***
Aku tahu Badu tidak bisa dipercaya. Lihat aja sekarang! Sampai pukul Lima sore seperti ini tidak ada satu kabar pun datang darinya. Ini menjelaskan kalau seorang Zera memang bukan siapa-siapanya. Aku tahu semua itu tapi hatiku masih saja sakit.
Setelah menghela napas dengan berat, aku mengambil tasku. Sudah waktunya pulang, tapi aku akan ke studio dulu. Jujur saja perilaku Badu kemarin banyak mengganggu diriku. Kenapa Badu bersikap seperti itu? Dia membingungkan aku. Selama dalam perjalanan menuju studio lukis, aku tak bisa berhenti berpikir.
Ketika sampai di studio, aku tidak melukis. Aku hanya melihat-lihat hasil lukisanku. Hampir semuanya adalah wajah Badu Admaja. Astaga!!! Aku setergila-gila itu padanya.
Kepalaku menggeleng untuk sekedar mencegah pikiran berkelana mengingat Badu. Aku berusaha mengalihkan perhatian pada hal lainnya hingga aku mengingat Galen. Aku lupa belum sempat menghubungi Galen lagi mengenai rencana keberangkatanku.
"Beres!" ujarku usai mengirim pesan pada Galen. Sesaat aku mengukir senyum sendu. Tidak masalah! Semua akan baik-baik aja setelah aku merelakan dia.
Tapi entah karena belum mendapat restu dari Tuhan, tiba-tiba saja nomor dan nama Badu terpampang di layar handphoneku. Bola mataku geregetan ingin berputar sejak panggilan kesian yang Badu lakukan. Sekarang apa lagi yang Badu inginkan? Tidak cukupkah dia membuatku berharap lalu menghempasku begitu saja.
"Hallo Zera!" teriaknya setelah aku menggeser tombol hijau pada layar.
"Syukurlah kamu angkat." Katanya.
Aku mendengkus. "Mau apa?" tanyaku langsung. Mulai sekarang aku tak suka basa basi.
Sempat ku dengar Badu menghela napasnya. "Aku minta maaf. Kamu sekarang di mana?" tanyanya kemudian. Aku ingin sekali mengatakan di mana keberadaanku. Studio lukis yang menyimpan semua kenangan tentangnya, yang sebentar lagi hanya akan ku biarkan saja.
Aku mengangguk pasti. Ini semua secepatnya harus ku musnahkan.
"Aku udah pulang!" jawabku.
"Bohong! Di mana kamu sekarang Alea Kazera?"
Perasaan geram menghampiri mendapati sikap Badu yang seperti ini. Dia pemaksa, tapi tidak suka dipaksa. "Aku di rumah.. Teman." Itu satu-satunya jawaban yang bisa ku berikan pada Badu. Membohonginya dengan cara yang paling masuk akal meskipun sesungguhnya aku tidak memiliki banyak teman yang bisa ku datangi.
"Aku jemput sekarang. Kamu jangan ke mana-mana." Bodoh amat pada perintah Badu. Ke manapun kakiku melangkah itu adalah urusanku. Lagi pula perkataannya membuatku ingin tertawa. Andai Badu benar-benar memahamiku, dia tak mungkin mempercayai jawabanku mengingat tak ada satu teman dekatpun selain dirinya dan Hiro yang bisa ku datangi setiap waktu.
"Nggak usah jemput. Aku mau langsung pulang." Lagi-lagi Badu menghembuskan napasnya dengan kesal. Aku mana peduli pada semua itu, ahh lebih tepatnya mencoba untuk tidak peduli.
Ssementara itu, kekeras kepalaan Badu membuatnya memaksa untuk tetap menjemputku. Alhasil mau tak mau aku mengatakan bahwa aku membawa mobil. Tetapi dengan sangat egois dia memaksa mobilku dititipkan di rumah teman bohonganku. Sampai akhirnya aku mengalah dan memintanya menjemputku di halte saja. Bisa kacau semuanya kalau sampai Badu tahu tentang studio ini. Aku belum siap menerima reaksi menyebalkannya itu.
Terpaksa aku memesan ojek dengan menggunakan aplikasi. Aku tak perlu cemas Badu sampai lebih dulu di halte karena aku sudah memperkirakan kalau Badu pasti terlambat. Dan semua itu terbukti. Badu baru sampai setelah aku menghabiskan waktu Sepuluh menit menunggu.
Aku segera masuk ke dalam mobil setelah Badu membunyikan klaksonnya. "Rumah teman kamu lumayan jauh ya?!" itu pernyataan. Aku mengangguk. Masih diam walaupun dirinya terus menerus bertanya ini dan itu.
Satu jam berlalu. Tentu aja si Badu tidak langsung mengantarku pulang. Dia memberi alasan bahwa perutnya lapar. Badu selalu paham alasan ini tak bisa ku tolak. Mau tak mau aku ikut turun ke restoran itu. Lagi pula aku juga sama laparnya akibat menunggu jam karetnya Badu.
"Kamu kenapa sih diam aja? Masih marah?" tanyanya. Aku mendengkus. "Menurut Lo?" jawabku ketus.
"Aku minta maaf. Tadi aku ada jadwal syuting sampai sore, terus ketiduran." balasnya memberi penjelasan. Aku malas menanggapi tapi setelah tanpa sengaja menatap matanya yang sayu, aku jadi tidak tega.
Sepertinya Badu benar-benar kecapean. Aku menghembuskan napas lelah. Perasaanku untuknya teramat dalam, hatiku sakit melihat wajahnya yang letih. Rasanya tak tega berkata ketus padanya. Aku menghela napas dengan berat, Badu selalu menang. Apapun salahnya pasti termaafkan. "Lain kali kasih kabar dong biar aku nggak nungguin," pintaku. Entah kenapa Badu tersenyum. Sekali lagi aku tak bisa membaca ekspresi di wajahnya. Semakin hari semakin tampak aneh.
Ah sudahlah. Makanan dihidangkan. Kami makan dalam diam. Setelah itu aku memintanya untuk mengantarkan aku pulang. Tapi karena Badu terlihat letih, sekonyong-konyong Mamaku menyuruhnya menginap ketika kami sampai di rumah. Yah, ini bukan kali pertama. Sejak aku menjadi sahabat baginya, Badu memang sering menginap di rumah ini. Mungkin itu yang membuat aku menyukainya karena aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya dibandingkan Hiro.
Pagi menjelang. Aku yakin terbangun lebih awal dari biasanya. Aku juga yakin si Badu pasti belum bangun.
Kebiasaan, setelah bangun, aku pasti membutuhkan air. Tentu air keran untuk cuci muka dan air minum untuk pelepas dahaga. "Badu?" baru juga sampai di dapur aku sudah melihat Badu.
Ternyata dugaanku salah besar. Badu sudah bangun dan lihat! Dia juga sudah mandi dan rapi. Aku sampai salah fokus melihat penampilannya yang berkali-kali lipat lebih tampan dari kemarin. "Hati-hati dong!" ujarnya. Ya ampun! Aku hampir terjatuh ke depan karena tersandung kakiku sendiri. Andai saja Badu tidak menangkap tubuhku, sudah pasti hidungku patah karena mencium lantai yang dingin.
Pupil mataku membesar saat menyadari sesuatu. Astaga! Badu menangkap tubuhku, kan? Itu artinya aku sedang berada di dalam pelukkannya. Jantungku berdebar. Aku tahu ini harus diakhiri tapi aku merasa nyaman. Seolah memang ini yang ku butuhkan. Aku mengangkat wajahku untuk menatap dirinya.
Badu..
Dia tampan. Aku suka semua yang ada pada lelaki itu. Matanya yang kadang menatapku tajam, hidungnya yang mancung dan menarik, serta rahangnya yang tegas membuat seluruh tubuhku bergetar hebat. Betapa sempurna lelaki ini. Sejenak aku berpikir, ketampanan Badu setara dengan kecantikan Ana. Sementara aku tidak memiliki itu. Meskipun banyak mengatakan aku memiliki senyum manis yang memikat.
"Zera.." aku menelan ludah mendengar namaku disebut olehnya dengan intonasi yang terdengar berbeda.
Aku benar-benar terhipnotis. Dia sungguh mendekati kesempurnaan.
"Alea Kazera... Maafkan aku."
Waktu berhenti. Tanpa bisa dicegah aku terkejut sebelum perasaan hangat melingkupi seluruh dadaku.
Lembut. Badu mengecup bibirku dengan lembut. Tanpa ingin tahu alasannya, aku menerima semua itu. Sedikit saja ingin ku balas sapaannya pada bibirku. Ku biarkan dia tahu sedalam apa perasaanku untuknya. Sampai pada akhirnya kelembutan itu tak lagi bersisa. Badu meraup bibirku dengan cepat. Ia b*******h dan aku suka. Ku balas ia tak kalah cepat. Kami sama-sama kehabisan napas hingga Badu melepaskan pangutannya.
Ku tatap mata Badu dengan berani. Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu seperti ini padanya, "Bersikap pedulilah, tak apa sekalipun itu hanya pura-pura." tapi aku tidak berani. Hatiku pasti sakit kalau kepeduliannya yang akan datang setelah ciuman kami tadi hanya kepura-puraan.
Ya sudahlah.
"Maaf.." Ucapnya. Napasnya masih belum teratur. Aku menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku suka." Balasku.
Badu menatapku lagi. Begitu dalam. Aku benar-benar tenggelam dalam telaga miliknya itu. Hingga tanpa sadar, Badu kembali menarik diriku ke dalam pesonanya lagi dan lagi. Tidak hanya itu, entah sejak kapan bibir kami kembali menyatu. Aku melenguh. Meminta lebih saat ku sadari ada yang terusik dalam diri Badu. Dia merapatkan tubuhnya lebih dekat denganku. Telapak tangannya berpindah ke punggung, menelusup ke balik piyama tidurku. Bibirnya baru saja berpindah ke leherku ketika suara benda jatuh beserta teriakan melengking terdengar oleh kami berdua.
"Astaga Zera, Badu! Apa yang kalian lakukan???"
Detik itu juga ku pisahkan diriku dari Badu. Aku salah tingkah dan sedikit merasa bersalah. Mamaku melihat kami. Alamat kena ceramah panjang kali lebar kalau begini ceritanya. "Kalian harus segera menikah!" mataku terbelalak mendengar perkataan mama. Menikah dengan Badu? Astaga! Aku tidak pernah berpikir Mama sampai mengatakan itu. Meski sesungguhnya otu adalah mimpi terbesar dalam hidupku.
Tetapi tentu ini harus dihentikan. "Mama salah paham, okay! Kita berdua tadi.. " aku pun menjadi bingung menjelaskan pada Mama.
Mama mendengkus. "Kamu aja nggak tahu mau ngomong apa." Ucap Mama.
"Tapi Ma, nggak harus nikah juga kali." Aku memelas.
"Zera!" bentak Mama. "Kalau aja Mama nggak ada di sini apa bisa menjamin kalian nggak pindah ke kamar, huh?" lanjutnya. Aku melirik Badu. Dianya diam aja. Masih santai seperti tak ada masalah apapun yang menghadang di depan sana. Padahal kami baru saja kepergok Mama.
Mataku menatap Mama lagi. "Ma, aku minta maaf. Tapi kita bicarain ini nanti ya. Mama pleaseee..." Mama menghela napasnya. Aku tahu Mama pasti kecewa. Bibir Badu yang sudah sampai ke leher menambah permasalahan kami.
"Tante aku mau nikah sama Zera. Tante tenang aja ya,"
Badu mengatakan apa? Itu benar suara Badu Admaja?? Aku berbalik menatapnya. Mataku mengisyaratkan tanda tanya. Sial! Dia bahkan tak ingin repot-repot menatap ke arahku. Dia tersenyum pada Mama demi meyakinkan Mamaku atas ucapannya itu. "Kamu serius Badu?" tanya Mamaku.
"Badu sangat serius, Tan." Jawabnya.
Aku benar-benar tidak bisa percaya dengan apa yang Badu katakan. Seharusnya aku bahagia. Tapi entah kenapa perasaanku gelisah. Bukan ini yang aku inginkan. Badu tidak perlu bertanggung jawab hanya karena dirinya menciumku.
Kenapa kejadian ini malah menjadikan Badu terpaksa menikahiku? Kami bahkan tidak tidur bersama, kan? Nanti akan ku bicarakan lagi dengan Mama.
"Kalau gitu kalian diskusikan lagi, kasih Tante kabar kalau kamu sudah bicara sama orang tuamu." Ucap Mama sambil berlalu. Kini tinggal aku bersama Badu lagi. Aku menatapnya dengan tatapan sendu tapi tetap tersenyum. Biar ku nikmati moment ini dulu kalau memang Badu inginnya begitu.
Dia mengedikan bahu. "Kita jalani?" katanya. Aku terkekeh.
"Kamu siap-siap dulu. Habis itu anterin aku pulang biar kamu bisa bawa mobilku. Nanti siang jemput lagi ya, kita makan siang bareng sebelum aku syuting." Anggukan kepala adalah tanda kalau diriku memang tidak pernah bisa menolak apapun keinginan seorang Badu Admaja.
***
Aku baru saja selesai mandi saat pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Tak perlu khawatir, satu-satunya yang berani membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu di rumah ini adalah nyonya Nadia, mamaku sendiri.
Ck. Aku menatap sinis ke arahnya. "Kebiasaan," sebalku. Mama hanya terkekeh sebelum kembali menutup pintu. Raga wanita yang telah melahirkanku itu mendekat. Duduk di tempat tidur berukuran besar milikku. Dia tampak menatapku tanpa berkedip. "Kamu nggak kelihatan suka dengan ide mama, Ra," ucapnya.
Aku yang sedang mengeringkan rambut mendadak menghentikan aktivitasku itu. Perlahan menurunkan tangan, meletakannya kembali ke samping tubuhku. Aku menatap mama dengan tatapan sendu. Ternyata mama sengaja melakukan itu padaku dan Badu. Barangkali mama ingin aku mewujudkan mimpi terbesarku yang tak lain adalah menikah dengan Badu.
"Kenapa kamu nggak coba aja semuanya sebelum benar-benar capek?" aku tahu mama memahami perasaanku dengan baik. Demi apa aku suka ide mama yang seperti ini namun jauh di relung hatiku, aku ragu. Aku takut Badu menyakitiku sekali lagi. "Terima kasih, Mama. Aku juga penasaran kenapa Badu bilang kayak gitu ke mama," balasku yang mendapat anggukan darinya. "Mama suka kalau kamu mau move on dari Badu, tapi mama nggak mau kamu ataupun Badu menyesal nantinya. Kasih Badu kesempatan, Sayang," ucapan mama ada benarnya juga.
Setelah aku pergi, aku tak yakin hubungan kami baik-baik saja. Begitu pula dengan hubungan orang tua kami yang telah lama bersahabat. Aku tentu tidak ingin menjadi alasan terpecah belahnya hubungan yang telah lama terjalin erat.
"Iya Ma, semoga Badu nggak nyakitin aku seperti yang aku pikirkan," ucapku lirih. Mama terlihat menganggukan kepalanya sekali lagi. Wanita yang papaku cintai itu tersenyum lembut. "Kalau sampai itu terjadi mama nggak akan biarin Badu ketemu kamu lagi, Sayang," balasan mama membuatku terkekeh.
Kalau sampai Badu merencanakan sesuatu hingga membuatku terluka, aku pun berjanji akan menghilang dari hidupnya. Mungkin Badu tidak akan pernah menemukan Zera yang dirinya kenal selama ini. Meski mungkin Badu juga tak akan pernah merasakan kehilangan.
"Jangan melamun ah, sana ganti baju kamu. Setelah itu sarapan," teguran mama membuatku tersenyum malu. Padahal yang aku lamunkan tentang perpisahanku dengan Badu jika sampai lelaki itu memang berniat menyakitiku.
"Mama turun dulu. Kamu jangan lupa dandan yang cantik," kejajilan nyonya Nadia kembali terlihat saat dia mengedipkan sebelah matanya. Mamaku kembali pada mode suka menggodanya.
Aku berdecak lantas ikut mengedipkan mata, "Siap mama! Kalian akan terkesima melihat kecantikanku," balasku sebelum mama keluar dari kamarku dan menutup pintu. Aku menghela napas dengan berat. Apa yang Badu pikirkan ketika menjanjikan sebuah pernikahan pada mama? Mungkinkah lelaki itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya? Demi apa semua ini membuatku merasakan ketakutan yang besar.
Bagaimanapun aku tak akan sanggup menghadapi kebohongan Badu nantinya. Aku yakin perasaanku akan hancur jika sampai Badu benar-benar merencanakan sesuatu untuk menyakitiku. Namun, aku tak bisa membohongi perasaanku untuk kebahagian sesaat ini. Aku merasa lega Badu berada di sisiku.
Aku mengedikan bahu. Ku lanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda. Setelah itu aku sedikit memoles wahahku dengan make up agar terlihat lebih menarik. Benda kenyal yang tadi pagi dikecup Badu, kini ku berikan sentuhan warna merah menyala. "Selesai!" ujarku setelah puas dengan penampilanku pagi ini.
Jika biasanya aku tidak mengenakan riasan, maka kali ini bibirku terpoles lipstik merah yang biasa Ana kenakan. Katakanlah aku ingin menjadi sepertinya agar Badu benar-benar melihat padaku saja. Aku juga memakai setelan yang terlihat pas di badanku. "Menarik," setidaknya begitu menurutku.
Setelah itu aku turun ke bawah. Sedikit menggerutu ketika menuruni tangga karena sepatu yang ku kenakan cukup tinggi dari model yang biasanya melekat di kakiku. Jujur saja, ini tidak nyaman namun aku ingin tampil sempurna di depan Badu Admaja.
"Papa?" pupil mataku membesar sesaat setelah mataku menangkap lelaki yang sedang mengobrol bersama Badu di meja makan. Papa tampak menolehkan kepalanya, memperhatikan penampilanku dari bawah sampai ke atas. "Kamu siapa?" godanya dengan sengaja. Lihat saja wajah seriusnya itu, membuatku ingin menertawakannya. Tetapi bukannya tertawa, aku justru merengut sebal padanya. "Papa!" bibirku yang merah sudah maju beberapa senti.
"Itu anak siapa, Ma? Zera ke mana?" sebagai anak bontot, aku memang sudah menjadi langganan bagi kedua orang tuaku untuk digoda atau dikerjai.
Dengar saja jawaban Mama selanjutjya, "Nggak tahu Pa, tadi masih di kama," mata mama melotot padaku, "Kamu siapa?" tanyanya dengan intonasi yang cukup tinggi. Biasanya aku tidak merasa malu digoda oleh keduanya di depan Badu, namun kali ini pipiku yang sempat ku poles tampak memerah dengan sempurna. Aku sungguh malu. Ini memang bukan diriku yang sebenarnya. Alea Kazera selama ini lebih menyukai kesederhanaan. Bukan kemewahan yang tampak glamor seperti ini.
Persis penampilan model cantik Anastasya Ruby. Aku menggelengkan kepala dengan keras. Mencoba mengenyahkan bayangan Ana yang terlihat anggun dan berkelas dengan gayanya yang ciri khas. Ck.
Mengabaikan tatapan bercanda mama dan papa, serta kekehan Badu, aku duduk di salah satu kursi makan yang kosong. Seperti biasa, tepat berada di sebelah Badu. Tersisa satu bangku yang kosong setelah mama ikut duduk bersama kami. Kursi itu miliki kakaku tapi jangan harap mendapatinya sepagi ini di rumah karena dia tinggal sendirian di apartemen.
"Itu berapa kilo, Sayang?" lagi mama menggodaku dengan pertanyaan yang tertuju pada lipstik merah menyala di bibirku.
"Berkilo-kilo itu tan," entah apa yang lucu tetapi Badu tertawa di depanku di depan kedua orang tuaku sehingga mereka juga ikut menertawakanku. "Kamu mau meniru Ana dengan dandan kayak gitu?" pertanyaan Badu membuatku menatapnya tak percaya.
Papa mama juga menghentikan tawa mereka. Deheman papa membuatku menyadari bahwa selama ini diam-diam papa juga mengerti perasaanku.
Tanpa mengatakan apa-apa, aku berdiri, memundurkan kusriku lalu bergegas pergi. Tidak berlebihan jika aku sebal mendengar pertanyaan Badu. Meski benar aku ingin meniru penampilan Ana namun kenapa dia harus memperjelas semuanya.
"Zera!" panggilan mama tak ku hiraukan. Ku biarkan semua orang melihat kelecewaanku. "Kejar dia." sempat pula aku mendengar papa meminta Badu mengejarku.
Setelah itu suara kursi berderit dan langkah kaki yang berlari terdengar semakin dekat. Aku mengencangkan laju lariku hingga sampai di kamar. Sial! Saat aku baru saja ingin menutup pintu, tubub Badu yang tinggi dan tegap dengan cepat menghalangi sehingga pintu hanya tertutup setengahnya saja. "Biarin aku masuk!" ujar Badu keras kepala saat aku bermaksud mendorongnya.
"Zera," geramnya. Aku membuang wajah, menarik napas dengan dalam sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Setelah itu pintu ku buka lebar-lebar.
"Kenapa ditutup?" tanyaku ketika Badu menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
"Aku minta maaf, aku nggak sengaja ngomong kayak gitu," ucap Badu dengan lirih. "Penampilan kamu hari ini mirip dia," suara Badu semakin rendah saja. Dia terlihat takut menatap ke arahku.
Kesal dengan pernyataan Badu, aku berusaha menghapus lipstikku yang tebal. Namun dengan cepat Badu menahannya. "Jangan dihapus! Aku suka kamu yang seperti ini," ucapnya sambil menghalangi pergerakan tanganku yang ingin sekali menghapus bibirku hingga warnanya kembali seperti semula.
"Kamu cantik, Zera. Aku suka kamu yang seperti ini," ucap Badu memujiku. Tetapi aku tidak merasa bangga sebab aku baru saja menyadari bahwa berdandan seperti Ana adalah sebuah kesalahan.
Bukan aku yang Badu suka tapi penampilanku yang mirip dengan Ana, perempuan yang mati-matian Badu perjuangkan. Artinya, Badu melihat Ana dalam diriku karena penampilan ini.
Baiklah Badu, aku tidak akan menghapus bibir merah ini demi menyenangkan hatimu. Biar saja aku yang terluka asal kamu berada di sisiku. "Apa kamu senang?" bisikku tepat di depannya.
Badu mengangguk, "Sangat," katanya. Hampir saja jarak yang Badu pangkas secara perlahan menghilang jika saja tak ada yang menggedor pintu dari luar.
Kami berdua terkekeh. Itu pasti mama. "Tanggung jawab," ucapku merujuk pada mama yang pasti minta penjelasan atas terkuncinya pintu kamar ini.
"Ayo," ajaknya. Aku tersenyum melihat tautan tangan kami yang saling menggenggam saat Badu menarikku menuju pintu.
Mama tampak berdiri di sana setelah pintu terbuka. Ia memperhatikanku dengan seksama. "Ayo sarapan dulu," ajaknya setelah menganggukan kepala. Aku sempat melihat senyum di sudut bibirnya saat matanya melihat tautan tanganku dan Badu.
Aku tebak mama pasti baru saja memeriksa apakah Badu melakukan sesuatu padaku. Tenang saja ma, belum sampai terjadi tadi. Tetapi hampir saja terjadi. Aku mengulum senyum di balik punggung mama yang berada tepat di depanku.
Kami meninggalkan kamar dan kembali ke dapur. Di sana, Papa sedang menunggu sambil sesekali memeriksa hpnya. Ku tebak papa masih sibuk dengan pekerjaannya itu.
Beberapa menit terlewatkan, kami selesai dengan sarapan masing-masing. Demi apa aku bahagia melihat pemandangan ini. Ada mama dan papa, juga ada Badu yang duduj tepat di sampingku. Bukankah kami terlihat seperti keluarga bahagia yang lengkap meski mungkin ini semua hanya sementara.
"Kerjaan kamu gimana, Zera?" pertanyaan papa membuatku mendongakan kepala, menatapnya dengan kedua mataku yang terbuka. "Baik sih Pa," jawabku apa adanya. Lagi pula pekerjaan yang ku jalani tidak berat dan membuat setres. Aku cukup beruntung untuk semua itu karena perusahaan tempatku bekerja adalah milik keluarga.
"Bagus. Kalau kamu gimana, Badu?" tanya papa pada Badu.
Lelaki itu tampak menunjukan senyumnya. "Baik, Om. Nanti siang ada syuting juga," jawabnya.
Papa terlihat menganggukan kepalanya. "Tante kamu bilang kalian merencanakan pernikahan?" aku menoleh pada mama yang seolah tak tahu apa-apa. Aku mencebik padanya. Bisa-bisanya mama sudah membagi kejadian tadi pada papa. Padahal Badu belum tentu serius dengan ucapannya.
"Tentu, Om. Kami akan membicarakannya lagi nanti," jawab Badu sambil menolehkan kepalanya padaku. Papa tampak terdiam. Aku tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan setelah mendengar jawaban Badu.
Namun aku tak bisa menahan senyumku, keraguanku tentang Badu yang hanya ingin mempermainkan perasaanku berkurang setelah Badu bicara langsung pada Papa. Mulai sekarang aku akan perlahan mempercayai Badu. Aku akan mencoba menghilangkan kecurigaanku atas rencana mendadaknya ini.
Tetapi sikap Papa yang hanya diam saja setelah mendengar ucapan Badu membuatku sedikit khawatir. Entah kenapa firasatku buruk tentang ini meskipun aku berusaha meyakinkan hatiku sekuat tenaga.
"Pa, Ma kami berangkat sekarang ya," ucapku yang berusaha mengalihkan perhatian Papa. Aku juga berusaha melupakan perasaan khawatirku tentang sikap papa.
"Hati-hati Sayang,"
"Badu tolong jaga Zera,"
Aku tersenyum lega mendengar suara papa. Ku peluk dia dengan erat. "Terima kasih, Papa," ucapku.
.
.
.
Bersambung