7. Dulu dan Sekarang

1131 Kata
Setiap kali teringat ketengilan Lio tadi siang, Mia masih tidak habis pikir bagaimana dulu ia bisa naksir pada cowok menyebalkan semacam itu? Namun, kalau diingat baik-baik, dulu Lio tidak demikian. Ia adalah sosok yang hangat dan menyenangkan. Atau setidaknya begitulah yang dulu Mia rasa.  . Arcelio  -ngga masuk lg? msh sakit?- . Senyum Mia mengembang demi membaca pesan yang Lio kirimkan. Sudah tiga hari ia tidak masuk sekolah sejak muntah-muntah akibat melihat foto Broto. Sejak hari itu juga Mia lesu, kehilangan selera makan, lalu mulai mengalami demam disertai flu. Selama tiga hari itu juga, Arcelio Gillean selalu rajin menanyakan kabarnya. Si kakak kelas ganteng berparas impor yang banyak digilai para cewek di sekolah mereka ini memang sedang dekat dengan Mia sejak lima bulan lalu. Keduanya sering mengobrol baik di sekolah atau selepasnya. Lio sering mengirimi Mia pesan penuh perhatian yang kerap membuat gadis itu berbunga-bunga. Lihat saja pesan barusan. Bagaimana Mia tidak semaput diperhatikan sedemikian intens oleh salah satu idola di sekolah mereka. Maka, meski kepalanya terasa pening, cepat-cepat Mia membalas pesan Lio. . Mikaela -iya. masih.- . Arcelio  -msh demam? brp panasnya skrg?- . Mikaela -td trakhir cek sih 38.7- . Arcelio  -udh 3 hr km skt. udh cek ke dktr?- . Mikaela -td ka2 ak udh pgl dktr ke sni.- . Berbalas pesan dengan Lio menjadi hiburan tersendiri bagi Mia. Sedikit bisa mengalihkan pikirannya dari acara ‘iket-iketan’ antara dirinya dengan Broto. Waktunya semakin menipis, hanya tersisa tiga hari lagi sampai pertemuan itu akan diadakan, dan Mia masih tidak tahu harus melakukan apa untuk keluar dari masalah ini. . Arcelio  -trs apa kt dktr? km skt ap?- . Baru saja Mia hendak membalas pesan Lio, Martin sudah keburu menerobos ke kamarnya. "Dek, ngapain?” "Lagi SMS-an." "Gue kira lo tidur. Tadi bilangnya ngantuk." Entah sedang menyindir, entah sungguh-sungguh perhatian Martin ini. Mia melirik jam di ponselnya kemudian mendengkus malas. "Tadi itu udah berapa jam yang lalu kali, Mas. Lo aja udah balik lagi ke sini." Tadi Martin memang pergi meninggalkan Mia saat akan kuliah pagi setelah memastikan adiknya makan dan minum obat, sementara sekarang sudah waktunya makan siang. Wajar saja kalau Mia sudah bangun lagi. "Bener juga.” Martin terkekeh santai kemudian duduk di sebelah Mia, mencuri lihat ke arah ponsel adiknya. “Lo lagi SMS-an sama siapa?" Refleks Mia memasukkan ponselnya ke balik selimut. "Pengin tau?" Martin menjitak pelan kepala Mia. "Kalo enggak masa gue nanya, Dek!" "Usil amat lo!" Mia mencebik. "Ck!” Martin berdecak sebal. “Kalo enggak lagi sakit, udah gue lempar keluar lo!" "Kalo gitu gue bakal sakit terus.” "Enggak usah aneh-aneh, Dek! Nyusahin gue aja lo!" "Gue kan enggak minta lo urusin." "Tetep aja gue mana bisa sebodo amat, Mia!" seru Martin jengkel. "Cie yang perhatian!" ejek Mia geli. "Ck! Lo sakit makin nyebelin aja, Dek! Cepetan sembuh, deh! Heran gue! Itu panas enggak mau turun-turun juga! Cek darah enggak kenapa-napa." Menjagai Mia di Jakarta saja sudah cukup repot untuk Martin, pasalnya sang adik ini cantik dan berbakat untuk menarik cowok-cowok mendekat. Sekarang ditambah adiknya sakit, mana Mia tidak mau orang tua mereka tahu. Jadilah Martin kelimpungan sendiri. Semalam ia sampai menghubungi dokter keluarga yang biasa dipanggil oleh tante mereka di Jakarta ini untuk memeriksa Mia. Syukurlah tidak ada yang salah dengan tubuh Mia, mungkin hanya kelelahan saja katanya. "Gue sawan Mas tiap inget Broto." "Aduh, Dek! Enggak gini juga, dong! Ya, kali lo mau demam seumur hidup!" "Gue bakal terus demam sampai Mama berubah pikiran," celetuk Mia asal. "Terserah lo aja, deh! Lo sama Mama keras kepalanya sama. Enggak ada yang mau ngalah," ujar Martin lelah.  "Kalo lo jadi gue, emang mau dikawin sama si Broto?" Martin nyengir seketika. "Enggak, sih." "Makanya ngertiin gue, Mas!" tuntut Mia. "Iya! Gue kan enggak maksa lo buat terima niat Mama. Udah, sekarang lo makan. Gue siapin dulu.” Dan menghilanglah Martin keluar dari kamar Mia lalu kembali tidak lama kemudian dengan membawa makanan untuk adiknya. “Dimakan. Diabisin.” Mia menerima dengan ogah-ogahan dan menyuap penuh rasa terpaksa.  “Dek, cepet ngunyahnya, jangan dikemut! Gue enggak bisa lama-lama, ada kelas lagi." Mia tidak menjawab, hanya menatap sebal saja pada Martin, tetapi sesungguhnya dalam hati ia bersyukur atas perhatian kakaknya yang ajaib ini. Di tengah kesibukannya kuliah, masih menyempatkan waktu mengurus adiknya yang sakit. Bolak-balik antara apartemen dan kampus yang meski jaraknya hanya 10 menit berjalan kaki, tetap saja repot. Bosan menunggui Mia makan, Martin mencari kesibukan. Tiba-tiba ia ingat belum memeriksa suhu tubuh Mia siang ini. Diraihnya termometer di atas nakas. "Sini, gue cek dulu!" Mia pasrah saja ketika Martin menyelipkan termometer di ketiaknya. Begitu termometer berbunyi, Martin mengenyit heran. "Masih aja tinggi." "Berapa?" "39.1, tadi terakhir cek berapa?" "38.7" "Kenapa malah naik terus, sih?" gumamnya bingung. "Cepet abisin, deh! Abis itu minum obatnya lagi." Tiba-tiba Mia yang biasa judes, tersenyum manis pada kakaknya. "Makasih ya, Mas." Martin jelas terkejut. Sudah lama sekali rasanya sejak Mia bersikap semanis ini, mungkin sudah sepuluh tahun berlalu. Tanpa sadar, Martin ikut tersenyum kemudian mengusap kepala adiknya penuh sayang. "Kalo lagi gini lo keliatan manis, Dek." "Emang biasa enggak?" "Biasa lo galak banget." Martin tersenyum geli. "Dek, lo yakin enggak mau Papa Mama tau lo sakit?" Tanpa perlu berpikir Mia langsung mengangguk. "Yakin." "Enggak pengin diurus Mama?" "Liat Mama yang ada gue tambah sakit, Mas. Bisa-bisa setep gue," jawab Mia ketus. Kalau Mariana di sini, pastilah ibunya itu akan terus merongrong Mia soal Broto. "Hush! Ngaco aja lo!" tegur Martin. Martin masih menemani Mia beberapa waktu lagi, memastikan adiknya makan meski akhirnya hanya sanggup memasukkan empat suapan saja, lalu membantu gadis itu meminum obat. Setelah yakin semua kebutuhan adiknya tersedia, Martin berpamitan. "Lo tidur lagi, ya! Gue kuliah dulu. Hari ini kayaknya bakal rada malem, ada tugas presentasi kelompok buat besok, tapi gue usahain pulang secepetnya." "Tenang aja, Mas. Gue gapapa, kok. Gue bisa sendiri." Martin menepuk kepala Mia lalu beranjak meninggalkan tempat tidur. "Ada apa-apa telepon gue!"  "Iya." "Jangan aneh-aneh!" ujar Martin ketika hampir mencapai pintu. "Aneh gimana?" Martin berbalik kemudian tersenyum jail. "Suicide mungkin?" "Sembarangan!" Mia melempar salah satu bonekanya ke arah Martin tapi terlambat. Pintu tertutup tepat waktu dan boneka Mia hanya menghajar pintu, sementara di luar sana terdengar Martin tergelak puas. Interupsi dari Martin membuat Mia lupa pada SMS Lio. Setelah yakin kakaknya tidak akan mengganggu lagi, Mia segera membalas pesan Lio. . Mikaela -ktnya cm flu biasa.- . Arcelio  -udh mkn? udh minum obt? km sama siapa? ad yg temenin?- . Mikaela -udh mkn. obt jg. ka2 ak br aj plg, bwain mkn. skrg udh prg lg. ad kuliah.- . Arcelio  -ka2 km lma kuliahny? smp jam brp?- . Mikaela -kuliahnya smp sore, tp mau lnjt bkin presentasi kel. mgkn mlm baru plg.- . Arcelio -skrg tdr lg deh. abs minum obt kn. ak msk kls dlu. kalo butuh ap2 blg ak y.-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN