Air Terjun Mata Dewa

2270 Kata
Setelah kejadian tadi malam. Hubungan antara Almahyra dan ibunya tampak sedikit canggung. Hari ini mereka sudah berjanji akan mengikuti tour keliling Pulau Bulan. Bersama tour guide yang sudah disiapkan untuk keluarga mereka. Akan tetapi Almahyra terlihat tidak menikmati perjalanan itu, meski menyajikan pemandangan yang memanjakan mata. Setelah makan siang. Mereka memiliki rencana untuk mendatangi Air Terjun Mata Dewa. Airnya yang berwarna hijau muda, hijau tua, akan tetapi tetap jernih. Sehingga berbatuan di bagian dasar dapat terlihat dengan jelas. Tentu ini menjadi salah satu daya tarik utama Pulau Bulan. Di tempat ini juga bebas berenang dan berendam pada kolam khusus. Yang sudah disediakan untuk para wisatawan. Agar tidak mengganggu bagian lainnya, dan pada bagian bibir air terjun. Pengunjung dapat melihat stalaktit dan stalagmit yang sangat indah. Keajaiban alam tersebut telah terbentuk berjuta-juta tahun lalu. “Alma! Tunggu aku!” panggil Amir sambil berlari kecil. “Iya. Kenapa, Mir?” tanya Almahyra. “Apa kamu tahu di mana, Kak Abi? Aku cari di kamarnya tapi enggak ada.” “Maksud kamu! Apa kamu sudah meneleponnya?” “Sudah. Tapi enggak aktif.” Almahyra mulai terlihat panik. Dia langsung menghentikan langkahnya dan mencari telepon genggamnya. Dia merogoh kocek jaket yang sedang dikenakannya. Almahyra tidak bisa berbohong. Sikapnya jelas sekali menunjukkan rasa khawatir yang berlebihan yang diberikannya pada Abizard. Dan itulah yang membuatnya, hingga detik ini belum mampu membuka hati untuk hati yang lain. Sekeras apa pun ia menyangkal perasaannya. Namun perlakuannya tak dapat berbohong. Ia sangat mencintai Abizard dan takut kehilangannya lagi. Bahkan sejak malam, ia belum menyentuh makanan―sehingga tubuhnya menjadi sedikit lemah. Ketika menghadapi satu masalah, Almahyra memiliki kebiasaan tak akan memiliki selera makan. Almahyra akan memikirkan persoalan yang di hadapinya dengan serius. “Nomor yang Anda tuju, sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.” Hanya suara itulah yang didengar olehnya. Ketika ia menekan nomor pria tersebut, Almahyra terlihat semakin gelisah. Ia mulai menggigit jari jempulnya. Setelah itu dia berlari menghampiri, sang ibu yang terlihat bahagia bersama sang putri menikmati suasana yang sejuk nan indah. “Ibu, aku minta maaf aku harus pergi dulu. Ini penting! Pegang ini, dan hubungi aku bila ada apa-apa, pria yang ada di sana akan menemani kalian. Maaf aku tidak bisa menemani kalian. Aku harus pergi!” teriaknya sambil menjauh dari ibunya yang belum sempat memberikan jawaban. “Amir! Kamu tolong temani ibu dan anakku. Tolong jaga keduanya dengan baik untukku,” pekik Almahyra seraya berlari menjauhi Amir dan rombongan lainnya. Amir hanya tersenyum tipis. Seakan ia tahu sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain. Almahyra terus berjalan cepat, melewati bebatuan, mendaki dengan perlahan. Setelah berada di puncak jalan utama. Dia melirik kanan-kiri memperhatikan sesuatu. “Ternyata kamu masih paham dengan kode kita dulu,” suara Abizard terdengar santai dari atas sebatang pohon yang berada tepat di atas Almahyra. Almahyra mendongak ke atas. Napasnya terengah-engah. Akibat berlari dari dasar air terjun hingga ke puncak. Senyuman penuh rasa lega itu tampak menghiasi wajah cantiknya. Butiran keringat mulai tampak pada dahinya. Abizard turun dari tempat persembunyiannya. Keduanya berpelukan. “Aku sayang sama kamu, Abi,” ungkap Almahyra dengan sisa napas yang ada. “Aku tahu itu, sebelum kamu mengungkapkannya. Aku sudah sangat yakin sekali, kalau kamu mencintaiku lebih dari apa pun,” sahut Abizard terdengar percaya diri. “Aku harus bagaimana, Abi?” “Kita akan kembali bersama lagi. Percaya padaku, Alma!” Almahyra menganggukkan kepalanya. Setelah itu keduanya berjalan menyusuri jalan setapak menuju jalan utama. Sesampainya di jalan utama mereka mengendarai sebuah motor tril. Bebas, lepas, tertawa bahagia. Sesuatu yang sudah lama tidak terlihat dari dua insan yang kini menikmati perjalanan mereka. Siapa yang salah dalam keadaan ini? Siapa yang bisa disalahkan jika semua pihak terkait akan alasan yang sama. Cinta! Entah bagaimana semuanya bisa berkaitan. Namun yang pasti begitulah kehidupan. Sebuah misteri yang selalu menyimpan pertanyaan yang membuat semua orang merasa pusing. Ketika sudah di hadapkan dengan persoalan cinta. Bahkan orang paling bijak sekalipun akan emosional. Di saat cinta melandanya. Setelah perjalanan yang cukup jauh. Kini Almahyra dan Abizard telah tiba pada tepi pantai. Keduanya duduk di bawah pohon bakau. Suasana hening, dengan hembusan angin pantai, dan suara deburan ombak. Membuat keduanya seakan melupakan sejenak masalah yang sedang dialami. Almahyra duduk di pasir dengan membuka sepatu dan membiar kakinya terkubur di dalam pasir halus. “Alma. Aku rindu masa di mana kita menjalani indahnya hidup berdua,” ungkap Abizard yang tengah berbaring di atas pasir membiarkan tubuhnya terkena pasir pantai yang bersih. “Aku tidak rindu masa itu!” seru Almahyra singkat. “Kenapa? Apa ada yang salah dengan masa itu?” tanya Abizard. “Iya. Karena tidak lama setelah itu, aku harus kehilangan kamu.” “Kamu ini ....” Abizard bangkit dan merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan sesuatu dari sana. Almahyra yang awalnya tidak peduli. Seketika terdiam di saat Abizard membuka sebuah kotak kecil berwarna merah hati. Sebuah cincin emas putih dengan berlian berwarna ungu terang. Tampak berbinar terpantul sinar matahari. “Almahyra. Aku tidak pernah mengkhianati kamu meski hanya sedetik pun,” ujar Abizard, “ini cincin yang sudahku pesan khusus untukmu kala itu, akan tetapi belum sempat aku memberikannya padamu. Aku sudah harus kehilangan kamu sampai lima tahun.” “Kenapa tidak kamu berikan padanya saja, bukannya kamu tidak tahu kapan akan bertemu lagi denganku?” tanya Almahyra lirih. “Kenapa orang seperti itu yang harus mendapatkannya? Coba beri aku alasan yang tepat.” “Karena dia yang akan menjadi pasangan kamu.” “Apakah aku yang menginginkan pernikahan itu berlangsung?” Almahyra menggelengkan kepalanya. Dia juga paham semuanya memang bukan keinginan dari Abizard. Tapi itu semuanya sudah diatur oleh ibunya. Almahyra juga tahu tak ada yang mampu dilakukan Abizard saat itu, dan itulah yang membuatnya menghilang. Dan menjadikan mereka harus berpisah selama ini. “Kini dia sudah menemukan pemiliknya lagi. Alma menikahlah denganku, hiduplah bersamaku selamanya,” ungkap Abizard tulus menyatakan isi hatinya. “Abi tap―” kalimat Almahyra terpotong ketika Abizard langsung melanjutkan kalimatnya. “Kali ini aku tidak ingin mendengar penolakan palsu lagi! Cobalah jujur pada hatimu, Alma!” kata Abizard dengan serius. “Aku sudah serius.” “Coba kamu tatap mataku. Sekarang!” Alma tak mampu menuruti permintaan Abizard. Dia tertunduk beberapa kali. Mata itu tertutup tak mampu melihat kenyataan yang tengah tersaji di hadapannya. Abizard tersenyum penuh kemenangan. Apa yang dikatakan Abizard adalah kebenaran. Almahyra hanya mengatakan penolakan yang sebenarnya ia sendiri tak ingin melakukannya. Almahyra sebenarnya masih sangat mencintai pria yang telah memberikannya sebuah kehidupan penuh warna. “Kalau begitu aku akan segera mengatur waktu kepulanganku. Dan mengurus perceraianku dengan Haifa,” kata Abizard terlihat penuh semangat. “Apakah semuanya akan berjalan sesuai rencana?” tanya Almahyra lirih. Seakan ia masih terbayang kejadian kelam di masa lalunya. “Pasti kali ini semunya akan kembali dengan baik.” “Apa kamu yakin? Justru hatiku semakin ketakutan untuk melakukan hal itu.” “Tentu saja.” Almahyra hanya diam tak mampu berkata lagi. Tidak ada jalan lagi, selain mencobanya. Untuk mengetahui bagaimana hasil dari harapan keduanya. Tentu bersatu adalah impiannya sejak lama. Tapi selama ini iya selalu menghormati wanita yang telah resmi bersama dengan Abizard. Sebagai wanita tentu saja Almahyra sangat mengerti bagaimana sakitnya dikhianati. Akan tetapi apakah semua itu berlaku untuk kisah cintanya? Bukan dia yang merebut. Tapi cintanya yang telah diambil paksa oleh wanita yang kini akan merasakan hal yang sama. Rumit memang, segala hal yang membahas tentang cinta. Tak banyak yang mampu mengatasi permasalahan dengan cinta. Semenjak ia kembali dari Air Terjun Mata Jitu, Almahyra terlihat lebih banyak melamun. Dia tampak khawatir menanti kabar akan kelanjutan dari rencana mereka, sepertinya ia memiliki ketakutan tersendiri. Almahyra meringkuk dengan memeluk kedua kakinya. Wanita yang terlihat santai dan kuat itu kini memperlihatkan kerapuhannya. Sudah banyak waktu dilaluinya tanpa keluhan. Ia juga tak merengek pada dunia, mengapa ia diperlakukan tidak adil. Almahyra tidak pernah menyesali nasibnya. Dia juga menolak untuk berhenti berharap pada masa depan. Tring! Tring! Telepon kamar berbunyi. Dengan malas ia bangkit dari tempat tidur. Dan meraih gagang telepon yang ada di atas meja. Almahyra menyandarkan tubuhnya pada dipan ranjang. Seraya membenarkan posisi badannya. Ia bahkan terlihat tidak begitu peduli, siapa yang sedang ada di ujung sambungan telepon. “Sayang,” panggil Abizard beberapa kali. “Eh, iya, ada apa, Bi?” tanya Almahyra. “Kamu lagi apa, ‘sih?” “Ini lagi membenarkan posisi badan. Biar enak saja, habisnya akhir-akhir ini aku merasa sedikit capek.” “Itu karena kamu terlalu memaksakan diri atas apa yang tengah menjadi target kerjamu!” Almahyra hanya tersenyum simpul. Ketika ia baru terlihat nyaman dengan posisinya. Tiba-tiba terdengar suara ketukkan di depan kamar yang disewanya. Almahyra sempat mengerutkan dahi. Sebelum akhirnya beranjak juga membukakan pintu. “Abi. Kamu mau apa ke sini?” tanya Almahyra melalui telepon. “Maksud kamu? Aku masih di kamar, ‘loh,” sahut Abizard keheranan. “Kamu ini kebiasaan banget, untung aku cinta. Hehe.” “Alma. Aku serius! Aku masih di kamar.” Almahyra membukakan pintu dengan tersenyum lebar. Berharap yang ada di depan sana, Abizard. Namun, senyum itu menghilang seketika ia tahu siapa yang ada di sana. Amran. Pria itu berdiri dengan gagah, dan tak lupa tersenyum lebar. “Kamu! Ada urusan apa kamu ke sini!” seru Almahyra. “Selamat siang, Almahyra,” ujar Amran dengan senyuman hangat. “Alma, siapa yang ada di sana!” pekik Abizard panik. Almahyra menurunkan telepon yang di letakkannya di telinga. Akibat rasa terkejutnya, Alma sampai tidak mengucapkan satu patah kata pun. Sedangkan Abizard berlari dengan terburu-buru menuju kamar Almahyra. Dengan tenang Arman menyerahkan telepon genggamnya. Yang menampilkan pesan singkat dari ibunya. Dengan isi meminta, Arman menyusul mereka ke sini. “Separah itukah? Aku tak mampu mengatur hidupku, hingga harus diaturkan oleh Ibu?” gumam Almahyra. “Alma. Beliau lebih tahu mana yang terbaik untukmu. Dan pastinya sebagai seorang ibu, tentu beliau tak ingin kamu kembali jatuh pada lubang yang sama,” ungkap Arman. “Lancang sekali kamu berkata demikian! Kamu pikir, sangat sucikah jiwamu itu?” “Alma bukan begitu maksudku, tapi aku hanya mencoba mengingatkan kamu.” “Jangan kamu pikir aku tak pernah tahu masa lalumu! Kautidak memiliki hak untuk menjelekkan, Abizard! Kaubahkan tak mengenalnya, sungguh mudah kaumemberikan penilaian.” Arman terdiam mendapat serangan balasan yang dilancarkan Almahyra. Kini seringai kebencian semakin tampak pada wajah Almahyra. Dari dulu dia selalu diam, ketika sang ibu menjelek-jelekkan Abizard pada orang lain. Tepat di hadapannya, akan tetapi tampaknya ia sudah tak sanggup lagi. “Asal kamu tahu yang sebenarnya, aku percaya kamu akan bungkam!” sambung Almahyra. “Maafkan aku, Alma. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu,” ungkap Arman lirih. “Sejak pertama aku sudah yakin, lelaki sepertimu tidaklah mudah mencintai seseorang dengan tulus. Aku tahu semua kebusukanmu di belakangku!” “Apa maksud kamu, Almahyra. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu.” Cuih! Tanpa diduga dari arah belakang, Abizard datang dengan raut merah padam. Almahyra terkejut tahu bahwa Abizard mendengarkan kata-katanya, terlihat ada senyuman malu-malu di wajahnya. Almahyra menundukkan pandangannya. Kini Arman berhadapan secara langsung dengan yang namanya, Abizard. Selama ini dia hanya mendengar kisahnya. Abizard berdiri tepat menutupi tubuh Almahyra. Sorot matanya tertuju tepat pada manik mata Arman. Pria berambut ikal itu, tampak menyatakan perang dari tatapannya. Bahkan ia tak ingin berpaling barang sedetik pun. Arman yang kini malah tertunduk malu. “Apa yang kautahu tentang aku, Bung?” tanya Abizard dengan senyuman datar. Dan sorot mata tajam. “Saya tidak banyak mendengar tentang Anda. Yang saya tahu adalah, Anda meninggalkan Almahyra dalam keadaan hamil benih Anda,” terang Arman yang membuat Almahyra tampak ingin menampar wajah pria tersebut. “Hahaha. Andaikan hal itu benar, lalu apa pedulinya dengan Anda? Bukankah, Anda juga memiliki masa lalu yang tidak jauh berbeda dari saya?” “Sudahlah, By. Aku juga kalau bukan menghargai Ibu. Sejak pertama bertemu dengannya aku sudah ingin menjauh,” tegas Almahyra. “Hei, Bung. Aku beri tahu padamu, bukan begitu cara mendapatkan hati seorang wanita seperti, Almahyra. Dia adalah wanita yang tak ada duanya,” bisik Abizard, “maka cara memperlakukannya pun juga sangat berbeda.” Setelah mengatakan hal itu, keduanya pergi menjauh dari, Arman yang tampak dilanda rasa malu. Sungguh habis kurasa harga diri, Arman ketika Abizard dengan terang-terangan mengejeknya. Arman memang sudah lama berusaha mendekati, Almahyra. AKGGGHH!! Arman terlihat sangat marah akibat penghinaan yang diterimanya. Pria itu menendang pot bunga yang ada di depan kamar Almahyra. Untung saja benda itu tidak mengalami pecah atau pun retak. Abizard menoleh ke belakang dengan tersenyum merendahkan. Abizard tentulah menyukai hal itu, karena Arman sudah pasti saingannya. “Apa kamu selalu membelaku selama ini?” goda Abizard pada Almahyra dengan merangkul wanita itu dalam pelukannya. Almahyra tidak menjawab. Wajahnya merona, kini berseri tertimpa sinar matahari yang cemerlang. Kedua insan itu berjalan menuju kamar, Abizard. Di tempat lain, Amir sedang asyik bermain bersama Emilia pada kolam pemandian khusus. Bahkan Amir tampak sangat menikmati waktu kebersamaannya dengan sang ponakkan. “Paman, ini ambil,” pekik Emili melemparkan bola air pada Amir. “Aghhh! Emil, kuat banget sampai-sampai Paman terjungkal gini.” “Iya, ‘kan setiap hari Emil di kasih s**u, bekal dan juga jajan sama, Mama,” jawab Emilia terlihat semangat. “Wah hebat banget! Ternyata Emil memang anak yang baik.” “Paman bisa saja. Emil, belum bisa menjadi anak yang baik untuk Mama.” Wajah Emilia terlihat murung. Anak itu benar-benar sama dengan sang ibu. Ia memiliki jiwa yang besar dan terlatih menjadi pribadi yang dewasa. Sejak ia kecil Almahyra juga sudah merasakan kesepian yang kini dialami sang anak. Ia juga tidak mengetahui bagaimana rupa ayahnya. Sering kali ia akan menangis di pojokkan kamar saat pulang sekolah. Karena ia kembali akan melanjutkan aktivitas membersihkan rumah dan memasak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN