Sweet Love Scandal ][ Bernyawa

2154 Kata
*** Lambaian tangan kedua orang tuaku dan kak Refan masih terasa di depan mata. Padahal perpisahan itu terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Terbang dari Jakarta hingga sampai ke tempat ini seorang diri membuatku merasa lebih mandiri. Tetapi adakah yang berubah dari rasaku pada seseorang di sana? Sungguh tidak. Hatiku masih terpaut padanya. Jantungku masih berdebar hanya karena mengingat namanya. Lantas apa yang harus aku lakukan di Negeri orang ini? Sejak awal aku tahu semua tidak mudah. Aku harus benar-benar merelakan masa dua minggu yang lalu, hari di mana aku merasakan sakit hati sangat dalam hanya karena seorang Badu Admaja. Tapi lihat! Sudah dua minggu aku di sini. Di tempat yang seharusnya bisa membuat bathinku bahagia. Namun bibirku terasa kelu bahkan hanya untuk sekedar berkedut. Aku sedih Tuhan. Kenapa perasaanku menjadi berkali-kali lebih dalam setelah memutuskan untuk menjauh. Badu, kenapa namanya seperti candu. Mulutku boleh saja bungkam tapi hati tak pernah bisa berdiam mengucapkan kata rindu. Ya, aku rindu dia. Rindu perihal apapun tentangnya. Entah itu ketika dia tertawa atau bahkan ketika dia dengan sengaja melukaiku. Bodoh sekali aku. Bisa saja saat ini dia sudah kembali bersama Ana. Bisa saja hari itu mereka saling memaafkan dan mengungkap rasa. Sekarang aku di sini, di tempat yang jauh, Florence, Italia. Tidak ada yang tahu keberadaanku selain kedua orang tuaku dan kak Refan. Aku sengaja menghilang. Satu-satunya yang ku temui sebelum pergi hari itu adalah Litia. Sedikit berbagi kegundahan dengannya membuatku sadar bahwa hidup perempuan itu tak seindah yang ku bayangkan. Sekarang dia benar-benar tahu perasaanku. Aku juga sempat mengucapkan selamat atas pernikahannya dengan Hiro meskipun hari sakral itu belum terjadi. Florence, Italia adalah Negeri yang banyak sekali melahirkan seniman-seniman terkenal. Da Vinci salah satunya. Aku sengaja memilih Negeri ini sebagai tempat terbaik untuk melarikan diri dari kemelut rasa yang mengganggu. Tetapi sekali lagi, tak ada yang berubah dariku selain kesibukan lama yang sekarang terang-terangan ku lakukan. Apa lagi kalau bukan melukis. Aku belajar banyak di Negeri ini. Meski sebenarnya kesibukan yang ku lakukan sampai dua minggu ini hanyalah pelarian semata. Iya, aku menyadarinya. Aku menyadari semua yang ku lakukan hanya karena ingin melupakan Badu. Sama seperti saat ini, kanvas yang tak lagi putih itu sudah ku torehkan banyak warna. Namun aku merasa tak pernah puas dengan hasilnya. "Lukisanmu tidak bernyawa," Aku menolehkan kepala mendengar komentar itu lagi. Raina namanya, dia juga dari Indonesia. Kami baru saja berkenalan ketika aku sampai di tempat ini. Adalah Galen yang mempertemukan kami untuk pertama kalinya. Rain adalah gambaran dari seorang perempuan mandiri yang penuh semangat. Sudah tiga tahun lebih dia berada di tempat ini. Pekerjaan Rain adalah melukis. Kepandaiannya dalam menarikan kuas di atas kanvas membuatnya memiliki banyak client di tempat ini. Rain juga bekerja sama dengan Galen. Keduanya sering mengadakan pameran lukisan di galery milik Galen. "Ahh Rain," sahutku yang tak tahu harus mengatakan apa. Rain mengembungkan mulutnya. Terlihat kecewa dengan hasil goresan tanganku. "Kamu pandai melukis, Zera. Tapi lukisanmu benar-benar nggak ada nyawanya," Raina mengenalku dengan nama Zera. Sebab begitulah caraku mengenalkan diri pada orang lain. Hanya Galen saja yang memanggilku Alea. Aku menatap lukisanku, seketika napasku terdengar berat. Apa yang Rain katakan adalah kebenaran. Lukisanku tampak tak bernyawa. Padahal aku yakin sudah mengerahkan kemampuanku meskipun semua lagi-lagi hanya demi melupakan Badu Admaja. "Apa yang harus ku lakukan?" pertanyaan ini khusus untukku sendiri. Namun karena Raina berada di sini, ia pun mendengarnya. "Hanya satu yang harus kamu lakukan, Zera," sahutnya. Aku menoleh padanya. Dahiku berkerut, meminta Raina menjelaskan maksudnya. "Lukis apa yang paling kamu inginkan," terang Rain tanpa tahu apa yang paling ku inginkan di dunia ini. Raut wajahku tiba-tiba saja menjadi kaku. Hanya satu yang ku mau yaitu Badu. Tetapi dia tak mungkin ku miliki. Ku hembuskan napas dengan lirih. Kemudian Rain akan mendapati kepalaku menggeleng dengan berat. "Nggak ada, Rain. Nggak ada yang aku mau di dunia ini," jawabku penuh kebohongan. Raina hanya mengedikan bahunya. "Pikirkan baik-baik Zera, karena percuma kamu menuangkan imajinasimu kalau pada akhirnya kamu nggak merasa puas," ucapnya kemudian. Aku merasa tertampar. Apa yang Raina katakan adalah benar. Selama berada di tempat ini, aku sudah menghabiskan berlembar-lembar kanvas berserta peralatan lukis lainnya untuk menggambar. Namun tak ada satu lukisanpun yang bisa membuatku puas. "Terima kasih, Rain," ucapku. Dia mengangguk singkat. Ku perhatikan perempuan berparas cantik yang suka sekali mengenakan gaun itu mengecek jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya lagi. "Kamu mau pergi?" tanyaku penasaran. Rain menganggukan kepalanya sekali lagi. "Aku mau ketemu Samuel, dia bilang ada client yang mau dia kenalkan sama aku. Kamu mau ikut?" jelasnya. Rain juga bertanya apakah aku mau ikut dengannya atau tidak. Aku sedikit ragu apakah tidak masalah aku ikut dengannya, sementara dia ingin bertemu dengan client. Tetapi Rain meyakinkanku agar ikut saja dengannya sehingga aku mengikutinya. "Ayo!" ujar Raina setelah ia menerima telpon. Aku yakin itu dari Samuel karena beberapa saat kemudian Rain membawaku ke kafe terdekat. Di sana Samuel sudah duduk menunggu kami. "Hai," keduanya saling menyapa. Sementara aku hanya menunggu apa yang akan Rain katakan selanjutnya. "Oh Sam, this is Zera. She is my friend," ucap Rain menggunakan bahasa inggris. Barangkali dia sengaja mengingat aku belum begitu lancar menggunakan bahasa Italia. Lagi pula Samuel ini lebih terlihat seperti orang inggris. Usai mengenalkan aku pada Samuel, Rain berbisik pada Samuel hingga lelaki itu mengalihkam tatapannya padaku. "Ohh I am Samuel. Nice to meet you, Zera," ucapnya dengan aksen orang inggris yang kental. Sepertinya pemikiranku benar, Samuel keturunan orang inggris. Setelah itu Rain dan Samuel sibuk membicarakan pekerjaan. Aku hanya menyimak saja. Sesekali mengangguk karena memahami apa yang mereka obrolkan. Ketika obrolan mereka terhenti, Rain menolehkan kepalanya padaku. "So, what do you think, Ze? You understand, right?" tanyanya. Aku mengerutkan dahi. Sesekali menatap Samuel yang juga menunggu jawabanku. "Ma.. Maksudmu, Rain?" tanyaku menggunakan bahasa Indonesia. Rain terkekeh, ia kemudian menjawab, "Aku mau kamu bertanggung jawab sama clientku yang satu ini, Ze. Aku yakin dengan adanya pekerjaan yang menuntut pertanggung jawaban, lukisan yang kamu lukis akan lebih hidup." "Anggap aja ini loncatan untuk kamu. Itu juga kalau kamu mau," lanjutnya. Aku gugup mendengar semua penjelasan Rain. Jadi maksudnya adalah aku yang harus mengambil pekerjaan ini. Aku yang harus membuat lukisan yang clientnya pesan. "Tapi aku takut client kamu nggak puas, Rain," ucapku semakin gugup saja. Tetapi Rain menggelengkan kepalanya. "Kamu pasti bisa. Bantu aku ya, jangan sampai mereka kecewa," balasnya. Rain juga sesekali menoleh pada Samuel sebagai perantara anatara Rain dan clientnya itu. "Iya, kamu pasti bisa," suara Samuel yang baru saja menggunakan bahasa Indonesia membuatku membolakan mata. Ternyata dia mengerti pembicaraan kami dam bisa berbahasa Indonesia. "Dia bisa bahasa kita?" tanyaku merasa penasaran. Anggukan Sam dan Rain menjawab semuanya. "Jadi gimana Zera? Kamu mau, kan?" tanya Rain lagi. Meskipun sempat merasa ragu, aku mengangguk juga. Ku pikir ini adalah jalan lain yang Tuhan berikan agar aku bisa menikmati kesibukanku. Semoga saja lukisanku nanti bisa menjadi lebih hidup dan memiliki nilai seni yang tinggi. Lalu setelah itu hari-hariku disibukan oleh pekerjaan baruku. Berdasarkan apa yang diminta klien, lukisan setengah jadi yang beberapa hari ini ku kerjakan sudah sedikit terbentuk. Baik Rain maupun Galen tidak berhenti memantauku. Keduanya kompak berkomentar bila ada sesuatu yang mengganggu mata mereka pada kanvasku. Demi apapun aku bahagia mendapat perhatian dari mereka. Bahkan tak jarang Galen menemaniku melukis. Dengan sengaja dia membawa peralatan melukisnya tepat di belakangku. Sesekali memberiku minum agar membantu konsentrasiku. Seperti saat ini, ku pandangi punggung tegap lelaki itu. Dia tampak serius dengan urusannya. "Jangan mencuri tatap seperti itu, Alea," Dengan cepat aku mengalihkan tatap. Astaga! Aku tidak menyangka Galen menyadari apa yang sedang aku lakukan. Aku berdehem sebelum mendekat padanya. "Apa yang kamu lukis?" tanyaku tanpa menyanggah bahwa sejak tadi diriku memang memperhatikan punggungnya. "Seseorang," jawaban Galen membuatku penasaran. Kedua mataku memperhatikan setiap detail sketsa yang Galen buat. Hanya butuh beberapa detik bagiku untuk mengenali milik siapa sketsa itu. "Itu aku?" meskipun yakin sekali bahwa seseorang yang Galen maksud adalah diriku, namun tetap saja aku terkejut begitu melihat sendiri siapa yang sedang Galen lukis. Galen mengangguk dengan santai. Ia tidak menoleh padaku dan hanya fokus pada lukisannya. "Kenapa?" tanyaku. Kenapa Galen melukisku di sana? Sementara ada ribuan objek yang bisa dengan mudah ia lukis. Suasana menjadi lebih hening saat Galen menghentikan gerakan tangannya. Dia menolehkan kepalanya padaku. Senyum lelaki itu tampak menggetarkan jiwa. "Karena itu kamu, Zera. Apapun yang berhubungan denganmu terlihat indah untuk dilukis," jawaban Galen membuatku menyesal memberinya tanya. Aku lupa kalau Galen pernah mengungkapkan perasaannya padaku. Aku lupa kalau Galen menyukaiku. Sementara aku harus merasa bersalah karena tak bisa membalas perasaannya. Tok. Ibu jari dan telunjuk Galen yang menyatu baru saja mengetuk dahiku. "Sakit," keluhku padanya. "Makanya jangan melamun!" ujar Galen. Setelah itu dia kembali fokus pada kanvasnya. Ketika aku baru saja ingin kembali ke kursiku, Galen berujar, "Jangan canggung! Jangan merasa canggung padaku, Alea," katanya. Hal itu membuatku mampu menarik kedua sudut bibirku. Tanpa menjawabnya, aku tahu Galen mengerti bahwa aku juga tak suka kecanggungan terjadi di antara kami. *** Beberapa hari kemudian hasil lukisanku sudah jadi. Rain berdecak kagum, dia tak pernah berhenti mengucapkan terima kasih padaku. "Kamu yang terbaik," ucap perempuan itu. Tentu aku menerima pujian itu dengan senang hati. Jujur saja aku bersungguh-sungguh dalam membuat lukisan ini. Apa lagi Rain dan Sam sudah mempercayakan pekerjaan mereka padaku. Aku bersyukur karena aku tidak mengecewakan mereka. "Kamu memang berbakat," lagi Rain mengeluarkan pujiannya. "Apa ku bilang? Alea memang pandai menarikan kuas di atas kanvas," itu adalah suara Galen. Aku terkekeh, "Terima kasih atas dukungan kalian," ucapku. "Tapi ada sedikit masalah," ucapku membuat keduanya fokus memperhatikanku. "Nama, aku butuh inisial atau nama pelukis di atas lukisanku," terangku pada keduanya. "Ahh gampang. Kamu bisa menggunakan Alea untuk kau tuliskan di atas lukisanmu," saran dari Galen mendapatkan anggukan dari Raina. Perempuan dengan nama samaran Nona Hujan itu terlihat setuju dengan apa yang Galen katakan. Ku pikir itu tidak buruk mengingat Galen pantas menyematkan nama itu karena dia adalah salah satu inspirasiku. "Baiklah," ucapku yang kemudian menuliskan rangkaian huruf A.l.e.a pada sudut kanan kanvas yang sudah tak putih lagi itu. "Indah," komentar Galen. Rain mencebikan bibirnya. "Apanya? Lukisannya atau orangnya?" tanyanya menggoda Galen. Lelaki itu terkekeh. "Dua-duanya," balasnya. Entah kenapa aku tersipu mendengar itu. Pipiku sampai memerah. Terlebih saat Rain ikut menggodaku. "Alea senang-senang aja dipuji oleh Galen," tuturnya sambil terkekeh. "Bukannya kemarin kamu bilang paling senang dapat pujian dari Samuel, Raina?" dan Galen ikut menggoda Rain juga. Lihat saja wajah gadis itu sampai memerah. Kami terkekeh, menertawakan apa yang melintas di dalam benak kami masing-masing. Betapa menyenangkannya semua ini. Beberapa saat lalu hidupku terasa benar. Tak sedikitpun aku memikirkan Badu Admaja. Dia seolah sirna oleh canda dan tawa Galen juga Raina. Kehadiran keduanya seolah memberi warna baru dalam kanvas hitam dan putih hidupku. Terutama Galen, lelaki itu benar-benar berperan dalam mengembalikan senyumku. Sekalipun saat ini aku merasa sesak tetapi sungguh tidak apa-apa. Semua baik-baik saja selagi aku menerima. Ya, aku akan belajar menerima kenyataan. Tuhan tahu apa yang paling ku butuhkan. Sudahlah.. Semua sudah berlalu. Sebesar apapun cintaku pada Badu, aku harus melupakannya. Dia bukan untukku. Badu hanya sebuah ilustrasi. Imajinasi. Seperti lukisan yang saat ini ku selesaikan. Menawan namun tak dapat ku datangi, tak dapat ku sentuh dengan sungguh-sungguh. Karena semua itu hanya ilusi semata. Berbeda dengan Rain dan Galen yang saat ini tepat di depanku. Keduanya bisa ku sentuh dan ku rasakan keberadaannya. Karena ternyata keduanya mampu memberikan kenyamanan untukku. "Alea handphonemu berbunyi," teguran Galen menyadarkanku dari lamunan panjang yang kembali memberi luka. Namun kali ini aku menyadari bahwa perasaanku perlahan membaik. Aku segera meraih handphone itu. Ku lihat wajah Mama terpampang jelas di sana setelah ku geser tobol hijaunya. "Mama," sapaku. Kali ini senyum manis dan lega tersungging di sudut bibirku. Ku pikir mama juga bisa melihat kebahagiaan yang terpatri di wajahku karena mama juga ikut tersenyum lega. "Halo Sayang, apa kabar?" tanya mama. "Ohh hai Galen, dan siapa itu?" mama juga menyapa Galen dan menanyakan perihal Raina. "Haii tante cantik," Galen membalas sapaan mama. Aku menoleh pada Rain dan Galen bergantian sebelum kembali memperhatikan mama. "Aku baik, Ma. Ini Raina, dia teman Galen yang sekarang jadi sahabatku," terangku pada mama. "Oya aku punya kabar baik lainnya buat mama," ucapku. Cengerin ciri khas yang menandakan bahwa aku sedang bahagia mungkin terlihat jelas di mata mama. Aku memindahkan kamera hpku ke arah lukisanku. "Lihat mama, itu karya pertama yang benar-benar aku kerjakan dengan serius," ucapku bangga. Mama sampai menitikan air matanya. "Indah Sayang, kamu memang anak mama," ucap mama sambil menghapus jejak air matanya. Sikap mama membuatku terkekeh, "Mama suka?" tanyaku. Nyonya Nadia mengangguk dengan semangat. Hal itu membuat Rain dan Galen menertawakannya. Beberapa detik kemudian mama juga ikut tertawa. "Zera nanti mama telpon lagi, mama mau nangis dulu karena rindu kamu," katanya. Tetapi mama mengatakan itu sambil tertawa. Aku mengangguk saja. "Aku saja yang telpon mama nanti," ucapku. Mama mengangguk singkat. "Galen, Raina titip Zera ya," pesannya sebelum menutup telponnya. Aku menggelengkan kepala, mama masih saja menganggapku seperti putri kecilnya yang rapuh. Aku akan buktikan seberapa kuat diriku sekarang ma, aku bukan lagi Zera yang dulu. . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN