5. Bukan Dosa, Cuma Malu-maluin

1891 Kata
“Eh, Mbak Mia masih di sini!” sapa Tita ketika melihat Mia duduk sendiri di lobi hotel. “Chica mana?” “Udah duluan.” “Mbak Mia kenapa belum pulang?” Tita bertanya heran karena Mia sudah berpamitan dari sekitar satu jam lalu, tetapi ternyata masih di sini juga. “Mau pulang gimana, Ta?” balas Mia jengkel. “Loh, kenapa?” Tita yang juga belum bisa pulang, langsung duduk di sebelah Mia. Menyandarkan tubuh di sofa yang empuk dan meluruskan kakinya yang sudah cekot-cekot akibat kebanyakan berdiri seharian. “Jemputan belum dateng.” "Mbak Mia tumben dijemput? Baru pacaran?" tanya Tita antusias. "Ngaco!" sahut Mia galak. “Mobil Mbak ke mana?” Setahu Tita, Mia itu selalu membawa mobil sendiri. Bukan karena gadis itu sok kaya, gengsi naik kendaraan umum, atau ogah dibonceng motor. Masalahnya barang bawaan Mia saat akan merias memang banyak, tidak tertampung kalau naik motor, dan repot kalau naik kendaraan umum. “Enggak bawa.” Tita terlihat cukup tercengang. “Tadi Mbak ke sini naik apa?” “Dianter sama Mas Martin.” “Mobil Mbak Mia bermasalah?” “Bukan. Mobil Mas Martin yang bermasalah. Dia pinjem mobil aku jadinya.” Dan kini, Mia menyesali kedunguannya. Bisa-bisanya ia termakan bujuk rayu Martin dan berbaik hati meminjamkan mobilnya. “Mas Martin udah jalan ke sini?” “Nah, itu dia!” seru Mia keki. “Hapenya enggak aktif. Udah dibilang jangan telat. Jemput jam delapan. Ini udah jam sepuluh enggak dateng-dateng juga.” “Mbak udah coba kontak ke kantornya Mas Martin?” “Udah.” “Terus?” “Orangnya enggak ada. Udah pulang dari sore,” jawab Mia dongkol. Bayangkan! Ke mana perginya orang itu sampai jam segini tidak juga muncul menjemput Mia. “Semoga enggak ada apa-apa sama Mas Martin,” ucap Tita cemas. “Enggak mungkin ada apa-apa sih sama dia. Paling juga lagi asik pacaran,” balas Mia kejam. “Astaga, bener juga!" Tita menepuk jidatnya sambil tertawa geli. "Ini kan malam Minggu. Waktunya orang pada kencan.” “Kecuali jomblo kayak kita,” lanjut Mia skeptis. “Mbak Mia enggak mau pulang naik taksi aja? Atau cari tebengan mungkin?" usul Tita. “Maunya juga gitu. Tapi takutnya Mas Martin dateng jemput, aku enggak ada. Tau sendiri Mas Martin kalo udah panik, lebaynya enggak kira-kira. Seluruh dunia ditelepon buat cari aku nanti.” Dalam hati Tita tertawa geli. Mia sendiri sama lebaynya seperti Martin. Memang kakak adik yang serasi. Namun, mana berani Tita mengatakannya? "Terus Mbak Mia mau nunggu sampe jam berapa?" "Ya sampe kakak gue yang enggak berbakti itu nongol di sini," sahut Mia dongkol. "Buset!" desis Tita ngeri. Sekarang saja sudah lewat jam sepuluh malam. "Kalo enggak dateng-dateng?" Mia langsung melotot ganas. "Doanya jangan jahat gitu coba, Ta." "Maaf, Mbak. Tita kan cuma khawatir," sahut Tita dengan nyali ciut. Sedetik kemudian Tita kembali memasang wajah ceria. "Ya udah, gini aja! Karena Tita sayang sama Mbak Mia, Tita temenin deh." "Halah!" cibir Mia geli sambil menyentil kening Tita pelan. "Bilang aja belum dijemput!" "Iya sih." Tita langsung nyengir geli. "Kan sekalian, Mbak." "Siapa yang jemput hari ini?" tanya Mia yang tiba-tiba kepo. Tita memutar bola matanya dengan malas. "Siapa lagi atuh, Mbak." "Oh iya, lagi jomblo." Mia terkekeh geli lalu bertanya asal. "Tapi aku heran deh sama kalian, kenapa enggak jadian aja sih?" "Ih, Mbak! Suka sembarangan!" protes Tita gemas. "Sembarangan apa?" Tita mengibaskan rambut panjangnya. "Aku sama Gin tuh beda channel. Jadi enggak bakal ketemu." "Beda channel gimana?" Mia mengernyit tidak paham. Tita mengetukkan kedua telunjuknya sambil mengerucutkan bibir. "Frekuensi hatinya tuh beda, Mbak. Enggak akan bisa jadi naksir." Di tengah pembicaraan seru mereka soal frekuensi hati, tiba-tiba saja sosok menyebalkan yang sepanjang hari ini terus mencobai Mia kembali muncul. "Belum pada pulang?" tanya Lio santai. "Lagi nunggu jemputan, Mas," jawab Tita ramah. Mia mencolek lengan Tita kemudian berbisik sepelan mungkin. "Ngapain dijawab?" "Kan ditanya," sahut Tita polos. "Dijemput siapa?" tanya Lio lagi. Dan dengan polosnya Tita kembali memberi jawaban, lengkap bahkan. "Tita sama temen, Mbak Mia sama kakaknya." "Martin?" Tita langsung menatap takjub. "Loh, Mas Lio kok tau?" "Enggak pada dijemput pacar?" tanya Lio entah memancing entah mengejek. Benar saja! Mendengar pertanyaan Lio, Mia langsung bergumam sewot. "Di mana aja, kapan aja. Ngajak ribut terus." Entah apa tanggapan Lio, Mia tidak lagi mendengarkan karena ponselnya tiba-tiba berbunyi dan nama Martin muncul di layar. "Halo?" ujar Mia ketus. “...” "Lama amat sih?" tanya Mia gusar. “...” "Udah bulukan nunggu dijemput!" “...” "Emangnya enggak bisa ngasih kabar?" tanya Mia galak. “...” "Lagian bukannya dicas!" seru Mia geregetan. “...” "Bawa power bank! Udah tau COC-an mulu!" “...” "HAH?!" Jeritan Mia sampai membuat Tita mengkeret di sebelahnya, sementara Lio menatap keheranan. Ada apa gerangan dengan gadis galak ini? "Enggak bisa gimana?!" tanya Mia semakin kesal. “...” "Ish! Enggak tanggung jawab banget!" “...” "Dasar kakak enggak berbakti!" omel Mia berang. Langsung dimatikannya sambungan tanpa mau mendengarkan penjelasan Martin lagi. "Kenapa, Mbak?" tanya Tita ngeri. "Mas Martin enggak bisa jemput gue dong!" "Karena?" Mia mendelik keki. "Harus nemenin pacarnya yang lagi di dokter." "Pacarnya sakit?" tanya Tita prihatin. "Bukan," sahut Mia ketus. "Mama pacarnya?" tebak Tita. "Papa pacarnya?" Entah sejak kapan Mamat ada di sana, tetapi tahu-tahu saja pemuda itu ikut-ikutan menebak. Mia menatap bingung ke arah Mamat, tetapi akhirnya menggeleng sebagai jawaban. "Adik pacarnya?" tebak Tita. Mia menggeleng malas. "Kakak pacarnya?" tebak Mamat. Mia menggeleng sambil melirik judes. Lio jadi gatal dan ikut bertanya juga. "Supir pacarnya?" Mia mendelik keki lalu menggeleng. "Pembantu pacarnya?" tebak Mamat lagi. Mia semakin mendelik sebal dan sudah mulai malas menggeleng. "Opa pacarnya?" tebak Tita belum menyerah. "Oma pacarnya?" Mamat membeo lagi. "Sepupu pacarnya?" celetuk Lio. “Stop!” Mia menggeleng gemas. "Denger baik-baik jawabannya.” Ketiganya sontak memasang wajah serius untuk mendengarkan jawaban Mia. “Gogok piaraan punya sepupu dari tetangga pacarnya." "EUSLEUM!" seru Tita seketika. "Plislah." Mamat menunduk lesu. "Jadi kamu pulang sama siapa?" tanya Lio. Dia tidak peduli soal siapa yang diantar ke rumah sakit, Lio lebih memikirkan nasib Mia yang terlunta-lunta sekarang. Memang dasarnya Mia ini judes parah, alih-alih berterima kasih sudah diperhatikan, dia malah membalas ketus. "Ngapain jadi kamu yang nanya?" "Kan aku ikut jawab tebak-tebakan tadi," sahut Lio tenang. "Siapa bikin tebak-tebakan?" balas Mia heran sambil menatap ke arah Tita dan kedua pemuda yang berdiri di dekat mereka. "Mbak Mia," jawab Tita polos. "Ish! Ini anak minta dijewer!" seru Mia gemas. "Ampun, Mbak!" Tita langsung bergeser menjauh sebelum tangan Mia sempat menarik telinganya. Pada saat bersamaan, Tita melihat sosok Gin berjalan ke arah pintu utama. "Yah, Mbak … Gin udah dateng. Mbak pulangnya gimana dong?" "Bolu dong," pinta Mia. "Bolu?" sahut Tita sambil meringis. "Bolu?" Mamat ikut membeo sambil menatap bingung ke arah Lio, dan bosnya hanya balas menggeleng. Sama bingungnya dengan Mamat. "Jangan atuh, Mbak. Nanti ditilang," ujar Tita cemas. "Mending Mbak bayar taksi daripada bayar tilang." "Emang bolu apaan?" tanya Mamat si asisten yang sok akrab. "Bonceng tilu," jawab Tita. Mamat mengernyit tidak mengerti, menatap Lio meminta pencerahan, tetapi bosnya sama saja dengan dirinya. Lio menggeleng pasrah. "Bonceng bertiga," ujar Tita menjelaskan kembali sambil berdiri tergesa. “Mbak, aku ke Gin dulu bentar ya.” Mamat langsung manggut-manggut paham. "Aku antar aja," ujar Lio tenang. Tawaran Lio langsung ditolak mentah-mentah oleh Mia. "Enggak usah, makasih!" "Jadi kamu mau pulang sama siapa?" tanya Lio. "Pesen taksi aja," sahut Mia sombong. "Enggak takut?" goda Lio. Sambil mencari-cari nomor kontak layanan taksi, Mia melirik tajam. "Takut apa?" "Takut digondol supir taksinya," ujar Lio. Mia mencibir sinis. "Dikira gue ikan asin digondol sama kucing kali!" Lio tertawa geli. "Kamu kan menggiurkan." "Haish!” ujar Mia geregetan. “Diem dulu deh, mau pesen taksi nih." Lio ditemani Mamat yang setia berdiri menunggui Mia saat gadis itu mencoba memesan taksi. "Bisa, Mbak?" tanya Mamat penasaran. Mia mengembuskan napas kesal. "Disuruh tunggu. Lagi pada penuh." "Enggak heran. Malam Minggu gini," celetuk Lio. "Enggak usah sok tau deh!" sahut Mia sebal. Lio tersenyum manis. "Cuma ngomong kenyataan." "Udah deh! Pulang aja sana,” usir Mia keki. “Enggak usah ikutan rempong di sini." "Aku mau di sini," jawab Lio santai. "Mau ngapain?" tanya Mia curiga. "Jaga-jaga kalau taksinya bener enggak ada." "Kalo taksinya enggak ada, kamu mau apa?" tantang Mia. "Mau jadi kucing yang gondol ikan asin," jawab Lio jail. Sementara Mamat langsung menutup mulut agar tidak sampai terbahak mendengar jawaban bosnya. "Euh ..., cucunguk!" gumam Mia sebal. "Mbak, Tita enggak bisa nemenin lagi nih," ujar Tita begitu kembali dari menemui Gin di pintu lobi. "Yah …, gue sendirian dong," ujar Mia gelisah. "Kan ada Mas Lio," sahut Tita tanpa dosa. "Iya, tenang aja. Aku di sini kok," sambut Lio membenarkan ucapan Tita. Mia tidak menanggapi ocehan Lio. Ia hanya fokus pada Tita saja. "Kamu mau ke mana sih?" "Mau cepet-cepet pulang, Mbak. Gin ternyata lagi meriang," sahut Tita cemas. "Itu anak lagi meriang tapi jemput kamu?" tanya Mia tidak percaya. "Iya. Makanya aku mau cepet-cepet temenin dia pulang ke kosan." "Ya udah, ati-ati!" Akhirnya Mia merelakan Tita meninggalkannya. "Mbak Mia juga!"Tita melambai sambil berlari cepat ke arah Gin. "Yah ditinggal …," ujar Lio dengan nada berlagak sedih. "Bisa enggak sih enggak usah rese?" tanya Mia dongkol. Lio mengedik ke arah ponsel di sebelah Mia. "Ada telepon tuh, mungkin dari taksi." Cepat-cepat Mia menjawabnya. "Iya Pak?" “...” "Begitu?" “...” "Apa enggak bisa diusahakan?" tanya penuh harap. “...” "Dua jam lagi?" Mia langsung mendelik gusar. “...” "Keburu mati di jalan saya, Pak!" seru Mia jengkel. Hampir saja Mia membanting ponselnya saking kesal. Namun, tangan Lio lebih cepat menahannya. Mia mendelik gusar ketika Lio memegangi tangannya. Namun, alih-alih melepaskan pegangannya, Lio malah menarik gadis itu berdiri. "Yuk, pulang!” ajak Lio setengah memaksa. Diambilnya satu koper besar milik Mia kemudian berjalan sambil masih tetap memegangi tangan gadis itu. Tidak lupa Lio berujar ada Mamat. “Mat, tolong bawain koper satu lagi ke mobil gue ya.” Pada akhirnya, Mia menyerah. Meski jengkelnya pada Lio menggunung, masih lebih baik dirinya digondol pemuda ini ketimbang jadi sasaran kejahatan di jalan. “Kamu masih tinggal di apartemen yang dulu?" tanya Lio saat keduanya sudah berada dalam mobil. "Udah pindah," jawab Mia singkat. Kini ia memang tidak tinggal bersama kakaknya lagi. Sejak tiga tahun lalu, Mia sudah mampu membeli apartemen sendiri dan ia mencari yang jaraknya dekat dengan Lumiere. "Martin masih di sana?" "Masih." "Kamu tinggal sendiri?" "Sama anak suami." Entah mengapa jawaban itu yang meluncur dari bibir Mia. Bukannya terkejut, Lio malah terkekeh geli. "Anak dan suami yang mana, Nona?" Ditertawakan begitu, Mia jadi dongkol. "Kamu enggak percaya aku udah punya anak sama suami?" Lio kembali tertawa sambil menggeleng geli. "Pacar aja kamu enggak ada." "Ngehina banget sih kamu!" gerutu Mia sebal. "Realistis aja, Na,” sahut Lio tenang. “Mana ada suami yang biarin istrinya malem-malem gini keliaran di jalan abis beres kerja? Kecuali rumah tangganya di ambang kehancuran." Mia kalah bicara. "Apa salahnya mengakui kalau kita masih single sih, Na?” tanya Lio lembut. “Enggak dosa kok." Mia mengembuskan napas kencang. "Emang enggak dosa. Cuma aib aja." "Kenapa aib?” tanya Lio heran. “Buat aku malah bagus." "Kamu bangga sama status kejombloan kamu itu?" balas Mia sinis. "Bukan." "Terus apanya yang bagus kalo gitu?" "Bagus aku tau kamu masih jomblo. Jadi masih ada harapan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN