya," balasnya sambil menganggukan kepala. Dapat ku lihat Badu mulai memakan tumisan kangkung itu dengan pelan. Sesekali ia meringis merasakan dedaunan yang mengandung banyak klorofil itu. "Jangan dipaksa kalau nggak suka," ucapku sambil menahan sendoknya. Badu membalas tatapanku. Kengerian terlihat jelas pada kedua matanya. Ia menghela napas dengan berat sebelum meletakan sendok makan yang telah berisi tumisan kangkung itu ke dalam wadahnya. "Makan," ucapnya pelan, memintaku untuk mulai menyentuh makanan yang memang belum sempat ku sentuh akibat terlalu sibuk memperhatikan Badu. Aku menganggukan kepala sebelum kembali fokus pada makananku. "Enak Sayang?" tanyanya saat aku menyicipi makanan yang dihidangkan oleh restoran paforit Badu ini. Aku terkejut karena Badu sedikit mengeraskan suaranya. Ku balas dirinya dengan anggukan kepala. Entah kenapa Badu harus bicara sekeras itu. Rasanya aku ingin mengingatkannya bahwa aku berada tepat di depannya. Sehingga dia tak perlu bicara dengan suara yang kencang seperti itu. Aku takut pelanggan yang berada tepat di belakangku merasa terganggu. Sementara yang di belakang Badu tak perlu dikhawatirkan mengingat keduanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Baru beberapa detik yang lalu aku merasa terganggu dengan suara Badu yang kencang, sekarang aku dikejutkan oleh sikap Badu yang semakin manis saja. Ia mengelap sudut bibirku dengan jarinya setelah aku memasukan beberapa suapan ke mulutku. Aku tersenyum, sesuatu menggelitik di dalam perutku meskipun rasa heran akan sikap Badu masih begitu terasa. "Terima kasih," ucapku dengan tulus. Tetapi setelah itu duniaku terasa hancur setelah keterkejutan yang lebih hebat ku rasakan. Badu meneriakan namanya di depanku. Nama seseorang yang menempati hatinya. "Ana!" tidak hanya berteriak tapi kali ini Badu juga mengejar perempuan itu. Meninggalkan aku yang diterpa badan topan tak kasat mata. Memporak porandakan segala pertahananku untuk tetap berada di sisi lelaki itu. Sesak sekali. Jadi alasan kenapa ia memilih restoran ini meskipun cukup jauh dari kantorku adalah karena ini restoran faporitnya bersama Ana. Atau mungkin ini tempat langganan Ana yang dengan kata lain, Ana pasti makan di sini juga sehingga Badu dengan sengaja mendatanginya demi membuat Ana cemburu. Semua demi Anastasya Ruby, perempuan yang menjadi ratu di hati Badu selamanya. Bahkan Badu rela memakan sayuran hijau itu demi Ana. Ck. Melihat reaksi Ana, aku yakin kalau Badu berhasil membuatnya cemburu sekaligus membuatku terluka sekali lagi. Aku menggeleng takjub, beberapa pertanyaan beserta jawabannya memenuhi benakku. Inikah alasan Badu pura-pura ingin menikahiku? Dia hanya ingin menunjukan pada Ana agar membuat perempuan itu terbakar cemburu. Kemudian mereka akan kembali bersama, begitu? Kasihan sekali kamu, Alea Kazera. Mau-maunya dimanfaatkan oleh Badu seperti ini. Lihat! Dia bahkan lupa kalau ke sini bersama perempuan yang katanya calon istri. Astaga! Sekarang apa lagi alasanku bertahan di sisinya? Masihkah aku ingin menjadi perempuan bodoh yang mengejar cintanya seperti ini? Aku menggelengkan kepalaku dengan keras. Mataku menatap makanan Badu yang belum sempat dia sentuh. Mungkin karena terlalu sibuk memperhatikan Ana untuk memastikan kecemburuannya. Ku letakan sendok yang masih ku ganggam itu dengan suara yang cukup keras. Beruntung makanan di restoran ini harus bayar dulu baru dihidangkan.Sehingga begitu Badu tidak juga kembali setelah belasan menit maka ku tinggalkan semua makanan itu. Ku pikir mereka sudah pulang, tapi ternyata mereka masih bertengkar di area parkir. Untung saja parkiran ini terletak di bawah sehingga kecil kemungkinan ada yang melihat dua artis papan atas yang sedang dikabarkan terlibat scandal bertengkar hebat. Manis sekali. Aku menyunggingkan senyum sinis. Ku dekati mereka dan menarik Badu untuk ku tampar pipinya. Mereka berdua terdiam. Air mata yang sejak tadi ku tahan kini jatuh di pipi. Kali ini aku benar-benar terluka dan ku biarkan Badu melihat sendiri luka yang telah dia torehkan padaku itu. "Terimakasih telah memanfaatkan aku, Badu Admaja. Sumpah demi apapun aku sudah mengingatkan diriku sendiri kalau semua yang kamu lakukan ke aku hanya main-main. Tapi melihat sendiri kenyataannya malah buat aku sakit hati berkali-kali lipat dari perkiraanku." ucapku terengah namun aku berusaha tegar menatap ke dalam matanya yang penuh keterkejutan. Aku sempat goyah ketika melihat ada rasa bersalah di mata itu. Namun ketika mengingat ribuan detik yang telah ku korbankan untuknya terbuang sia-sia, aku mengeraskan hati untuk benar-benar melupakan Badu dan merelakannya melabuhkan cintanya pada Ana seorang. "Ini yang terkahir. Aku janji!" itu adalah kalimat terakhir yang aku ucapkan sebelum meninggalkan mereka berdua. "Zera!" teriakan pertama Badu tak ku hiraukan lagi. "Alea Kazera!" namun untuk yang kedua ini aku menolehkan kepala. Sayang, yang ku dapati adalah tangan Badu yang menahan Ana untuk pergi, meskipun matanya tertuju padaku. Ku pandang lelaki itu dengan lekat. "Aku mencintaimu, Dudu. Selamat tinggal," bisikku. Berharap angin dapat menyampaikan rasa sakitku pada lelaki itu agar dia mengerti sedalam apa luka yang telah dia torehkan padaku. Agar dirinya juga paham bahwa ini benar-benar yang terakhir kalinya bagi kami. Setelah itu aku masuk ke dalam mobil, perlahan keluar dari area parkir. Kemudian ku tekan pedal gas sampai habis. Mobilku melaju dengan kecepatan tinggi hingga tak butuh waktu yang lama aku kembali ke kantor. Bukan untuk bekerja tapi untuk memberikan surat pengunduran diri yang sudah ku siapkan beberapa hari yang lalu sebagai formalitas saja. "Apa ini?" Refan Pratama Gahar bertanya padaku setelah aku melempar amplop padanya. "Aku mengundurkan diri, kak," jawabku. Bukannya melarangku tapi dia mengerutkan dahi sambil membiarkan senyumnya tersungging di salah satu sudut bibirnya. Aku memutar bola mataku karena senyum itu adalah senyum remeh. "Bagus, adik manisku sudah membuat keputusan yang tepat. Kali ini apa lagi yang Badu lakukan?" tanyanya yang saat ini sudah berubah pada mode serius. Aku saja sampai ketakutan melihatnya. "Nggak ada." jawabku berbohong. Tetapi kak Refan terlalu mengenalku. "Mama kemarin bilang kamu dan Badu akan menikah. Kakak pikir lelaki banci itu serius dengan ucapannya, tapi melihat ada jejak air mata di pipimu, kakak yakin dia baru saja mempermainkanmu," Aku menelan ludah dengan susah payah. Kak Refan biasanya akan mengejekku tapi saat ini dia terlihat menahan kekesalannya. Aku berdehem untuk merilekskan suaraku. "Kakak nggak perlu ikut campur, Zera nggak apa-apa." ucapku. Setelah itu suara benda yang dipukul dengan keras terdengar memekakan telinga. Aku mengerjapkan mataku menatap kak Refan yang emosi. "Tangan kakak luka!" pekikku saat melihat darah bercucuran di atas punggung tangan kak Refan akibat dia yang baru saja memukul mejanya yang berbahan kaca. Dengan cepat aku menghampirinya. "Kakak!" ujarku ngeri. Tetapi kak Refan hanya memperhatikanku saja. Ia tampak tidak peduli pada lukanya. "Zera, mulai sekarang kakak nggak mau lihat kamu nangis lagi," ucapannya membuat aku mengangkat wajahku. Dapat ku lihat wajah kak Refan tampak kaku namun dia seperti menahan rasa sedihnya untukku. Ya Tuhan, sudah sejauh mana aku membuat keluargaku khawatir selama ini? Bahkan kak Refan yang selalu menyibukan diri dengan pekerjaannya saja ternyata ikut memperhatikan aku. "Kakak," ucapku sambil terisak. Aku berlari ke dalam dekapan hangat kak Refan. Semakin banyak saja alasanku untuk melupakan Badu melihat bagaimana kak Refan menyayangiku meskipun dia kerap kali mengejekku. "Pulang sana! Kakak ada meeting," Aku merengut di dalam pelukannya. Sebal sekali pada sikap kak Refan yang berubah-ubah. "Tangan kakak diobatin dulu!" ujarku yang baru saja melepaskan diri dari pelukan kak Refan. Setelah itu aku mengambil kotak obat untuk membantu kak Refan mengobati lukanya. "Kak setelah aku kembali ke Indonesia nanti, aku mau kak Refan menikah," ucapku di sela-sela mengobati lukanya. Kak Refan terkekeh. "Iya, tapi kamu janji ajak Galen datang ke pesta kakak. Jangan sama Badu lagi," balasnya. Mendengar nama Badu membuatku menghentikan aktivitasku. Kak Refan yang menyadari tingkahku itu berdecak kesal. "Gimana mau lupain dia kalau ingat namanya aja kamu udah kesetrum," ucap kak Refan yang lagi-lagi mengejekku. "Dibanding Badu, Galen jauh lebih menyenangkan untuk dijadikan adik ipar," Sekali lagi aku memutar bola mataku. "Mama juga bilang gitu!" ujarku sebal. Tapi sejujurnya kak Refan hanya ingin menghiburku. Dia kakak yang baik, tanpa banyak bertanya, dia mengerti perasaanku. "Udah nih, pulang sana! Kakak kasih kamu kesempatan untuk nangis sekali lagi," katanya. "Kakak!" ujarku dengan manja sambil memukul dadanya. Kak Refan terkekeh. "Aku pulang dulu. Cari sekretaris yang cantik untuk menggantikan aku. Jangan cowok mulu yang direkrut," ucapku sebelum pergi. *** Mama sedang menonton acara televisi saat aku sampai di rumah. Melihat sikapnya yang biasa saja, aku tahu kak Refan sudah bercerita pada mama. "Sini," mama memanggilku. Aku mendekat. Memeluknya dengan manja. Aku memejamkan mata saat tangan mama mengusap kepalaku dengan lembut. "Jadi apa yang terjadi?" tanya mama saat mendengar suara tangisanku. "Aku mau nyusul Galen, Ma. Secepatnya," ucapku. Ku rasakan mama menganggukan kepalanya. "Iya Sayang, apapun keputusanmu kami semua akan mendukungmu," katanya. Aku mengeratkan pelukan. "Ma, jangan benci Badu ya, aku nggak apa-apa," pintaku. Mama menjauhkan tubuhnya dariku. "Ada yang mau kamu ceritakan?" aku tahu mama penasaran. Seperti biasa, tak ada yang bisa aku rahasiakan dari mama sekalipun aku enggan menceritakan kejadian tadi. Cerita pun mengalir apa adanya. Mama berdecak kesal, terlihat jelas wajahnya menahan emosi. Mama pasti merasa kecewa pada Badu mengingat mama yang telah memberi Badu kesempatan untuk merasakan cintaku. Mama juga pasti merasa bersalah karena menggiringku untuk memberikan Badu kesempatan itu. "Ma?" panggilku. "Mama janji ya jangan benci sama Badu. Mama juga nggak usah sedih, aku nggak apa-apa," ucapku mengulang permintaanku. Mama menghela napasnya dengan berat. "Iya Sayang," ucap Mama. Tapi aku tidak yakin semuanya akan baik-baik saja mengingat mama sangat menyayangiku. "Ini seandainya Badu nyari aku lagi, Ma, tolong jangan beritahu dia ke mana aku pergi," lagi, aku meminta mama untuk merahasiakan keberadaanku. "Kalau yang satu ini mama benar-benar berjanji untuk merahasiakannya, Sayang," Aku senang mama menyetujuinya. Setelah hari ini, aku benar-benar akan berhenti mengikuti Badu. Keseharianku bukan lagi tentang dia. "Terima kasih, Mama." ucapku. Mama mengangguk. Kemudian ia mengerutkan dahi. "Kapan kamu berangkat?" tanya mama. "Besok," jawabku. Mama tidak melarangku. Barangkali wanita yang telah melahirkanku itu sudah menyiapkan perasaannya untuk kepergianku yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu. "Mama bantu panking ya Sayang," mama menawarkan diri. Aku tersenyum lega ketika menatapnya. Setelah itu menganggukan kepala dengan bahagia. "Ayo, Ma." ucapku. Kami berdua meninggalkan ruang tamu untuk menuju kamarku. Mama mengeluarkan koper yang aku simpan di lemari. Bibir wanita yang telah melahirkanku itu masih saja menyunggingkan senyumnya. Meski begitu, aku tahu perasaan mama sedang tidak menentu. "Mama yang anterin besok ya, Sayang," ucap mama secara tiba-tiba setelah sekian menit hanya diisi keheningan. Aku menatap mama. Matanya tampak berkaca-kaca. Astaga! Aku sudah menyadari sejak tadi bahwa perasaan mama tidak baik-baik saja setelah mendengar kepergianku. Tetapi, aku tidak menghiburnya. "Ma, mama tenang aja ya, Zera sudah besar kok ma, umur juga sudah dua puluh lima, kok," ucapku. Mama tampak setuju. Tapi dia kemudian berkata, "Mama tahu kamu sudah dewasa tapi kenapa mama baru merasa berat melepas kamu, Ra," ucapnya. Aku mengerti mama pasti sedih karena aku pergi dengan cara yang seperti ini meskipun selama ini mama selalu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa. Ibu mana yang tidak sakit hatinya melihat putri kesayangan pergi karena patah hati. Demi apapun semua itu tidak mudah bagi seorang ibu yang begitu dekat dengan anaknya seperti aku dan mama. "Mama percaya sama Zera kan ma? Nanti mama boleh deh ngobrol sama Galen dulu. Dia pasti mau jagain Zera selama di sana," ucapku meyakinkan mama. Nyonya Nadia tampak meragu. Tapi aku berusaha membuatnya yakin bahwa perjalanan ini bukan hanya sekedar pelarian saja. Aku sungguh-sungguh ingin menggapai mimpiku sebagai seorang pelukis. Setidaknya menggapai mimpi untuk belajar ke Negeri tempat lahirnya seniman terkenal itu. Mungkin ini adalah jalan yang Tuhan berikan untukku. "Mama percaya Zera, kan?" tanyaku pelan-pelan. Meskipun masih meragu, namun pada akhirnya mama menganggukan kepalanya juga. "Kamu janji ya harus selalu telpon mama," pintanya. Aku mengerling nakal, "Cie yang bakalan rindu sama aku," godaku pada mama membuatnya menepuk bahuku. "Ini yang akan bikin mama rindu sama kamu, suka bercanda disaat sedang serius," ucap wanita tercantikku itu. "Ahh mama bisa aja. Mulai sekarang tugas mama itu adalah gangguin kak Refan. Paksa dia nikah, Ma. Kalau perlu jodohin aja tuh si abang," aku sengaja memanasi mama agar kak Refan kena serangan panik akibat perjodohan yang mungkin akan mama lakukan untuknya. Anggap saja kejahilan ini adalah hadiah terakhirku untuk kakakku tercinta itu. Dia saja selama ini selalu menggodaku. Sesekali aku juga perlu membuatnya pusing tujuh keliling. "Jodohin aja kak Refan sama anak teman mama," ucapku. Mama menatapku curiga. "Dalam rangka balas dendam apa kamu sama kakakmu, Ra, sampai ngotot gini nyuruh mama jodohin Refan?" tanya mama curiga. Aku tergelak. Mama tahu saja kalau aku sengaja melakukan itu. "Kak Refan ngejek aku mulu selama ini," jawabku apa adanya. Mama mencebikan bibirnya seolah tak setuju, tetapi dianggukannya juga kepalanya. "Kayaknya seru ngerjain kakakmu, Ra. Syukur-syukur dia mau dijodohin," perkataan mama membuatku benar-benar teralihkan dari rasa sesak yang menyerang beberapa saat lalu. Begitu juga dengan mama, dia terlihat melupakan kesedihannya akibat kepergianku. "Bentar ya Sayang, mama telpon Refan dulu. Suruh dia pulang ke rumah nanti, sekalian ngabarin rencana kamu yang udah mau berangkat besok. Papa juga sekalian dikabarin," Aku hanya mengangguk singkat untuk apa yang mama katakan. Mama sudah keluar dari kamarku. Kini aku sendirian. Seharusnya air mataku jatuh melihat pakaian yang sudah mama bereskan ke dalam koper yang masih terbuka itu. Tetapi aku tidak menangis, air mataku seakan kering dengan sendirinya. Entah kenapa meskipun teramat betat, namun aku merasa sedikit lega. Keputusan ini adalah yang terbaik untuk semua orang. Meskipun aku tidak bisa menjamin sampai kapan aku bisa melupakan Badu mengingat begitu banyak waktu yang ku anggap berharga bersamanya selama ini. Cukup. Sudah saatnya cinta sendiri ini berakhir. Secepatnya ku tutup koperku. Kemudian meraih handphone untuk memesan tiket pesawat besok pagi. Setelah beres aku beralih ke bagian daftar kontak di hpku. Nomor Galen muncul setelah aku mengetik huruf G di pencarian. Dalam sekejap suara Galen terdengar setelah aku mendial nomornya beberapa detik yang lalu. "Galen," sapaku padanya. "Alea, ada apa?" tanya lelaki itu secara langsung. Karena aku tak suka basa basi, dengan cepat pula aku memberitahunya bahwa besok aku akan terbang ke Italia. "Sungguh?" tanyanya tak percaya. Aku terkekeh mendengarnya. "Iya, aku sudah pesan tiketnya," jawabku. Diseberang sana Galen tertawa, dapat ku dengar dia menyerukan kata 'Yes' berkali-kali. Aku sampai ikut tertawa karenanya. "Terima kasih, Alea," Entah apa yang membuatnya mengatakan itu tetapi ucapannya mampu mengembangkan senyumku. Galen bersikap manis sekali. . . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN