10. Hari Super Sial

1604 Kata
"Hai!" Mia tersenyum canggung. "Hai …," balas Lio sama canggungnya. "Sorry, enggak sengaja dengar." "Enggak masalah." Mia cepat-cepat menggeleng lalu berkata kikuk. "Eh, mm, aku ke bawah dulu." Perasaan Mia yang sedang dongkol karena kelakuan Denny, bertambah kacau setelah berpapasan dengan Lio. Entah mengapa, Mia merasa Lio berubah. Cowok itu seperti menjaga jarak dengannya bahkan berusaha menghindar. Cowok itu tidak lagi rajin mengajaknya mengobrol, tidak lagi antusias mengunjungi kelasnya, pokoknya Lio jadi aneh. Padahal sebelum Mia sakit, mereka itu dekat sekali, bahkan tidak jarang dikira pacaran. Asyik tenggelam dalam pikirannya sendiri, Mia sampai tidak peduli pada yang terjadi di tengah lapangan basket. Padahal saat ini ia tengah berdiri di pinggir lapang, menyaksikan pertandingan final basket yang digelar oleh Pelita Persada. Berhubung sekolah mereka maju sampai babak final, maka seluruh penghuni sekolah diizinkan menyaksikan langsung pertandingan ini. "Gila gila si Ricko keren banget!" jerit Hani. "Ergy lebih keren kali!" sahut anak perempuan lain. "Enggaklah! Jelas-jelas Denny paling keren," jerit anak perempuan yang lain lagi. "Mi, lo ngeliatin apa?" bisik Riri yang tidak ikut-ikutan dalam kehebohan teman-teman mereka. "Liatin yang tandinglah," dusta Mia. "Enggak usah bohong sama gue, Mi. Jelas-jelas mata lo enggak ada di tengah lapang," ujar Riri. "Lo ngeliatnya ke mana sih dari tadi?" "Ke lapangan." Mia masih saja berdusta. "Yang lo liat siapa?" Riri mengubah pertanyaannya. "Ya siapa aja yang keliatan." "Mi, ini tuh yang lagi tanding anak basket loh, bukan anak fotografi." "Eh?" Mia mengerjap kaget. "Lo lagi liatin Kak Arcel, kan?" tembak Riri. Kini Mia tidak bisa mengelak lagi. Sejak tadi matanya memang terus bergerak mengikuti ke mana Lio melangkah. Cowok itu tengah menjalankan tugasnya sebagai tim dokumentasi yang berkeliling lapang untuk mengabadikan momen-momen selama pertandingan. "Lo sama Kak Arcel belakangan kenapa, sih?" tanya Riri lagi. "Kenapa gimana?" "Kayak ada yang aneh." "Aneh gimana?" "Aneh ya aneh!" desis Riri tidak sabar. Mia menatap Riri dengan pandangan sok tidak paham. "Maksudnya kalian enggak kayak biasa." "Emang biasa gimana?" "Cape edan ngomong sama anak ini!" keluh Riri jengkel. "Ngomong dibolak-balik terus." "Ngeributin apa kalian?" Hani yang sejak tadi fokus pada kecengannya yang tengah bertanding di lapangan, mendadak hilang minat karena Ricko ditarik dan diganti dengan pemain cadangan. "Lagi bahas soal anak ini sama Kak Arcel." "Nah! Gue juga penasaran. Lo sama Kak Arcel kenapa, sih?" "Gue enggak ngerti sama pertanyaan kalian." "Jadi gini …." Riri mengembuskan napas kesal. "Lo sama Kak Arcel, biasanya lengket banget. Sampe bikin orang lain envy. Banyak yang ngirain kalian tuh jadian. Tau-tau sekarang kalian jadi jauh. Aneh, kan?" Mia langsung meringis. "Keliatan, ya?" "Keliatan banget." Hani mengangguk cepat. "Jadi kalian kenapa?" cecar Riri. "Gue juga enggak tau," jawab Mia lesu. "Tiba-tiba aja dia kayak ngejauh gitu." "Kalian pernah ribut?" tanya Hani. "Ribut apaan?" cibir Mia. "Jadian aja enggak." "Dia nembak lo?" tanya Hani lagi. "Enggaklah!" bantah Mia cepat. "Dia pernah liat lo sama cowok lain?" Riri bertanya curiga. "Makin aneh deh pertanyaannya!" protes Mia sebal. Riri mengangkat bahu. "Abis penasaran." "Gue tuh ngerasa dia mulai ngejauh sejak liat gue dapet kiriman bunga." Akhirnya Mia mengakui juga apa yang selama beberapa waktu terakhir mengganggu pikirannya. "Yang dari calon suami lo itu?" celetuk Hani. "Najis!" ujar Mia bergidik. "Jangan bilang kayak gitu!" "Iya iya maksud gue dari Mas B," ralat Hani cepat. "Heeh." Mia mengangguk. "Mungkin dia kalah sebelum berperang," gumam Riri. "Mundur sebelum berjuang," imbuh Hani. Mia memicingkan mata. "Karena?" "Mungkin ngerasa enggak bakal ada kesempatan karena udah tau lo ada yang punya," ujar Riri blak-blakan. "Sial bener si B!" gerutu Mia jengkel. "Bikin idup gue suram aja." "Emang dia ngapain lo? Bukannya ketemu aja enggak pernah?" tanya Hani heran. "Emang! Tapi dia bikin gue enggak bisa nikmatin masa remaja dengan indah! Gue ibarat bunga lagi mekar-mekarnya tapi cuma bisa diliat, enggak bisa dipetik." "Sok filosofis banget lo," cibir Riri. "Lagian kurang tepat itu. Lebih cocok lo dibilang layu sebelum berkembang," celetuk Hani jahat. "k*****t!" Ketiganya terlalu asyik kasak-kusuk sendiri sampai tidak menyadari pertandingan telah berakhir dengan kemenangan untuk pihak Pelita Persada. "YES!" "MENANG!" Terdengar sorakan riuh dari berbagai penjuru. Jujur saja, selama pertandingan semua merasa tegang karena harga diri sebagai tuan rumah sekaligus pihak penyelenggara yang dipertaruhkan. "Guys! Gue minta waktu sebentar!" Tiba-tiba terdengar suara Denny menginterupsi setelah rangkaian prosesi kemenangan berakhir. Sontak saja semua mata tertuju ke tengah lapangan. "Ada sesuatu yang mau gue umumin di depan kalian semua." "Mau ngapain itu anak?" gumam Riri curiga. "Kemenangan hari ini gue persembahin buat seorang cewek yang udah lama bikin gue naksir berat. Sebelum tanding gue udah bilang, kalo gue menang hari ini, dia bakal jadi cewek gue. Dan sekarang, secara resmi gue umumin kalo gue sama dia pacaran." "Dasar gila!" maki Mia sengit. "Kenapa lo?" tanya Hani heran. Otak cerdas Riri bekerja cepat. "Jangan bilang tadi Denny ngajak lo ngomong soal ini?" Hani mencengkeram lengan Mia erat-erat sambil mendesis horor. "Dia ke sini, Mi!" "Gue mau pergi!" ujar Mia cepat ketika melihat Denny berjalan lurus menuju ke arahnya. Riri dan Hani dengan sigap mengikuti keputusan Mia. Ketiganya membalik badan serentak untuk meninggalkan area lapangan basket. Namun, langkah mereka dihadang oleh barisan tim pemandu sorak. "Wah, parah! Dicegat dong kita!" gumam Hani panik. "Awas! Gue mau lewat!" sentak Mia galak. "Enggak bisa!" ujar Irma si pemimpin tim pemandu sorak. "Kalian ngapain, sih?" tanya Riri ketus. "Tunggu di sini, Denny mau nyamperin lo," jawab Irma dengan nada memerintah. Merasa percuma berhadapan dengan rombongan tim pemandu sorak yang jumlahnya banyak itu, Mia memilih kembali membalik tubuhnya yang diikuti juga oleh Riri dan Hani. "Lagunya …!" bisik Hani tidak percaya ketika lagu berjudul Sempurna milik Andra and The Backbone mengalun dari pengeras suara. Alih-alih merasa tersentuh, Mia malah bergidik jijik. "Ini caranya norak banget, sih!" ujar Riri sengit melihat kelakuan Denny. "Parah, pake bawa-bawa bunga!" Hani mendesis ngeri. Mia? Jelas lebih ngeri. Tingkat kengeriannya bahkan setara dengan mimpi tentang Broto beberapa waktu lalu. Jangan dikira Mia akan merasa tersanjung atau tersentuh diperlakukan seperti ini, yang ada malah muak. Gadis itu sampai tidak bisa berkata-kata saking ngerinya. Sekujur tubuhnya dingin. Titik-titik keringat mulai muncul di kening, tengkuk, punggung, dan telapak tangannya. Rasa mual juga mulai menyerang. Perutnya bergejolak dan ada sesuatu yang terasa ingin naik keluar dari dalam sana. Ketika menyadari betapa diamnya Mia, Riri bergegas menoleh ke samping dan menemukan wajah pucat gadis itu. "Mi, lo kenapa?" tanya Riri khawatir. "Gue mau muntah …," bisik Mia lemah. Belum sempat Riri mengantisipasi keadaan, Denny sudah tiba tepat di hadapan Mia. Hanya berjarak satu langkah lagi saja. "Mia …, sesuai omongan gue tadi-" Hanya sekian saja ucapan Denny yang sempat terlontar karena ia langsung dihadiahi kejutan spesial. Hoek! Saat itu juga muntahlah Mia di depan semua orang. Menyembur tepat ke hadapan Denny dan mengenai pakaian cowok itu. "MIA!" jerit Hani panik. Riri dengan sigap menopang tubuh Mia yang terhuyung ke samping. "LO KENAPA?" Denny yang sudah kepalang basah terus saja melanjutkan niatnya semua. "Mia, jadi lo mau-" "Lo enggak bisa liat situasi banget sih!" Riri membentak kesal. "Orang lagi muntah-muntah malah ngotot ngajak pacaran!" "Ayo, ke UKS!" Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang berat dan dalam. Menyusul telapak tangan hangat yang meraih lengan Mia. Mia tahu siapa sosok itu tanpa perlu melihatnya, dan tanpa ragu ia mengikuti langkah cowok itu. "Kuat jalan?" tanya suara itu lagi. Mia mengangguk sambil terus tertunduk. Ia begitu malu saat ini, tidak mampu rasanya mengangkat wajah dan melihat ratusan pasang mata menyorot ke arahnya gara-gara ulah konyol Denny. Tiba-tiba saja Mia merasakan tubuhnya diangkat oleh sepasang lengan kokoh yang memeluknya hangat. Saat itu juga matanya bertatapan dengan manik cokelat terang milik Arcelio Gillean. Cowok yang selama dua pekan terakhir mengacaukan hatinya, tapi yang menolongnya juga saat dalam keadaan terjepit seperti ini. Lio terus menggendong Mia sampai ke UKS, membaringkannya di salah satu ranjang kosong, kemudian menyelimutinya. Setelah itu Lio mengambilkan air hangat lalu membantu Mia untuk minum. "Kamu sakit?" tanya Lio setelah membantu Mia kembali berbaring. "Enggak." Gadis itu menggeleng kecil. "Apa yang dirasa?" Terlihat jelas mata itu bersorot khawatir. "Aku cuma suka muntah mendadak kalo senewen," aku Mia malu. "Karena Denny?" "Iya." Lio terlihat menoleh ke arah jendela. "Dia ada di luar." Seketika mata Mia menatap horor. "Kamu enggak mau dia masuk?" tebak Lio. Mia mengangguk. Membayangkan melihat wajah cowok itu saja sudah membuat mualnya kembali datang. "Kamu mau aku bilang apa ke dia?" tanya Lio hati-hati. "Bilang aja aku enggak mau liat dia." Baru saja Mia menjawab, orang yang kehadirannya tidak diharapkan itu tahu-tahu sudah muncul. "Mi, lo gapapa?" tanya Denny dengan wajah sangat tidak tahu diri. "Bisa keluar?" tegur Lio dingin. "Kenapa gue harus keluar?" balas Denny tersinggung. "Mia butuh istirahat," ujar Lio tenang. "Lo di sini, kan? Gue juga mau di sini," sahut Denny dengan nada menantang. "Kalo gue mesti keluar, lo juga." Lio menatap Mia lalu bertanya lembut. "Kamu mau aku tinggal?" "Jangan …," bisik Mia yang refleks langsung meraih tangan Lio, mencegahnya pergi meninggalkan UKS. Mia tidak mau berduaan saja dengan cowok tengil macam Denny. Lio menatap Denny dengan sorot tegas. "Dengar sendiri apa kata Mia?" "Lo siapanya, sih?" Denny mulai nyolot sekarang. "Dia pacar gue," ujar Mia tanpa berpikir panjang, yang terpenting sekarang menyingkirkan bebegig sawah ini dari hadapannya. . “Seriusan Mbak Mia ngomong kayak gitu?” tanya Chica tercengang. “Kepepet tau. Terdesak. Kalo enggak, enggak mungkin gue nekat ngaku-ngaku padahal jelas-jelas dia udah ngejauh,” jawab Mia sambil mengenang hari itu. “Tapi kenapa Mas Lio tiba-tiba ngejauh?” gumam Tita tidak mengerti. Mia mengangkat bahunya perlahan. “Itu juga yang gue enggak tau sampe sekarang.” “Tapi anehnya Mas Lio masih nolongin Mbak Mia di situasi kayak gitu,” celetuk Chica. “Makanya gue bilang juga dia itu cowok enggak jelas yang enggak tau maunya apa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN