“Herman? Bagaimana dia bisa melakukan hal itu?”
“Alma sendiri juga tidak tahu akan begini, Bu. Jujur saja, aku belum siap jika harus kembali berurusan dengan mereka. Ditambah sekarang aku bersama kalian.”
Almahyra menundukkan wajahnya, sang ibu mendekatinya lalu memeluknya. Tampaknya sang ibu sangat memahami perasaan putri semata wayangnya. Sebagai seorang ibu tentu saja, Beliau juga merasakan rasa khawatir yang sama dengan Almahyra. Pandangan mata yang sudah tak muda lagi itu, kini seakan menerawang jauh ke belakang.
“Apa kamu sangat mencintai, Abizard?” tanya sang ibu yang membuat Almahyra terperanjat.
“Tentu saja, Bu. Aku bahkan tidak bisa membuka hatiku untuk pria lain,” jawab Almahyra dengan wajah jujur.
“Kalau begitu. Lawan! Kali ini kamu tidak boleh menyerahkannya untuk kedua kali pada orang yang sama.”
“Ibu―”
Mata Almahyra tampak berkaca-kaca mendengar kalimat yang keluar dari seorang wanita, yang selama ini menentang keputusannya untuk kembali lagi pada Abizard.
“Ibu, apakah yang Ibu katakan tadi benar?” Almahyra berusaha meyakinkan apa yang didengarnya.
“Ibu tidak akan mengulangi kesalahan yang telah Ibu lakukan. Rebut cintamu anakku! Ibu rela melakukan apa pun untuk melindungimu dan Emilia.”
“Ibu―”
Kalimat Almahyra kembali terpotong. Tak kala dia tidak dapat menahan tangisnya. Kini air matanya benar-benar jatuh berderai dalam dekapan sang ibu. Tidak ada satu kata pun yang mampu terucap dari bibirnya. Semuanya tertahan oleh rasa haru yang membuncah dalam lubuk hatinya.
Setelah melepaskan segala perasaannya. Almahyra meminta izin pada sang ibu untuk segera menemui Abizard di kamarnya. Sang ibu memberinya restu. Dan tersenyum tulus mengiringi sosok putrinya yang perlahan menghilang. Malam itu rasanya suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Angin laut terasa lebih deras dan membuat suasa sekitarnya menjadi lebih sejuk.
Tok! Tok!
Almahyra dengan napas yang masih terengah-engah tampak riang mengetuk pintu kamar Abizard. Di wajahnya selalu terlukis senyuman tipis. Ia tampak tidak sabar menunggu pintu itu dibuka. Dan dia akan mengabarkan sebuah berita yang akan membuat keduanya merasa bahagia.
Namun sayangnya, sudah beberapa menit dia berdiri di depan pintu kayu berwarna cokelat itu, tetap saja tidak ada jawaban atau pun orang yang membukanya. Almahyra mulai terlihat bingung. Kali ini dia mencoba memencet bel yang sudah tersedia.―tetap saja tidak ada balasan.
Almahyra melirik jam yang ada di tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 19.04 WIT, Almahyra mengerutkan keningnya sambil masih berusaha memencet bel. Setelah masih belum menerima jawaban ia memutuskan kembali. Ketika dia akan kembali ke kamarnya, tidak sengaja Almahyra melihat Amir tengah menelepon seseorang.
Perlahan Almahyra mendekati pria itu, akan tetapi baru saja dia ingin menyapanya. Tahu-tahu Amir menyebut nama seseorang yang membuatnya mengurungkan niatnya. Almahyra langsung berbalik dan terlihat ingin meninggalkan Amir. Sayangnya kedatangannya sudah disadari oleh Amir.
“Alma! Sejak kapan kamu di sini? Mau ke mana?” tanya Amir.
“Ah, iya, aku hanya kebetulan lewat,” sahut Almahyra canggung.
“Kamu kenapa? Kelihatannya kamu sedang tidak baik.”
“Tidak. Aku baik-baik saja, ya sudah aku permisi dulu, ya, Mir.”
“Iya.”
Amir menggaruk kepalanya. Wajahnya terlihat kebingungan karena Almahyra bersikap dingin padanya. Sepertinya sang calon adik ipar tidak menyadari bahwa dia tengah bicara dengan wanita yang selama ini tidak disukai Almahyra. Wanita yang sudah membuat hidupnya menderita. Dialah Haifa Ayda.
“Amir! Halo, Amir. Kamu masih di sana,” pekik Haifa dari sambungan telepon.
“Eh, iya. Kenapa Kak?” jawab Amir tampak ragu.
“Kamu sedang bicara dengan siapa? Alma! Bukannya itu wanita yang tadi aku maksud?”
“Eh, bukan! Bukan dia, Kak. Ini Alma Nashyfa pegawai di sini.”
“Amir! Saya tidak suka dibohongi, kamu tidak lupa dengan perjanjian kita, bukan?”
“Ah, tentu tidak. Mana mungkin aku bisa lupa dengan perjanjian dengan Kakak.”
“Ya sudah. Kamu jaga terus kakakmu itu, jangan berikan dia celah untuk menemui wanita itu! karena jika itu sampai terjadi, kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi,” ancam Hayfa pada Amir.
Setelah telepon itu mati. Barulah Amir seakan menyadari sesuatu, dia terlihat melirik kenan kiri berusaha mencari keberadaan Almahyra. Akan tetapi wanita itu kini sudah menghilang dengan cepat. Amir kembali lagi ke kamarnya. Sedangkan Almahyra sudah berada kembali di kamarnya.
Kedatangannya disambut riang oleh bocah lima tahun yang selalu berusaha bersikap dewasa. Ia mengajak sang ibu untuk menemaninya tidur seperti biasa. Mungkin karena sudah benar-benar lelah. Almahyra diam saja ketika tangannya ditarik menuju kamar tidur. Wajahnya menatap sayu pada sosok mungil di hadapannya, jiwa yang masih bersih dan suci.
“Sayang. Kalau andaikan, besok atau lusa. Papa pulang. Kamu, senang enggak?” tanya Almahyra dengan tatapan kosong.
“Pasti ‘dong, Ma. Emil akan menyiapkan semua makanan yang enak untuk, Papa,” jawab Emilia dengan lugu.
“Apa, Emil enggak punya rasa benci sama, Papa? Karena Beliau sudah meninggalkan kita selama ini?”
“Enggak, Ma. Emil mau kita sama-sama kayak teman-teman yang lain. Mereka punya kedua orang tua yang lengkap.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Emilia. Dengan seketika raut wajah Almahyra berubah. Setelah sekian lama ia akhirnya mendengar secara langsung kalimat itu dari mulut mungil anaknya. Selama ini sang anak hanya menyampaikan sesuatu yang tidak begitu mempertegas keinginannya. Yang akhirnya membuat Almahyra merasa jiwa sang anak lebih kuat darinya. Namun tetap saja, dia adalah seorang bocah polos.
Dia tidak akan bisa berbohong dengan baik. Terlebih akan banyak kejujuran yang diungkapkan seorang anak kecil, dibandingkan dengan orang dewasa. Sejatinya seorang anak akan mengutarakan apa yang ada dalam kepalanya. Tanpa tahu bagaimana tanggapannya akan diterima sang pendengar. Berbeda dengan orang dewasa yang terkadang lebih menjaga perasaan orang lain.
“Maafkan Mama selama ini egois, ya, Sayang,” ungkap Almahyra dengan air mata berlinang. Dia tampak berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Mama itu enggak salah. Kenapa harus meminta maaf,” sahut malaikat kecil dengan kisah menarik ini.
“Mama janji akan membawamu pada Papa secepatnya. Kita akan mendapatkan kembali bahagia yang selama ini tertunda.”
Sepertinya sang anak tidak paham apa yang tengah dibicarakan oleh ibunya. Wajahnya mendongak ke atas. Ia menatap wajah Almahyra dengan seksama. Sepertinya dia masih bingung dengan semua yang terjadi. Namun melihat wajah Almahyra yang lemas membuatnya seakan paham. Dengan tulus ia memberikan senyuman kepada sang ibu.
“Mama, enggak boleh sedih lagi, ya,” ungkapnya seraya menghapus air mata yang membasahi wajah Almahyra.
“Mama enggak lagi sedih, Anak. Tapi, Mama terharu memiliki seorang putri seperti kamu.”
“Emil juga bangga punya Mama yang hebat dan sangat cantik.”
Keduanya tertawa setelah Emilia mengatakan kalimat yang biasanya tidak disukai Almahyra. Malam itu Almahyra tertidur dengan cepat. Dia tidak memberikan celah untuk sang anak menjauh dari dekapannya. Tengah malam, Abizard sudah kembali tiba di penginapan. Sesampainya di kamar ia langsung mengisi daya telepon genggamnya.
Wajahnya terlihat lelah. Setelah beberapa saat ia pun tertidur dengan masih menggunakan baju dan sepatu. Sungguh hal yang belum pernah dilakukan seorang, Abizard. Ia tak pernah terlihat selelah itu, sepertinya ia melewati hari yang panjang dan penuh rintangan. Setelah tiga jam ia tertudur, Abizard terbangun karena merasa gerah. Rupanya ia lupa menyalakan pendingin ruangan.
“Sudah Subuh, ternyata. Aku kira masih tengah malam,” gumam Abizard seraya menyalakan pendingin ruangan dan membuka semua pakaian perginya yang masih melekat di badan.
Kini jelas sekali terpampang nyata pemandangan indah. Susunan roti sobek yang keras. Tertata rapi pada bagian perutnya, ditambah lagi dengan saat ini ia hanya mengenakan celana pendek. Dengan gagah Abizard duduk di sisi tempat tidur. Seraya mengambil telepon selulernya yang kini sudah terisi penuh dengan daya.
Ketika benda dengan layar yang dapat disentuh itu, telah nyata berfungsi. Hal pertama yang dilakukannya adalah melihat segala yang berhubungan dengan Almahyra. Dia juga membaca pesan yang dikirimkan terlebih dahulu oleh kekasihnya. Namun tiba-tiba dahinya berkerut.
“Alma? Kenapa dia meneleponku sebanyak ini? Apa ada yang tidak beres?” gumam Abizard kembali ketika ia menemukan 5 panggilan tidak terjawab dari wanita terkasihnya.
“Aku harus bertemu dengannya kelak.”
Setelah itu dia kembali lagi menaruh telepon selulernya di atas meja. Ketika secara tiba-tiba ada panggilan yang masuk. Mau tidak mau, ia harus menerimanya karena sudah terlanjur membuka pesan tersebut.
“Abi, kapan kamu pulang?” isi pesan yang sudah bisa dipastikan dikirimkan oleh, Haifa sang istri.
“Dasar. Wanita Berbisa bisa-bisanya kau terlihat baik di depanku. Tapi ternyata busuk dalamnya,” celetuk Abizard mengomentari keputusan Almahyra.
Tidak lupa, dia juga membalas pesan tersebut dengan sangat ketus. Abizard memang tipe pria yang tidak suka basa-basi. Dia tidak menyukai kegiatan yang akan menyita waktunya. Namun tidak memiliki hasil. Abizard lebih suka langsung pada pokok permasalahannya saja.
“Tidak perlu! Aku tidak membutuhkan bantuan orang sepertimu!”
Sudah dapat ditebak. Bagaimana reaksi Hayfa saat menerima pesan singkat tersebut, sebagai seorang istri. Hatinya sudah pasti kembali terluka. Terlebih ia hingga saat ini, belum dapat menundukkan perusahaan incarannya.
Haifa adalah sosok wanita yang nekat. Dia tidak segan-segan memberikan pelajaran yang mahal terhadap lawan bisnisnya. Wanita ini juga dikenal kejam. Karena dia dididik dalam ruang lingkup keluarga judi. Ayah Haifa juga bekerja sama dengan beberapa mafia barang terlarang.
“Abi, meski kamu terus mengganggap tidak ada. Namun aku tetap akan terus mencintaimu!”
Abizard yang baru saja ingin bangkit. Kembali duduk dan membuka pesan dari Haifa. Seketika seringai penuh kengerian terlukis di wajah tampan Abizard. Dia tidak membalas lagi pesan itu, melainkan memilih mematikan kembali telepon genggamnya.
“Silakan kamu menunggu! Sebentar lagi semua harapan kamu akan sirna Haifa. Karena aku sudah mengirimkan surat talak padamu.”
Almahyra terbangun dari tidurnya. Dengan sang anak yang masih betah dalam pelukannya. Bocah itu tampak sangat lelap dalam tidurnya. Perlahan Alma mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja laci. Ia memeriksanya. Ajaibnya, muka yang tadinya kusut karena belum mandi.
Kini berubah menjadi berseri-besi. Ketika melihat pesan singkat dari sang calon suami. Pria yang sejak tadi dicari dan dinantikannya. Perlahan ia berusaha membebaskan diri dari dekapan anaknya. Almahyra sangat berhati-hati agar tidak membuat gerakan yang kuat.
“Abi. Kamu dari mana ‘sih seharian menghilang,” gumam Almahyra dengan suara yang sangat pelan.
Baru saja dia akan menarik sisa tangannya yang masih ditindih Emilia. Tiba-tiba bocah cantik itu berbalik dan mendekap Almahyra semakin erat. Sepertinya dia tidak ingin membangunkan sang belahan jiwa. Maka, Almahyra memilih kembali merebahkan diri. Pandangan matanya kini lurus. Menangkap banyaknya objek yang berada di kamar itu.
Sepertinya, Almahyra sudah tidak sabar menanti datangnya sang mentari. Agar dia juga dapat dengan bebas bertemu sang pujaan hati. Ketika dunia sudah kembali terang benderang. Di sanalah segala makhluk akan kembali beraktivitas kembali.
Almahyra terbangun dari tidurnya. Dengan sang anak yang masih betah dalam pelukannya. Bocah itu tampak sangat lelap dalam tidurnya. Perlahan Alma mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja laci. Ia memeriksanya. Ajaibnya, muka yang tadinya kusut karena belum mandi.
Kini berubah menjadi berseri-besi. Ketika melihat pesan singkat dari sang calon suami. Pria yang sejak tadi dicari dan dinantikannya. Perlahan ia berusaha membebaskan diri dari dekapan anaknya. Almahyra sangat berhati-hati agar tidak membuat gerakan yang kuat.
“Abi. Kamu dari mana ‘sih seharian menghilang,” gumam Almahyra dengan suara yang sangat pelan.
Baru saja dia akan menarik sisa tangannya yang masih ditindih Emilia. Tiba-tiba bocah cantik itu berbalik dan mendekap Almahyra semakin erat. Sepertinya dia tidak ingin membangunkan sang belahan jiwa. Maka, Almahyra memilih kembali merebahkan diri. Pandangan matanya kini lurus. Menangkap banyaknya objek yang berada di kamar itu.
Sepertinya, Almahyra sudah tidak sabar menanti datangnya sang mentari. Agar dia juga dapat dengan bebas bertemu sang pujaan hati. Ketika dunia sudah kembali terang benderang. Di sanalah segala makhluk akan kembali beraktivitas kembali. Tidak lama setelah ia terbangun. Sang fajar tiba dengan membawa kabar ceria. Pada dunia yang tadinya hitam kelam, berselimut sepi bertabur kehampaan. Banyak jiwa dengan segala gejolak rasa. Menanti hadirnya pagi hitam akan membawa berita bahagia.
Begitu juga dengan Almahyra. Beberapa kali ia mencoba melepaskan diri dari dekapan sang buah hati. Dan ketika akhirnya, dia berhasil wanita itu langsung berlari menuju kamar mandi. Almahyra membasuh muka dengan dinginnya air segar, yang mengalir melalui keran yang mengucur.
Kini ia sudah siap dengan jaket dan juga sebuah syal penghangat tubuh. Tidak lupa dia mengambil telepon genggam yang masih berada di dalam kamar. Ibunya yang sudah lebih dulu terjaga. Terlihat tegah berada di dapur. Sedang memanaskan sisa makanan semalam yang hanya sedikit berkurang.
“Alma? Kamu mau ke mana?” tanya sang ibu.