Pengganggu Datang.

2129 Kata
Sang ibu yang menjadi satu-satunya orang yang dimilikinya saat itu, harus bekerja keras untuk menyambung kehidupan keduanya. Pekerjaan kasar terpaksa dijalani hanya untuk mencari lembaran yang mampu memberi mereka makanan keesokan harinya. Sikapnya yang dewasa dan tidak manja disukai banyak orang. Sehingga beberapa orang datang untuk mengadopsi Almahyra. Sebagai bentuk rasa prihatin mereka terhadap kondisi sang ibu. Namun, sebagai anak yang berbakti dan memahami kondisi yang dialami oleh ibunya. Almahyra  menolak dengan halus. Ia hanya ingin menemani ibunya di sana. Hingga setelah dia berhasil menamatkan sekolah menengah atas, Almahyra mendapatkan tawaran kerja yang cukup menarik di pusat kota. “Ibu, bagaimana ini? Jika aku terus bertahan di sini alamat kita tidak akan bisa hidup enak,” ujar Almahyra tampak ragu. “Almahyra Batari anakku. Ibu selalu percaya kamu mampu melakukannya. Pergilah. Bekerja dengan baik dan pulang dengan membawa berita yang menyenangkan,” balas sang ibu memberikan restunya meski tampak berat. “Bagaimana dengan Ibu?” “Apa kamu lupa karakter sekuat permatamu itu berasal dari mana? Jangan khawatirkan Ibu.” “Tapi ... Ibu sudah sering sakit-sakitan. Lantas siapa yang akan merawat Ibu?” “Ibu masih punya Hasan dan istrinya yang akan mengurus dan melihat kondisi Ibu di sini. Yang harus jaga diri itu kamu.” “Alma selalu bisa jaga diri, Bu. Tidak akan ada yang bisa menghancurkan Alma.” “Ibu percaya itu.” Dengan berat hati dia terpaksa meninggalkan sang ibu. Sebenarnya ia bersikeras untuk membawa serta sang ibu. Akan tetapi wanita yang sudah merasa tidak cocok dengan kehidupan kota memilih tetap tinggal di desa. Dengan menjadi buruh tani. Selama ia bekerja di kota, Almahyra tidak pernah melupakan sang ibu. Setiap bulan ia rutin mengirimkan uang untuk ibunya. Hingga akhirnya uang yang dikirimkannya selama beberapa tahun. Ternyata selalu ditabung oleh sang ibu. Pada saat uang itu terkumpul banyak, Beliau meminta izin sang putri untuk membeli ladang sendiri. Agar Beliau dapat mengelolanya secara maksimal dan hasil yang didapat pun akan sepenuhnya milik mereka. Sejak saat itulah, Almahyra semakin mendahulukan sang ibu. Ia selalu menahan keinginannya ia rela tidak mengikuti jaman, demi ibunya merasakan hidup yang nyaman. “Aku tidak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini. Apakah tindakan yangku lakukan kali ini akan kembali mengundang kesalahan baru?” tanya Alamhyra pada dirinya sendiri. “Tuhan, aku tidak pernah berniat menjadi orang ketiga dalam rumah tangganya. Akan tetapi mengapa aku dipertemukan kembali padanya? Bukankah aku sudah meminta agar dia menjauhiku saja.” “Tuhan apa yang harus aku lakukan kali ini.” Sebagai wanita tentu saja Almahyra sangat mengerti bagaimana sakitnya dikhianati. Akan tetapi apakah semua itu berlaku untuk kisah cintanya? Bukan dia yang merebut. Tapi cintanya yang telah diambil paksa oleh wanita yang kini akan merasakan hal yang sama. Rumit memang. Segala hal yang membahas tentang cinta. Tak banyak yang mampu mengatasi permasalahan dengan cinta. Semenjak ia kembali dari Air Terjun Mata Dewa. Almahyra terlihat lebih banyak melamun. Ia tampak khawatir menanti kabar akan kelanjutan dari rencana mereka. Dan sepertinya ia memiliki ketakutan tersendiri. Almahyra meringkuk dengan memeluk kedua kakinya. Wanita yang terlihat santai dan kuat itu kini memperlihatkan kerapuhannya. Sudah banyak waktu dilaluinya tanpa keluhan. Ia juga tak merengek pada dunia, mengapa ia diperlakukan tidak adil. Almahyra tidak pernah menyesali nasibnya. Dia juga menolak untuk berhenti berharap pada masa depan. “Ada apa, Sayang?” tanya Amir dengan nada yang lembut. “Paman, aku berharap kamu adalah Papaku,” ujar Emilia dengan wajah polosnya. “Meski Paman bukan ayah kandungmu. Tapi kamu bisa saja menganggap Paman Papa kamu.” “Yang benar, Paman?” “Iya. Benar.” Asyik!” Sebagai seorang anak yang sangat merindukan kasih sayang seorang ayah. Tentu saja, Emilia akan mudah akrab dan dekat kepada lelaki yang mengakrabkan diri pada mereka. Bocah malang itu terkadang harus menahan pedihnya omong kosong tetangga. Tentang jati dirinya yang sebenarnya. Hal itu juga yang ,menjadikan Emilia sangat sukar menjalin kedekatan dengan teman sebayanya. Bukan salahnya, apa lagi inginnya mengalami segala perih ini. Hanya saja Tuhan memberikannya ujian lebih dulu, dibandingkan anak lain yang seusianya masih bermain dengan riang. Tanpa tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang mustahil kautemukan. Emilia terkadang hanya bisa menatap sayu dengan mata berkaca-kaca. Ketika temannya dimanjakan oleh ayahnya. “Pan tahu tidak?” ungkap Emilia. “Apa itu?” jawab Amir santai. “Jujur saja pada saat pertama kita bertemu aku berharap paman itu Papa.” Mata bulat yang penuh pesona itu kini terlihat menatap Amir tanpa berkedip. Sepetinya anak kecil ini juga tahu bahwa, Amir pria yang tampan. Selain itu juga Amir sangat baik kepadanya. Bocah dengan usia lima tahun itu kini hanya terdiam menatap penuh kekaguman pada Amir. “Kamu ini ada-ada saja, sudahlah sepertinya kamu sudah lapar. Lebih baik kita naik dan lanjut makan siang bersama Nenek. “Oke! Ayo, Paman.” “Oke!” Amir terlihat sedih menahan kepedihan ketika dilihatnya Emilia sangat bahagia bersamanya. Harusnya bocah itu tidak perlu merasakan sakitnya hidup berpisah dari orang tua, yang belum pernah dikenalnya. Amir meneteskan air mata beberapa kali. Dan secepat mungkin langsung menghapusnya agar tidak diketahui oleh pihak luar. Sedangkan Abizard bangkit dari duduknya, kini mereka telah berada di kamar yang sama. Saat keduanya kembali bertemu. Pria itu kini membelai wajah cantik wanita pujaannya. Kemudian dia mencium rambut Almahyra yang tergerai indah. Abizard tersenyum penuh arti pada wanita yang terlihat sudah pasrah pada calon suaminya. “Abi. Kapan kamu akan pulang?” tanya Almahyra. “Belum tahu, Sayang. Ada apa? ‘kok tumben tanya begitu,” selidik Abizard pada wanitanya itu. “Enggak apa-apa. Memangnya aku tidak boleh bertanya?” “Bukan begitu, Sayang. Hanya saja ini seperti bukan kamu. Seakan ada keraguan. Maybe.” “Hm.” Abizard merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Sedangkan Almahyra ia malah memilih menikmati pemandangan yang tersaji. Almahyra bangkit dari tempat tidur. Kemudian berjalan menuju jendela yang langsung menghadap ke laut biru. Sungguh pemandangan ditawarkan tidaklah main-main. Semunya indah dan tentu bisa meredakan gejolak hati ketika tengah merasa tak tentu arah. Dan itulah yang dilakukan oleh, Abizard dan juga Almahyra. Keduanya tengah melepaskan rasa penat yang ada dalam hati. Hubungan mereka cukup rumit untuk dijalani. Ditambah saat ini ada ‘si kecil Emilia yang menjadi beban pikiran tersendiri. Pastilah keduanya tidak ingin memberikan contoh yang buruk untuk sang anak. Maka dari itu, segala keputusan harus dipikirkan secara baik-baik. Agar tidak terjadi kembali kesalahan yang sama. Memalah tidak mudah harus berhadapan dengan persoalan cinta yang sangat berat. Hanya saja terkadang, banyak pasangan yang terburu-buru menyerah sebelum benar-benar berjuang bersama. “Kamu lagi berpikir tentang apa, ‘sih?” tanya Abizard dari belakang dan langsung mendekap tubuh mungil Almahyra. “Terlalu banyak yang memaksaku untuk berpikir, Bi. Aku takut semuanya akan gagal dan membuatku kehilangan kamu,” ungkap Almahyra lirih. “Sayang. Kamu tidak akan kehilangan aku lagi, percaya padaku.” “Tapi hatiku mengatakan itu, Bi. Aku benar-benar takut, aku tidak akan sanggup kalau harus kembali kehilangan kamu kedua kalinya. Aku ...,” ujar Almahyra tertahan, “aku tidak yakin bisa sekuat kemarin. Aku pasti akan rapuh dan mati.” Mendengar ungkapan hati sang kekasih, Abizard melepaskan―kemudian berlutut di hadapan Almahyra. Pria itu menggenggam erat tanyanya. Wajahnya melukiskan senyuman penuh cinta. Sorot matanya seakan mengalirkan kehangatan pada Almahyra. Sehingga ia mampu kembali tersenyum dan membantu Abizard kembali berdiri. “Alma. Kamu tahu bukan, ada berapa banyak wanita yang kuabaikan hanya karenamu?” tanya Abizard yang kembali mendekap Almahyra seraya memandang ke laut lepas. “Iya. Mana mungkin aku lupa hal itu, kamu sejak dulu ternyata memang memiliki sifat sedikit tidak waras! Haha,” canda Almahyra sambil tertawa lepas. “Aku memang akan bertindak nekat ketika sudah menemukan apa yang kuinginkan. Hahaha.” Keduanya terlihat bahagia menikmati suasana yang syahdu. Di sisi lain, Herman berusaha mencari tahu siapa sebenarnya pria yang dibela oleh Almahyra. Tampaknya Herman tidak terima dengan kekalahannya. Terlebih sepertinya ia merasa bahwa ibu dari Almahyra memberikan restu padanya. “Siapa ‘sih lelaki itu sampai Alma sangat tergila-gila padanya. Memang ‘sih dia itu ganteng dan sedikit lebih kaya dariku. Tapi aku ‘kan, tidak kalah banyak darinya,” gumam Herman seraya terus berusaha mencari informasi tentang siapa itu, Abizard Esser! KLONTANG! “Ha! Mereka orang yang sama?” tanya Herman pada dirinya sendiri. “Tidak! Itu tidak mungkin! Pasti pria yang bersama Alma itu, bukanlah orang yang sama dengan CEO terkenal ini.” Herman terus saja memperhatikan dengan seksama tulisan artikel yang ada di laman internet. Matanya terlihat sangat waspada, agar tidak terlewat satu pun informasi yang ada di dalam sana. Rupanya, Herman belum menyadari bahwa Abizard adalah pria yang didambakan banyak wanita di negara mereka. Siapa yang tidak ingin menjadi istri seorang CEO muda, sukses, tampan pula. Sudah menjadi mimpi hampir setiap wanita di muka bumi ini. Memiliki kehidupan yang mewah, berkecukupan lahir batin, sehat, dan memiliki seorang suami tampan dan memiliki banyak harta. Maka dari itu pada jaman sekarang ini, banyak sekali ditemukan gadis muda yang rela menjajakan diri. Kepada p****************g hanya demi memenuhi tuntutan gaya hidupnya. “Ternyata memang orang yang sama,” ujar Herman lesu. Tampaknya ia sudah putus harap untuk saingan dengan Abizard. Ia sadar diri, bahwa pria biasa sepertinya tidak akan menang melawan seorang CEO tampan. Baru saja, Herman ingin menutup laman artikel yang ada di laptopnya. Ketika bola matanya seakan menemukan sesuatu yang menarik. Herman kembali bersemangat membaca―tersebut ketika judul laman kedua menuliskan, “Haifa Ayda, Wanita Cantik Istri Tercinta Sang CEO Tampan.” “Akhirnya! Aku menemukan senjata untuk menghancurkan b******n Itu. Hahaha.” Herman benar-benar menyukai temuannya itu, ia juga langsung menyalin nomor telepon sang penerbit artikel. Sepertinya Herman akan melakukan sesuatu yang bisa mengacaukan semua rencana Abizard. Dan ia terlihat sangat puas. Suara tawanya membahana. Menyatu dengan debur ombak yang terkena karang. “Alma. Ketika kita sudah menikah nanti, apa kamu akan tetap mencintaiku sebesar ini?” tanya Abizard pada Almahyra yang masih menatap air biru laut. “Kamu itu sedang bicara apa? sudah pasti aku akan terus mencintai kamu! Karena hatiku tidak bisa dipaksakan,” sahut Almahyra. “Aku benar-benar beruntung bisa memiliki kamu.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Abizard mendaratkan sebuah tanda cinta di pipi Almahyra. Yang membuat wanita itu tampak tersipu malu. Wajahnya merona, seakan terbakar sinar UV. Abizard terlihat senang karena berhasil membuat wanitanya salah tingkah. Hari itu terasa berjalan sangat alot untuk Almahyra. Tangisannya mampu menceritakan seperti apa lelahnya ia menjalani hidup yang berliku. Terlalu banyak perkara yang menyudutkannya di dalam kehidupan. Entah bagaimana ia masih mampu berdiri dengan sangat tangguh. Seakan tak ada sesuatu yang berarti telah terjadi. Ia telah melakukan banyak hal yang membuat dirinya sendiri akhirnya harus bermandikan hinaan. Setelah pertengkarannya dengan Herman petang tadi, kini Almahyra sudah kembali ke kamarnya dan tampak termenung di atas tempat tidur. Sejak―ia belum memakan apa pun sehingga membuat sang ibu dan anaknya tampak khawatir. Dia tampak tengah memikirkan sesuatu yang menguras energinya. Sedangkan Abizard tengah berada di luar pulau. Ting! Ting! Notifikasi pesan singkat terdengar dari telepon seluler, Almahyra. Dengan bermalas-malasan ia mengambil benda tersebut dengan raut wajah yang lesu. Ia melihatnya sebentar. Kemudian membalikkan telepon genggamnya kembali, setelah itu dia tampak membenamkan wajahnya pada bantal yang ada dalam dekapannya. “Nek, ada apa dengan Mama?” tanya Emilia yang terlihat khawatir. “Mama kamu tidak apa-apa, Sayang. Mungkin dia sedang pusing karena banyak pekerjaan yang harus dikerjakan nantinya,” dusta sang nenek. “Apa boleh aku memijit Mama sekarang?” “Sebaiknya nanti saja, ya, Sayang. Biarkan Mama istirahat dulu sekarang.” “Baiklah, Nek.” Keduanya menjauh dari depan kamar tidur. Almahyra mengangkat wajahnya yang telah memerah dan lembap karena air mata yang terserap pada bantal. Almahyra menutup matanya dan berusaha menahan suara tangisnya, agar tidak terdengar oleh anak dan ibunya. Dia menutupi mulutnya dengan menggunakan kedua tangan. Cukup lama Almahyra mencurahkan perasaannya melalui air mata, setelah berhasil menenangkan diri. Almahyra bangkit dari tempat tidur. Pergi ke kamar mandi. Lalu mengambil telepon seluler yang tergeletak di atas ranjang. Setelah itu dia membuka pintu kamarnya yang langsung terhubung dengan tempat bersantai. Dengan langsung menghadap ke laut lepas. Di sana juga ada kursi santai yang beberapa hari ini dijadikan tempat melepas penat oleh Almahyra. Dia terlihat sedang menghubungi seseorang. Namun beberapa kali nomor yang tengah ditujunya tidak dapat dihubungi. Dan tentu saja itu membuatnya kesal. Almahyra berjalan pada dinding ujung tempat penginapannya. Wajahnya menatap lurus ke tengah laut. “Ada apa sayang? Apa yang membuat kamu gelisah begini?” tanya sang ibu yang datang dari bagian pintu penghubung ruang tamu. “Ibu. Entah ‘lah, Bu. Rasanya seperti sedang tidak liburan. Aku merasa justru di tempat ini, hidupku semakin runyam,” sahut Alma dengan tersenyum dingin. “Ada apa, Sayang? Coba ceritakan pada Ibu.” “Bu, Herman mengancam akan memberi tahu, Haifa tentang pertemuanku dengan Abizard. Jika aku tidak mengikuti kemauannya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN