6. Proyek 3: Pasang Cincin

1494 Kata
“Belum siap juga?” Mia bertanya curiga ketika melihat Chica keluar dari kamar Ayodya, klien yang akan mereka rias hari ini, dengan wajah senewen. Chica menggeleng lesu. “Masih mandi, Mbak.” “Lama banget. Niat enggak sih mau lamaran,” gerutu Mia tidak sabar. Sudah hampir satu jam ia menunggu di teras rumah Ayodya, tetapi gadis itu belum juga siap dirias. Padahal kalau sesuai prosedur, seharusnya saat Mia datang klien sudah dalam keadaan siap dirias. “Shh, Mbak!” tegur Chica panik. Takut ucapan Mia didengar pihak keluarga. “Mbak Ayodya katanya abis ribut gede sama Mas Danar. Tadinya sempet mau bubar aja acara hari. Tapi setelah dibujuk-bujuk akhirnya mau lanjutin acara lamaran. Cuma ya gitu, masih agak bete. Jadi enggak semangat.” “Sering banget deh ada drama kalo lamaran atau sangjitan. Gue lebih suka ngurusin prewed aja, aman,” gerutu Mia. “Nikahan?” Chica yang baru setahun jadi asisten Mia, memang masih minim pengalaman. Beda dengan Mia yang sudah hampir enam tahun malang melintang di dunia perweddingan khususnya di bidang riasan. Mia mengedik pelan. “Untung-untungan. Kadang drama kadang lancar.” Baru saja Mia mau melanjutkan penjelasaannya pada Chica, kehadiran tim foto dan video langsung mengalihkan perhatiannya. Sesuai firasatnya, benar saja kalli ini tim Klix lagi yang datang. Inilah hal yang paling membuat Mia gelisah menunggu Ayodya. Alasan terbesarnya ingin cepat-cepat masuk ke kamar Ayodya dan merias gadis itu adalah untuk menghindari Lio. Entah mengapa perasaan Mia mengatakan kalau hari ini ia akan bertemu lagi dengan Lio dan nyatanya terbukti benar. “Hari ini lamaran ya?” Demikianlah sapaan yang Lio lontarkan begitu berpapasan dengan Mia di teras. “Hm?” Entah mengapa kalimat yang Lio ucapkan terdengar ambigu di telinga Mia. “Bukan kita.” Lio tersenyum lebar melihat ekspresi kaget Mia. Cepat-cepat Lio menambahkan. “Klien kita hari ini maksud aku.” “Udah tau pake nanya,” gumam Mia sinis. Sebenarnya ia lebih merasa kesal pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya sampai salah tingkah di depan Lio hanya karena sebaris kalimat pertanyaan yang pemuda itu lontarkan padanya. “Kamu udah pernah lamaran?” tanya Lio jail. “Hah?” “Sampai lupa. Lamaran pernah dilamar belum ya?” ujar Lio setengah menggoda. “Urusan sama kamu?” sahut Mia ketus. “Galak banget sih. Marah terus tiap ketemu aku.” “Muka kamu aja udah bikin emosi.” Mia segera bangkit berdiri sambil mengentakkan kaki. Tidak tahan lagi berdekatan lebih lama dengan Lio. “Tambah kamu ngomong, makin bikin keki.” Luar biasanya, ketika Mia melangkah meninggalkan Lio, pemuda itu berani menahannya. Tingkah Lio membuat Mia luar biasa terkejut. Ia mendelik horor ke arah tangan Lio yang mencengkeram lengannya. “Mau ke mana?” tanya Lio santai. “Kerja!” sahut Mia ketus sambil menepis tangan Lio kemudian melanjutkan dengan nada menantang. “Emang kirain ngapain di sini?” Lio tersenyum penuh percaya diri. “Pacaran sama aku mungkin.” “Gila!” Mia melotot tidak percaya lalu segera melesat meninggalkan pemuda itu. Untuk satu jam ke depan, setidaknya Mia aman dari gangguan Lio. Ia bisa merias dengan tenang di kamar Ayodya. Sayangnya, begitu tugas selesai dan acara akan segera dimulai, Mia harus keluar dari kamar sang klien dan terpaksa bergabung dengan para kru yang lain. Inginnya segera pulang, tetapi Mia masih harus berjaga sampai acara selesai andai kliennya membutuhkan touch up. "Aduh, ampun ya!" keluh Mia senewen ketika ia tengah duduk di sudut taman, menunggui acara lamaran yang berlangsung di dalam. "Kenapa, Mbak?” tanya Tita heran. “Misuh-misuh terus dari pagi." "Bahaya …," bisik Chica di telinga Tita. "Ta, aku enggak kuat lagi deh kalo kayak gini caranya." "Enggak kuat apa, Mbak?" Tita terlihat tidak mengerti. "Enggak kuat kalo seminggu sekali mesti ketemu dia, Ta." "Hm?" "Itu!” Mia mengedik ke arah beberapa kru foto yang tengah bertugas mengabadikan acara lamaran Ayodya dan Danar. “Makhluk berkamera yang di situ!" Tita menatap ke arah yang Mia tunjuk. "Mas Lio?" "Enggak usah disebut namanya!” tegur Chica cepat. “Mbak Mia tambah mau ngamuk." Tita mengangguk paham dan segera menghilangkan nama Lio dalam pertanyaannya. "Kenapa sama mas yang itu, Mbak?" "Coba diinget-inget deh. Tiga minggu berturut-turut, kenapa proyek gue bareng terus sama dia?" tanya Mia dongkol. "Masa sih, Mbak?" sahut Tita kaget. "Iya, Ta. Aku tuh inget banget," ujar Mia geram. Tita yang belum terlalu paham situasi, malah tersenyum menggoda. "Mas Lio berkesan ya?" "Berkesan palamu!" sembur Mia galak. "Ta, jangan mancing deh!" tegur Chica lagi. Ia yang sehari-hari bersama Mia sudah lebih awas soal suasana hati bosnya ini. "Sabar, Mbak.” Tita meringis geli. “Ngeri tau marah-marah terus." "Ta, serius deh. Ini tuh emang kebetulan aja, atau ada konspirasi sih?" "Ya, ampun bahasanya! Konspirasi apaan sih, Mbak?" tanya Tita tidak mengerti. "Konspirasi yang bikin gue tiba-tiba ketemu dia terus." Bayangkan, dari yang tidak pernah bertemu selama hampir enam tahun, tahu-tahu saja muncul lagi dan bersua seminggu sekali. "Ya, Gusti! Mbak Mia ini curigaannya ngeri banget sih," keluh Tita ngeri. "Mbak Mia tuh sebenernya ada masalah apa sih sama Mas Lio?" "Enggak ada," jawab Mia datar. "Kalo enggak ada, kenapa tiap liat Mas Lio, Mbak kayak orang lagi PMS plus sakit gigi plus nahan boker sih?" "Itu mulut!" desis Mia gemas. "Ayo, dong! Kasih tau Tita.” Namun, bukannya takut dengan kejengkelan Mia, keponya Tita malah kumat. “Biar Tita bisa ngerti kenapa Mbak Mia uring-uringan gini." "Kalo tau terus bisa apa?” tantang Mia. “Bisa bikin aku enggak proyek bareng dia lagi?" "Kalo soal itu sih di luar kuasa Tita, Mbak." Mia langsung berdecak sinis. "Terus apa gunanya kamu tau?" Tita langsung nyengir. "Kepo aja." "Chica juga kepo, Mbak." Mia mendelik tidak percaya pada keduanya. "Sama aja kalian tuh!" "Cerita dong!" rengek Tita. "Dia itu kakak kelas aku waktu SMA,” aku Mia dengan suara sepelan mungkin. "Oh …, kakel sama dekel ceritanya." Chica manggut-manggut sambil melempar tatapan penuh arti ke arah Tita. Tita juga membalas pandangan Chica dengan sama nakalnya lalu menambahkan. "Udah kenal lama banget dong!" "Enggak lama banget juga kali!” protes Mia. “Kesannya gue udah sepuh aja, baru juga lewat …, ya sepuluh tahunanlah." Sontak Chica terkikik geli. "Segitu enggak lama katanya." "Gue bisa denger ya!" omel Mia. "Terus terus?" Cepat-cepat Tita menggiring Mia pada topik utama mereka. "Mbak Mia akrab sama Mas Lio?" tanya Chica penasaran. "Atau jangan-jangan dulu pacaran ya?" Tita ikut bertanya. "Cinta pertama ya?" tanya Chica lagi. "Patah hati pertama juga?" tebak Tita geli. "Hm …, dasar tukang gosip kalian tuh ya!" desis Mia geram. "Ayolah, kasih tau aja!” bujuk Tita pantang menyerah. “Penasaran nih." Mia memutar bola matanya kemudian memberikan keterangan singkat. "Aku sama dia sempet deket. Tapi enggak lama." Chica mengedipkan matanya penuh arti. "Deketnya pacaran?" "TTM doang," jawab Mia datar. "Wih! Udah ada ya istilah itu di jaman Mbak Mia!" seru Chica kagum. "Lo kira gue makhluk purba! Jaman kita enggak jauh beda tau!" "Tenang, Mbak. Jangan emosi gitu dong …," bujuk Tita sambil memasang wajah centil. "Dia sih ngajak ribut!" ujar Mia sambil melotot tajam pada Chica. "Terus terus gimana ceritanya?” Tita terus mencecar Mia dengan pertanyaan seputar masa lalunya dengan Lio. "Cerita apaan?" sahut Mia galak. Tita berkedip-kedip nakal. "Sama si TTM itu." "Ya gitu aja." "Enggak mungkin gitu aja," celetuk Chica sok yakin. "Kenapa enggak mungkin?" balas Mia jengkel. "Kalo enggak ada apa-apa, enggak mungkin sekarang Mbak Mia sebel banget sama Mas Lio." Mendengar kesimpulan Chica, Mia jadi mati kutu. Melihat Mia diam saja, Chica langsung bersorak senang. "Wah …, beneran?" "Sok tau!" sahut Mia galak. "Diem berarti iya," ujar Tita santai. "Enggak usah ikutan rese kayak dia deh!" Kini Tita juga terkena omelan Mia. "Ayolah, Mbak!" desak Chica. "Apa?" "Kasih tau." "Enggak mau. Males inget-inget soal dia." "Yah …, kecewa," desah Tita berlagak sedih. "Udah deh, pada kerja sana!" usir Mia sebal. "Chica kan kerjanya di samping Mbak Mia selalu. Chica mau ke mana, Mbak?" tanya gadis itu berlagak sedih seolah Mia telah membuangnya. "Tita juga udah beres. Tinggal liatin TTM-nya Mbak Mia bekerja." "Ta!" desis Mia senewen. Tita hanya nyengir tanpa dosa. "Mantan maksud Tita." “Udah pada jauh-jauh deh! Terserah mau ngapain asal jangan ganggu gue.” Mia benar-benar menggebah keduanya agar menjauh, lalu memasang earphone untuk mendengarkan musik. Selain untuk menenangkan diri, earphone juga ampuh membuat orang jadi sungkan mengajaknya bicara. Setelah ditinggalkan sendiri oleh kedua gadis pecicilan yang suka bikin keki, Mia duduk dengan tenang di taman sambil sesekali menatap ke dalam. Memantau acara yang tengah berlangsung sambil berharap semua cepat selesai agar ia bisa pulang. Di tengah ketenangannya yang baru berlangsung sekitar 20 menit, tiba-tiba saja Mia merasakan earphone sebelah kanannya dilepas dari belakang. Belum sempat ia menoleh, Mia mendengar suara yang sudah sangat dikenalnya berbisik tepat di telinga. Memberikan sensasi tersendiri karena selain suaranya begitu dekat, embusan napasnya juga terasa. "Kamu mau kayak gitu juga?" Mia langsung menoleh ke belakang dan menatap galak. "Mau apa?" Lio tersenyum lebar kemudian mengedik ke arah klien mereka. "Dipasangin cincin sama aku?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN