***
Sepanjang perjalanan menuju rumah besar Admaja, aku dan Badu sama sekali tidak berhenti bercanda. Ada-ada saja sesuatu yang terasa lucu bagiku ketika Badu mengatakan sesuatu. Aku senang karena kami terlihat tanpa sekat. Dia memperlakukan aku seperti dirinya memperlakukan Ana. Bahkan tanpa segan Badu menggenggm tanganku.
Tanpa terasa kami sudah sampai di rumah besar Admaja. Aku terkesiap saat di ruang tamu tetdapat banyak orang. Ada Litia. Aku bisa tebak wanita seumuran Tante Kina adalah ibunya Litia. "Ha.. Haii," sapaku penuh kegugupan. Badu juga sama salah tingkahnya. Ia menggaruk tengkuknya saat bertatapan dengan semua orang yang ada di sana. "Stoppp!! Jangan bawa scandal dulu untuk sementara. Karena sebentar lagi Kakakmu satu-satunya ini akan menikah." Celetukan Hiro berhasil mencairkan suasana canggung itu. Kami semua tertawa.
Badu berniat membawaku ke atas tapi aku menggeleng. Untuk kali ini dan seterusnya aku menolak untuk mengikutinya ke kamarnya lagi. Kalau dulu aku tidak peduli sama sekali karena Badu hanya menganggap aku sahabat dan aku pun hanya bisa diam-diam mencintainya tapi sekarang sudah berbeda. Kami... Kekasih? Ahh, entahlah bahkan aku tidak yakin sama sekali dengan apa yang Badu katakan pada Mamaku tadi. Tapi aku harus mulai percaya, kan? Semoga saja Badu benar-benar tidak mempermainkan aku.
Badu naik ke atas sementara aku langsung berangkat ke kantor setelah berpamitan. Tante Kina dan Mamanya Litia terlihat sibuk mengemukakan pendapat masing-masing. Sepertinya Hiro dan Litia akan segera menikah. Syukurlah.. Setidaknya kisah cinta mereka tidak seperti cintaku yang bertepuk sebelah tangan. Tapi sudahlah.. Sekali saja aku harus berhenti memikirkan semua itu.
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk sampai di kantor. Seperti biasa, aku menyibukan diri dengan pekerjaan. Sesekali menguap karena lelah. Demi apapun pekerjaan ini sungguh membosankan. Namun aku tidak bisa meninggalkannya untuk saat ini.
Aku menghela napas berat saat menatap beberapa file yang harus kuberikan pada atasanku yang tak lain adalah kakak kandungku sendiri. Aku malas melihat wajah tengilnya yang pasti akan menggodaku perihal cinta bertepuk sebelah tangan ini.
Baiklah, tak usah merasa heran karena kakaku mengetahui hubungan rumit antara aku dan Badu. Karena dia pernah mendapati aku menangisi Badu di rumah. Betapa aku kurabg beruntung waktu itu, dia memergokiku yang sedang menatap salah satu lukisan wajah Badu yang sempat aku bawa dari studio.
Sejak saat itu kakaku tak pernah berhenti mengejek. Dia mengataiku bodoh dan tak punya otak karena mencintai lelaki yang salah.
Sekali lagi aku menghela napas dengan berat. Terpaksa aku mengantar berkas itu padanya. Tetapi rupanya keberuntungan sedang berada dipihakku karena bosku itu sedang tidak ada di sana. Buru-buru aku meletakan berkas dan kembali ke ruanganku.
"Ah benar!" ujarku. Lantas dengan cepat aku mengeluarkan handphone. Mengirimkan barisan pesan kepada satu-satunya saudara sedarah denganku itu. Memberitahunya bahwa beberapa berkas sudah diantar ke ruangannya. "Beres." ucapku merasa lega.
Waktu berlalu, tidak terasa sudah waktunya pulang kantor. Lipstik merah yang tadi pagi menghiasi bibirku kini telah hilang lantaran ku hapus begitu saja. Barangkali wajahku yang juga telah terbebas dari polesan bedak dan teman-temannya tampak mendung dan kelabu.
Sekali lagi Badu Admaja ingkar janji. Aku menghubunginya tadi siang tapi dia bilang ada jadwal syuting dadakan. Aku tahu. Lagi-lagi karena Ana. Sebab tidak ada syuting dadakan yang Badu katakan. Managernya jelas mengatakan padaku bahwa Badu sedang makan siang bersama Ana.
Aku tidak tahu seberapa hancur perasaanku tapi yang aku tahu, diriku tidak pernah menempati posisi yang penting dalam hidup seorang Badu. Ah, tidak, mungkin aku penting namun tidak begitu berharga baginya. Sehingga jika hilang pun tidak masalah bagi lelaki itu.
Lalu aku seperti mengulang kisah yang sama lagi. Aku patah hati, dan bertekat melupakan Badu. Selalu seperti itu. Tapi tak pernah sanggup membenci keseluruhan darinya karena aku mencintainya.
Tak kuasa menahan sedih, aku menangis pilu selagi menyetir mobil untuk lagi-lagi datang ke studio. Tempat yang paling aman untuk menangisi cinta bertepuk sebelah tangan ini.
"Kenapa selalu Ana yang lo peduliin, Du? Gue ini beneran bukan apa-apa bagi lo, ya?" aku tahu persis jawaban dari pertanyaanku itu. Tetapi aku masih saja berharap pada Badu.
Mobil sudah terparkir tepat di depan bangunan yang aku jadikan studio lukisku itu. Dengan cepat aku keluar dari mobil, ku raih kunci pintu studioku lalu memasukannya ke dalam lobang kunci. Aku berlari ke dalam setelah pintu terbuka dan kembali tertutup. "Apa lo benar-benar nggak bisa balas perasaan gue, Badu? Apa lo mau gue pergi dari hidup lo?" lagi tanya itu harus aku sendiri yang jawab. Dan aku tahu persis jawaban yang paling tepat.
Ku usap air mata yang mengaliri pipi, ku raih handphone yang tadinya di dalam tas. "Seenggaknya aku juga harus punya rencana cadangan," ucapku sambil berusaha menghentikan laju air mataku.
Senyum tipis terbit pada sudut bibirku saat pemilik nomor yang sedang aku hubungi sudah mengangkat telponku pada dering pertama. Iya, aku datang pada Galen. Menegaskan sejauh mana keinginanku untuk menyusulnya. Dia yang penasaran dengan sikapku itu mendesakku. Hingga pada akhirnya cerita patah hatiku mengalir begitu saja.
"Aku tahu aku bodoh, Gal. Tapi aku juga nggak ngerti gimana caranya lupain dia," ucapku setelah menceritakan perasaan bertepuk sebelah tangan ini padanya.
Dapat ku dengar suara napas Galen yang berat. "Alea please jangan kamu jadiin beban. Lakukan perlahan, Lea. Lupain pelan-pelan," ucap Galen dengan begitu lembut.
"Nggak semudah itu, Gal," yang aku lakukan justru menggeram. Menahan kekesalan bahwa memang tidak semudah itu bagiku untuk melupakan Badu. Aku juga tidak mengerti kenapa seperti ini. Bertahun-tahun aku menahan perasaanku dalam diam. Demi apa aku selalu mencoba untuk melupakannya namun perasaanku masih utuh hingga detik ini.
"Aku tahu itu nggak mudah, Alea. Tapi nggak ada yang bisa kamu lakuin lagi saat orang yang kamu inginkan justru semakin menyakiti," balas Galen masih dengan kesabarannya.
"Tapi.."
"Alea.." ucapnku terpotong begitu Galen kembali menyebut namaku.
"Kamu harus tahu ini. Dari sekian banyaknya mata yang melihat dan telinga yang mendengar, hanya beberapa atau bahkan hanya satu saja yang benar-benar melihatmu dan mendengarkan kesakitanmu."
"Tidak peduli siapa kamu baginya. Dia mendoakanmu tanpa syarat. Termasuk diriku."
Aku tahu maksud Galen. Aku paham. "Terima kasih Galen," ucapku lirih. Aku kesakitan dan Galen tahu itu.
"Aku juga mau kamu tahu kalau aku masih nunggu kamu. Aku nggak peduli seperti apa perasaan kamu sama orang itu, aku akan tetap suka sama kamu, Alea." mendadak sesak yang mungkin Galen rasakan di Negeri yang jauh di sana ikut aku rasakan.
Air mataku jatuh. Galen adalah sosok yang diimpikan banyak perempuan di luar sana. Dia punya karir yang bagus. Dia dewasa dan yang paling penting, Galen mencintaiku. Tapi hatiku hanya untuk satu nama, Badu Admaja. Aku terisak. Sesak sekali d**a ini.
Pun, aku tahu persis apa yang Galen rasakan saat ini. Cintanya bertepuk sebelah tangan untukku.
"Maaf Galen.. Maaf," ucapku disela isakan yang tidak bisa lagi ku tahan.
Galen dengan tegas melarang meminta maaf. Dia mengatakan apapun yang saat ini dirinya rasakan bukan salahku. Cinta tidak pernah salah, tapi mungkin ia datang bukan di waktu yang tepat.
"Jangan nangis, aku tunggu kamu datang kapanpun kamu siap," ucapnya. Aku mengangguk dengan keras. Iya, aku pasti datang jika benar Badu tidak membutuhkan kehadiranku di sisinya.
Galen mengakhiri obrolan kami setelah memastikan aku tidak menangis lagi. Aku menatap ponsel. Wallpapernya belum ku ganti. Itu fotoku dan Badu dua tahun lalu saat acara pertunangan Hiro dan Ana.
Seharusnya, hari itu aku mulai menjauh dari Badu. Senyumnya terlihat dewasa namun aku tahu hatinya terluka. Ia terlalu cinta pada Ana namun aku tidak pernah berpikir kalau Badu akan benar-benar merebut Ana dari Hiro seperti saat ini. Aku masih berjuang meskipun seorang diri. Aku mencintai Badu lebih dalam dari yang aku pikirkan tapi lihatlah sekarang, aku selalu menjadi Zera yang patah hati. Sering kali tanya berulang, sebenarnya apa yang aku harapkan darinya?
Aku terlalu bodoh dan berharap. Aku sadar betul cinta Badu ke Ana begitu dalam. Sekalipun Badu bilang mengatakan akan menikahiku tapi aku tahu semua itu hanya main-main. Dan dengan tidak tahu dirinya, aku sempat menikmati permainan ini. Atau bahkan masih akan melanjutkan permainan ini meski pada akhirnya aku yang akan terluka.
Dadaku semakin sesak saat wallpaper ponselku sudah berubah. Itu fotoku sendirian saat di studio rahasia. Terlihat berbeda tapi ini yang terbaik. Badu boleh mengusikku sampai waktunya tiba untukku pergi dari sisinya. Aku akan ikuti permainan Badu sekalipun hanya patah hati yang ku dapat untuk yang kesekian kalinya.
Ku tatap sekali lagi deretan lukisan hasil karyaku itu. Firasatku semakin buruk saja. Aku semakin yakin ada sesuatu yang besar setelah ini. Entah apa namun sesuatu itu pasti menyakitiku.
Tak ingin larut dalam rasa sakit, aku meraih tasku dan meninggalkan studio untuk kembali ke rumah. Sudah cukup larut ternyata. Aku tidak tahu berapa lama aku di studio, padahal rasanya baru sebentar aku di sana.
Ketika dalam perjalanan pulang tanpa sengaja aku melihat Anastasya Ruby yang sedang bersama seseorang. Ku pinggirkan mobilku untuk melihat siapa yang sedang bersama perempuan itu. "Elang lagi," senyum sinis muncul dengan sendirinya di antara kedua sudut bibirku.
Saat mataku masih betah mengamati, mendadak ada yang mengetuk kaca mobilku. "Mbak jangan parkir di sini," ucap suara keras itu. Aku mengertukan dahi, melarikan mata ke sekeliling. Astaga! Tanpa sadar aku memarkir mobil sembarangan. Beruntung bukan polisi yang menegurku melainkan bapak-bapak yang menjaga parkir di salah satu restoran tepat di depan restoran lain yang didatangi Ana dan Elang itu.
"Maaf Pak," ucapku. Buru-buru ku tutup kembali kaca mobil setelah memberikan selembar uang sepuluh ribu. Setelah itu aku kembali melajukan mobilku.
"Hebat, siangnya sama Badu. Makan malamnya bersama Elang. Dasar rubah betina!" demi apa aku benar-benar membenci Ana. Tidak bisakah dia hanya menyukai satu lelaki saja? Kenapa perempuan itu tampa tak memiliki kesetiaan. Tukang selingkuh dan tidak tahu malu.
Aku benar-benar kesal padanya. Ana memanfaatkan kecantikannya untuk mendekati banyak lelaki. Perempuan seperti itu yang membuat Badu tergila-gila? Ck. Cinta memang luar biasa dan buta.
Aku menekan pedal gas hingga kecepatan mobilku bertambah. Rupanya kekesalan terhadap Ana membuatku melupakan etika berkendara. Aku kembali menghentikan mobilku dalam sekejap di tempat yang cukup sepi. Bebas dari teguran polisi maupun tukang parkir. Aku menyembunyikan wajahku pada setir mobil. Napasku naik turun. Ku pukul berkali-kali setir mobilku demi melampiaskan rasa kesal ini.
"Kenapa harus Ana?" geramku. "Dia nggak setia, Badu! Cintanya ke kamu cuma sesaat. Kenapa kamu nggak paham juga, hanya aku yang cinta sama kamu," ucapku dengan lirih.
Napasku terdengar berat, ku atur baik-baik sebelum kembali mengemudikan mobilku untuk pulang.
Seperti biasa, mama pasti belum tidur selagi aku belum berada di rumah. Wanita yang paling ku cintai itu tersenyum lembut menyambut kedatanganku. Mataku yang tadi tak lagi menangis kini kembali berkaca-kaca. Tanpa memikirkan apapun, aku berlari ke dalam pelukan mama. Dia mengerutkan dahi, lantas membawaku duduk di sofa depan televisi. "Ada apa?" tanyanya khawatir.
Aku tidak menjawab dan mama tak lagi bertanya. Mungkin wanita yang paling mencintaiku itu mengerti bahwa satu-satunya orang yang bisa membuatku menangis adalah Badu Admaja.
Mama memelukku, mengelus punggungku dengan lembut. Sempat ku rasakan pula ia mengecup puncak kepalaku. "Nggak apa-apa, Sayang," ucapnya. Aku merasa seperti menjadi bayi kecilnya lagi. Betapa mama terlihat mengasihiku. Tanpa bertanya ini dan itu, dia lebih memilih memberiku ketenangan. Mama memang wanita yang paling hebat di dalam hidupku.
Aku mengusap pelan sisa air mata yang tadi tak sempat ku tahan. Kemudian mataku menatap pada mama yang masih saja tersenyum lembut. Wajahnya yang biasanya terlihat jahil kini tampak keibuan. "Mama kenapa selalu nungguin aku pulang?" tanyaku pelan.
"Itu karena kamu berharga untuk mama, Sayang," jawaban mama membuatku kembali menjatuhkan air mata. "Terus gimana nanti kalau aku jadi nyusul Galen, Ma? Mama pasti kesepian," ucapku.
Sejenak dapat ku lihat wajah mama yang terkejut. Hanya sebentar, sebelum kemudian berubah menjadi keikhlasan. "Kalau keputusanmu sudah bulat malah mama senang. Artinya anak mama semakin mandiri untuk jadi lebih baik lagi," balasnya.
Mendadak aku menyadari betapa lemahnya diriku selama ini. Jika saja tak ada nyonya Nadia di sampingku, mungkin aku akan rapuh seorang diri. Ternyata sikap tak tegasku merambat ke mana-mana. Tak hanya tentang cinta tapi juga kehidupanku yang lainnya. Sehingga membuatku selalu menggantungkan diri pada seseorang yang bisa mencintaiku dengan tulus.
Beruntung orang itu adalah kedua orang tua dan keluargaku. Semakin beruntung lagi karena papa dan mama bisa memberiku hidup yang mewah. Astaga! Sepertinya aku benar-benar harus berubah. Zera yang mandiri jauh lebih menenangkan dari pada seorang Zera yang selalu menggantungkan diri pada orang lain.
"Ma, kayaknya aku nggal bisa nikah sama Badu," ucapku memulai obrolan yang menurutku paling berat ini.
"Mama tahu kan seperti apa hubungan kami selama ini? Aku memang masih berharap sama Badu, ma. Tapi Badu melakukan kesalahan lagi tadi siang," jelasku.
"Kesalahan?" tanya Mama terdengar penasaran.
"Dia bohong sama aku dan milih pergi sama Ana,"
Aku dapat mendengar mama menghela napasnya dengan berat. "Kamu tahu kan Ze, Badu mencintai Ana? Kenapa mama mau kamu memperjuangkan perasaanmu sampai akhir? Itu karena mama memahami perasaanmu, Sayang."
"Tapi kalau kamu nggak sanggup lagi, maka lupain Badu. Jangan menerimanya lagi apapun alasan yang membuatnya lagi-lagi mencarimu, Nak," ucap mama panjang lebar.
"Sekarang mama tanya Sayang, apa kamu bisa lakuin itu? Lupakan Badu dan menjauh darinya saat dia datang lagi ke kamu?" pertanyaan Mama membuatku terdiam. Entah kenapa aku tak bisa menjawab.
Mama menghela napasnya dengan berat. Ia menganggukan kepalanya. "Mama tahu kamu nggak mau jauhin Badu. Mama juga tahu kamu lupa rasa sakitmu saat Badu menghampirimu, Zera," ucapnya.
"Pilihan selalu ada di tanganmu. Mama akan dukung apapun keputusan putri mama ini," mama mengatakan itu sambil mengelus kepalaku.
Aku menatap ke dalam mata mama, "Kapanpun Ma, kapanpun aku siap pergi kalau perjuanganku untuk dapatin Badu disia-siakan," ucapku pada akhirnya. Mama tampak puas mendengar jawabanku.
"Mama juga siap lihat kamu nangis lagi. Tapi mama selalu berharap tangisan itu untuk terakhir kalinya, Sayang," ucap Mamaku.
Setelah itu dia menggiringku untuk masuk ke kamar mengingat malam semakin larut. Aku menurut saja. Ku peluk mama sebelum ku tutup pintu kamarku. Aku yakin mama juga sudah kembali ke kamarnya bersama papa.
Jauh di dasar hatiku, aku tak pernah siap berpisah dengan Badu. Tetapi haruskah aku kembali merasakan kesakitan atas cinta lelaki itu pada Ana? Betapa tidak adilnya bagiku.
Ya sudahlah... Malam semakin kelam. Lebih baik aku membersihkan diri lalu tidur. Besok harus kembali menyiapkan hati. Siapa yang tahu besok Badu akan melakukan apa lagi.
Waktu begitu cepat berlalu. Detik yang semalam ku lewati kini telah berjam-jam menghilang. Betapa aku terkejut ketiga pagi menjelang. Aku terbangun karena sesuatu mengusikku. Ku buka mata perlahan dan ku lihat dia di sana. Menatapku dengan senyum manisnya.
"Sudah bangun?" tanya itu terlihat nyata tapi mungkin ini semua hanya mimpi. Badu tidak mungkin ada di sini sepagi ini. "Kok bengong?" suara itu lagi.
"Ze?" tanganku ditarik. Kali ini aku tahu aku tidak bermimpi. Ku tatap Badu penuh minat. Mataku memintanya untuk menjelaskan kenapa dia ada di kamarku bahkan ketika matahari baru saja menampakan sinarnya.
Badu terkekeh kemudian dia menjelaskan dengan cara yang singkat. "Kangen calon istri." Katanya.
Perempuan di luar sana yang pernah disakiti pasti akan berdecak dengan kesal. Tapi aku? Seorang Zera yang terlalu diperbudak cinta justru memberikan senyum termanisnya untuk Badu. "Aku belum mandi, Dudu! Sana keluar!" teriakku manja. Ini menyenangkan meski ada sisi hati yang menentang dan berulang kali memberi peringatan padaku bahwa ini semua kesalahan.
Namun tetap saja ku nikmati suasana pagi ini yang dibangunkan oleh dia. Cinta sendiri memang rumit, aku tahu persis Badu tidak merasakan kegembiraan yang sama seperti yang saat ini ku rasakan ketika ku dapati dirinya di depan mata. Tapi aku tidak peduli. Saat ini aku belum siap untuk berpisah dengannya. Biarkan semua ini berjalan apa adanya. Meski mungkin aku akan menangis lagi karena cinta sendiri ini.
Aku tahu persis tujuan Badu ke sini hanya untuk menyenangkan hatinya sendiri. Bukan untuk meminta maaf padaku atas kebohongannya kemarin. Namun hatiku terlanjur berbunga dan malu mendapati Badu menjengukku sepagi ini.
"Ya udah mandi sana. Aku tunggu di luar." Balasnya sambil mengacak rambutku. Tiba-tiba lagu cinta berputar dengan indah sebelum lagu kehancuran menghilangkan senyumku. Ahhh miris sekali. Zera yang manis mengemis cinta pada Badu Admaja. Aku masih saja tidak tahu malu dan tidak peduli bahwa kemungkinan patah hati sedang menantiku lagi.
***
Setelah selesai mandi aku langsung ke dapur. Badu di sana bersama Mama. "Lagi ngobrolin apa, ma?" tanyaku.
"Biasa si Badu curhat sama mama. Ntar kalau sudah nikah dia mau masuk ke perusahaan aja. Menghindari gosip, katanya." Jawab mama.
"Oh gitu. Bagus deh. Kasihan istri kamu nanti kalau sibuk ngurusin gosip kamu sama perempuan lain."
Badu berdehem mendengar ucapanku. "Iya kasihan kamunya nanti nahan cemburu." Balas Badu.
Mama sudah senyum-senyum sendiri.
"Kamu sudah bicara sama mama kamu tentang rencana kamu yang mau nikahin Zera, Badu??" tanya mama.
"Belum ma. Di rumah lagi pada sibuk ngurusin pernikahan Hiro sama Litia." Balasnya. Aku sudah bisa menebak. Mana mungkin Badu mengatakan rencananya itu pada orang tuanya. Ini kan hanya main-main.
Lagi-lagi perasaan sakit itu ku rasakan. "Nggak usah bilang dulu. Nanti aja. Kasihan, mereka semua lagi repot."
"Oya, gimana kabar Ana?" pertanyaan ini seharusnya tidak perlu ku tanyakan di depan mama. Badu pasti canggung sekali tapi aku sangat penasaran apa saja yang Badu lakukan kemarin selain makan siang.
Badu seperti kebingungan ingin menjawab apa.
Hening itu tiba-tiba hilang ketika mama mendorong kursinya ke belakang. "Mama sudah selesai. Kalian terusin aja ya, mama mau ke kamar dulu." Rupanya mama mengerti situasi aku dan Badu.
Badu menatapku dengan tatapan entah apa. "Ana baik," jawabnya. "Maaf aku.." kalimatnya menggantung beberapa detik sebelum ia melanjutkan, "aku minta maaf kemarin aku nggak bisa ketemu kamu karena Ana menelponku dan kami.."
"Kalian pergi berdua dan lupa sama aku, gitu?" sebelum Badu menyelesaikan penjelasannya, aku sudah meluruskan terlebih dahulu. Dia menahan napasnya. Aku suka tapi kasihan juga. "Nggak apa-apa, Dudu. Menejer kamu udah ngasih tau aku kemarin." Aku menampakkan gigi putihku setelah mengatakan itu.
Badu menghela napasnya dengan lega. Iya, tidak apa-apa. Selagi kamu bahagia, aku baik-baik saja.
"Kamu naik apa ke sini?" tanyaku pada Badu mengingat mobilnya bersamaku sejak kemarin. Lagi pula sekalian mengalihkan pembicaraan.
Badu kembali melanjutkan makannya. "Naik taksi." Jawabnya singkat.
Aku mengangguk. "Ohh.. Nanti kamu bawa mobilmu sendiri ya. Aku mau bawa mobil juga." Ucapku.
Badu mengangkat kepalanya. Aku tahu walaupun aku sedang menunduk. "Kenapa gitu? Kamu bareng aku aja, nggak usah bawa mobil. Nanti siang aku jemput, kita makan siang bareng." Aku tersenyum mendengar suara tegasnya itu. Andai perasaan Badu setegas suaranya.
Gelengan kepala mewakili kalau aku tidak setuju dengan idenya itu.
"Tapi Ze.."
"Aku nggak bisa hari ini, Dudu." Ucapku.
Badu meletakan sendok dan garpunya. "Kamu marah?" tanyanya.
Iya Badu! Tentu saja aku marah karena kemarin kamu tidak menepati janjimu. Aku cemburu pada Ana yang selalu bisa mencuri perhatian kamu. Tapi bisakah aku bicara begitu padamu? Tidak!
Seperti biasa Badu, kamu akan marah. Kamu tidak akan suka kalau aku mulai mengkritik Ana tentang sikapnya yang selalu seenaknya saja mempermainkan perasaan kamu.
"Soal?" lebih baik begini. Pura-pura saja tidak tahu apa-apa. Lagi pula tidak akan ada yang terluka selain aku.
Badu mendengkus kesal. "Apa lagi selain karena kemarin aku makan siang sama Ana!" kesalnya.
Aku terkejut mendengar Badu berteriak di meja makan. "Nggak usah teriak! Kamu nggak perlu khawatir soal itu karena aku nggak peduli!"
Pembohong! Mana mungkin aku tidak peduli? "Aku kenyang. Kamu lanjutin aja makannya. Aku mau berangkat duluan." Aku tahu ini tidak sopan tapi sekali ini saja aku ingin melawan perasaanku sendiri.
Badu meminum airnya dan meninggalkan piringnya. Ia mendekatiku yang sudah mendorong mundur kursi makan. Dia menarik pergelangan tanganku hingga aku jatuh ke dalam pelukannya. "Aku bilang aku minta maaf, Ze! Jangan marah." Permintaan maafnya sungguh meluluhkanku. Bagaimana mungkin Badu bisa mengucapkan kata-kata itu dengan lirih. Apa dia benar-benar menyesal??
Aku tidak tahu sejak kapan aku terisak. Badu semakin erat memelukku. Aku tidak bisa menghentikan perasaanku yang menganggap kalau perbuatannya saat ini karena Badu sayang aku.
"Hei maaf.." ucapnya. Kedua belah tangannya sudah menangkup pipiku. Jari tangannya tidak tinggal diam untuk menghapus jejak air mataku. Wajahnya mendekat. Aku tidak bisa menolak ketika dia menciumku, lagi.
Sudah tidak apa-apa. Jika memang ini cinta sendiri, biarkan aku menikmatinya sebentar saja. Sebelum aku merasa lelah dan menyerah.
.
.
Bersambung.