Suara mobil yang terdengar berhenti di garasi rumah, membuat aku terjaga dari tidur. Sesaat melirik jam di dinding. Sudah pukul tujuh malam. Ternyata hampir dua jam aku tertidur. Lumayan ... badan terasa lebih segar. Ketika hendak bangkit berdiri, pintu kamar terbuka. Munculah Rudi beserta putrinya. Lelaki itu segera melempar senyum manis begitu melihatku.
"Aya, bagaimana keadaanmu?" Pria itu menyapa disertai senyuman.
"Sudah baikan. Maaf merepotkan," ucapku merasa tidak enak.
"Tidak ada yang direpotkan. Kami merasa senang kok bisa menolongmu. Iya gak, Key?" Rudi mengerling pada gadis kecilnya.
"Iyup," sahut Keyra riang.
Ayah dan anak lantas tersenyum bersama. Keduanya tampak bahagia walau tanpa ada Nella. Berbeda dengan Davin dan Abella. Kedua anakku tidak bisa tertawa lepas jika aku dan Mas Ferdi berpisah.
"Hey, jangan melamun begitu, Ay!"
"Eh. E---iya."
Aku gelagapan tersadar dari lamunan. Kembali Rudi dan anak tersenyum kecil. Lalu pria itu mendekat.
"Sebaiknya kita makan malam, yuk! Kebetulan aku beli banyak makanan," ajaknya hangat.
Aku hanya menganguk untuk menjawab. Maka kami bertiga pun ke luar kamar. Begitu sampai di meja makan, aku memilih duduk di samping Keyra. Sementara Rudi duduk tepat di hadapan. Sedikit merasa takjub, setelah melihat ada banyak aneka makanan yang tersaji pada meja berbahan kayu jati itu. Tampak ada sepiring ayam bakar, sop buntut, martabak telor, tumis kangkung, dan seloyang pizza yang siap disantap. Aku sendiri sampai menggeleng dibuatnya, saking bingung mau makan yang mana dulu.
"Ayo Aya, makan! Jangan malu-malu begitu! Nanti pingsan lagi lho," tegur Rudi melihatku tak segera mengambil makanan.
Aku mengangguk kecil. Lalu membalikan piring yang terkelungkup di meja. Mengisinya dengan dua centong nasi beserta tumis kangkung sebagai lauknya. Tak lupa sepotong ayam bakar kuambil. Lantas kusodorkan piring itu pada Rudi.
"Makasih," ucap Rudi dengan senyum yang terkulum.
Matanya tak berkedip melihatku. Menjadi jengah dibuatnya. Untuk mengalihkan rasa malu itu, kualihkan dengan menawari Keyra. Menanyakan hendak diambilkan makanan apa.
Gadis kecil itu menunjuk sop buntut dan ayam bakar. Kemudian lekas menyantap makanannya usai menerima piring yang kusorongkan. Aku sendiri hanya mengambil satu centong nasi yang kubasahi dengan sop.
Lalu mungkin karena terburu napsu saat makan, tiba-tiba Keyra tersedak. Bocah cilik berpiyama motif kartun doraemon itu terbatuk-batuk. Refleks aku dan Rudi menyodorkan air putih pada dia. Keyra menatapku dan Rudi secara bergantian. Sembari mengulum senyum, anak itu memilih menerima air putih pemberianku.
"Pelan-pelan makannya, Sayang. Keyra sedang tidak berpuasa seperti Tante Aya kan?"
Aku melirik sekilas pada pria berjanggut tipis itu. Merasa tidak paham dengan maksud omongannya. Rudi sendiri hanya menyeringai kecil melihat aku menatap heran padanya.
"Memang tadi siang Tante Aya sedang puasa?" Keyra berbalik arah bertanya padaku.
"Iya, sudah dua hari. Tapi tidak pernah sahur dan berbuka, makanya jatuh pingsan." Rudi menyambar pertanyaan yang diajukan Keyra untukku.
Mendengar pria itu meledek, aku hanya bisa tertunduk malu. Sebenarnya kesal juga. Namun, tidak mampu berbuat apa-apa untuk membalasnya. Jadi jalan satu-satunya hanya diam seraya menikmati sop buntut itu.
Sepanjang acara makan, Keyra terus saja bercerita tentang aktivitasnya pada sang papa. Sementara Rudi tampak antusias mendengarkannya. Melihat Keyra berceloteh riang, aku jadi teringat Abella. Walaupun Keyra tidak seceriwis Abella, tetapi kedua anak itu setipe. Sama-sama suka berbicara.
Ya ... Alloh, aku merindukan anak itu, juga kakaknya. Kangen pula suasana makan seperti ini, saat masih bersama Mas Ferdi. Mas Ferdi. Tidak! Hapus nama itu dari otakmu, Ay!
*
Acara makan malam hangat bersama keluarga Rudi usai sudah. Tadinya pria itu sempat melarang, saat melihatku membantu Bik Marni memberesi meja makan. Namun, karena aku tetap bersikeras, maka dia pun mengizinkan.
Kemudian ketika tengah mencuci piring di wastafel, terdengar bunyi petir menggelegar. Sudah dipastikan pasti akan turun hujan. Aduh ... bagaimana ini? Padahal aku berniat minta diantar ke rumah Ria pada Rudi. Namun, demi melihat kondisi yang tidak memungkinkan seperti ini, aku tak yakin kalau pria itu bersedia melakukannya.
Akhirnya, setelah merasa pekerjaan sudah beres, kutinggalkan Bik Marni yang masih sibuk mengelap piring. Kaki melangkah ke ruang keluarga. Di mana tampak Rudi tengah membimbing Keyra saat belajar. Terlihat Keyra duduk dilantai dengan siku yang bertumpu pada meja kaca, sedangkan Rudi duduk di sofa. Keduanya terlihat begitu serius pada buku yang sedang di pegang Keyra.
"Tante Aya, mau nginep di sini ?" tanya Keyra begitu melihat kedatanganku.
"Tentu dong, Sayang. Di luar hujan deras begitu. Udah malam pula. Gak beranilah dia pulang sendiri." Kembali Rudi menyambar pertanyaan Keyra yang ditujukan padaku.
"Betul juga sih," sahut Keyra menyetujui omongan sang papa.
Kembali gadis cilik menatap bukunya. Lalu mulai menulis lagi. Namun, tiba-tiba dia kembali memandangku yang mulai bersiap duduk di samping papanya. "Emang Davin dan Abell gak nyariin Tante?"
"Key----"
Rudi menegur anak itu. Sepertinya dia tidak menyukai putrinya membahas kedua anakku. Itu terlihat dari gelengan kepalanya yang menyuruh Keyra untuk tidak bertanya lagi.
"Justru itu. Tante mau minta tolong papanya Keyra buat nganter pulang." Aku menyahut pertanyaan gadis cilik itu.
"Ay ... bukannya gak mau, tapi kamu mau pulang ke mana? Cimanggu atau Baranang Siang?" ujar Rudi padaku. Sepertinya dia menghendaki agar aku tetap menginap di rumahnya.
"Rumah Tante Aya kan di Cimanggu, Pa." Keyra menyambar.
Rudi mengelus rambut anaknya yang terurai lepas. Merapikan beberapa bukunya yang berserakan di meja. "Dah ... sekarang Key bobo aja!" titah pria itu sembari memasukan buku-buku sang putri ke tas punggung berwarna ungu.
"Tapi, Pa ... Key belum selesai belajarnya," protes Keyra tampak kebingungan melihat aksi papanya.
"Udah gak papa! Lanjutin besok pagi aja! Udah malem ini."
"Iya, deh." Walau terlihat bersungut-sungut, tetapi bocah manis itu mematuhi perintah sang papa. "Malem, Pa." Keyra mencium pipi papanya. "Malem, Tante." Tak lupa gadis cilik itu mencium punggung tanganku juga. Setelah mendapat sentuh lembut dari tanganku pada rambutnya, Keyra melangkah ke kamarnya.
Setelah Keyra menutup pintu kamarnya, Rudi kembali menatapku. "Maaf, Aya. Bukannya tidak bersedia mengantarmu, tapi liat kondisinya sekarang. Hujan besar. Lagian kamu masih bingung kan mau pulang ke mana?" tutur Rudi sembari melepas kaca mata tipisnya. Lalu meletakan begitu saja di meja.
"Mas, aku sudah menentukan pilihan. Akan menginap di rumah Ria. Jadi tolong antarkan aku, ya?" pintaku yakin.
"Tapi Ay ...."
"Mas, aku tidak mau ada fitnah. Seorang janda nginep di rumah seorang duda. Tidak ada orang ketiga buat penengah. Hanya seorang anak kecil," potongku cepat.
"Ada Bik Marni di sini," sahut Rudi segera. Ya ... Alloh kenapa pria itu begitu ngotot agar aku bisa menginap di sini? Lantas Rudi kembali berujar, "Kamu tidak mau menginap di sini karena takut digunjingkan. Tapi, kamu malah mengijinkan Nella seatap dengan Ferdi. Yang jelas-jelas mereka pernah terlibat skandal."
Aku tertunduk tidak bisa membantah kebenaran itu. Ya ... hingga kini rasa sesal itu masih ada, harusnya kemarin itu aku tidak perlu begitu peduli dengan Nella. Sehingga mungkin keadaannya tidak akan seperti ini. Sepertinya aku masih bisa tinggal dengan Abella. Andai aku mau bersabar.
"Sudahlah! Pergi tidur saja sana di kamar Keyra! Besok pagi akan aku antar ke tempat teman itu," janji Rudi membuat aku mendongak untuk menatapnya. Lalu mengucap kata terima kasih. Kemudian setelah mendapat anggukan dari dia aku beranjak pergi. Namun, baru tiga langkah pria itu memanggil. "Pakailah! Tadi sempet mampir beli ini. Soalnya aku yakin kamu butuh baju ganti dan baju Nella sudah tidak ada sehelai pun di sini," tutur Rudi sembari menyerahkan dua buah bag paper padaku.
"Makasih, Mas." Aku menerima pemberiannya.
Rudi mengangguk lalu berlalu menuju kamar pribadinya. Aku sendiri lantas beranjak menuju kamar Keyra. Terlihat anak itu sudah melayang ke alam mimpi seraya memeluk boneka teddy bear berwarna pink.
Merasa penasaran dengan pemberian Rudi. Maka kulongok isi bag paper tersebut. Di bag paper pertama ternyata ada sepotong tunik panjang berwarna merah muda dengan motif garis vertikal kecil, lengkap dengan legging hitamnya. Ada pula hijab segi empat berwarna senada tunik. Sepertinya Rudi belikan ini untuk baju gantiku esok hari.
Lalu di bag paper kedua, ada satu baju tidur berwarna biru muda. Warna favoritku. Namun, yang lebih membuat terkesima adalah adanya under wear dalam tas tersebut. Bahkan ukuran bra-nya sesuai dengan kepunyaanku. Tiga puluh enam B. Juga ada dua buah celana dalam berenda dengan warna hitam. Di mana size-nya juga tepat. Size L.
Lihatlah! Betapa manisnya sikap Rudi. Tak terasa aku mengulum senyum penuh haru. Demi melihat semua pemberian pria itu. Kenapa Rudi jadi begitu perhatian? Bahkan seingatku, Mas Ferdi saja yang belum pernah sekalipun membelikan under wear seperti ini untukku.
Kemudian dengan masih memendam rasa haru nan bahagia, aku memakai baju pemberian Rudi. Terasa sedikit tidak pas. Mungkinkah berat badanku naik? Ah ... lupakanlah! Yang terpenting sudah ada ganti baju. Lantas baju kotor pun kumasukan ke keranjang di sudut ruangan.
Kemudian pelan-pelan aku merangkak ke ranjang Keyra. Merebahkan badan dan bersiap merehatkan badan. Sebelum terlelap doa kusematkan. Ya ... Alloh semoga hari esokku lebih berwarna dan yang pasti sampaikan salam rinduku untuk Davin dan Abella. Aamiin.