11. Proyek 5: Jangan Lari

1404 Kata
“Jangan lari dari kenyataan.” Lio menahan tangan Mia yang hendak beranjak dari tempat duduknya lalu dengan santai duduk di sisi gadis itu. Mia menatap galak. “Siapa yang lari dari kenyataan?”  “Kamu.” “Aku?” Mia menunjuk dirinya sendiri dengan jengkel. “Kapan aku lari?” “Ini. Baru aku mau duduk, kamu udah minggat,” jawab Lio santai. “Minggu lalu juga.” “Ini sih bukan lari dari kenyataan, tapi lari dari penjahat,” sindir Mia kejam. Alih-alih marah, Lio malah tersenyum geli. “Aku penjahatnya?” “Kalo kamu ngerasa.” Mia mengangkat bahunya sambil menatap sinis. “Terus minggu lalu emang kenapa?” “Minggu lalu kamu mati-matian menghindari ketemu aku padahal kita proyek bareng kan?” Mata Mia langsung melebar. Ternyata Lio menyadari siasatnya ketika mereka mengerjakan proyek di Puncak minggu lalu. Ternyata Lio menyadari Mia sengaja menghindarinya. Namun, mana mungkin Mia bersedia mengakui. Gengsi yang ada. “Ampun! Pede banget sih kamu.” “Aku emang pede. Karena aku kenal banget sama kamu.” “Haish!” desis Mia sebal. “Kenapa menghindar dari aku?” Tiba-tiba Lio mengubah nada bicaranya jadi serius. “Aku enggak menghindar,” elak Mia cepat. “Buktinya kamu selalu menjauh setiap aku dekati.” “Enggak tuh,” bantah Mia sambil berniat bangun dari kursi yang didudukinya.  Namun, lagi-lagi Lio menahannya dengan berani. Dipegangnya lengan Mia hingga gadis itu batal lagi untuk berdiri. “Kalau gitu sekarang mau ke mana?” Mia mendelik kesal. Kalau diingat-ingat, sejak pertama kali mereka kembali bertemu, Lio ini sering sekali melakukan kontak fisik dengannya. Berani menyentuh lengan, pipi, kepala. Anehnya, kenapa Mia biarkan saja? “Urusan kamu?” sahut Mia ketus. “Iya.” “Urusannya apa?” Lio mengedik santai. “Aku tersinggung loh, baru datang, mau duduk ajak ngobrol, kamu enggak bilang apa-apa langsung pergi aja.” Mia mendengkus geli. “Emangnya aku mau ngobrol sama kamu?” “Ada alasan untuk enggak mau ngobrol?” “Jelas ada!” “Apa?” “Harus dijelasin?” “Harus.” Lio mengangguk tenang. “Biar aku tahu.” Mia mengembuskan napas dalam-dalam untuk meredakan kejengkelannya. “Intinya, aku enggak mau dekat-dekat kamu, apalagi ngobrol sama kamu.” “Karena?” cecar Lio penasaran. “Enggak mau aja. Enggak suka! Sebel!” Lio tersenyum sedih. “Padahal aku suka kamu." "Hah?!" Mia terbengong mendengar ucapan Lio yang ambigu. Sering sekali lelaki ini bicara sesukanya yang menimbulkan persepsi berbeda dari pendengar. Lio terlihat tidak berminat menjelaskan maksudnya. Ia segera mengalihkan pembicaraan dengan menunjukkan dua kotak makanan yang dipegangnya. "Aku samperin kamu cuma mau kasih ini.” “Apa itu?” tanya Mia curiga. “Makan siang buat kamu.” “Dari kamu?” “Bukan. Ini dari Mamat. Dia beliin buat semua kru yang tugas hari ini.”  “Dalam rangka?” “Mamat ulang tahun kemarin.” “Oh ....” Untung Mia belum menolaknya. Kalau dari Mamat, Mia tidak keberatan, kalau dari Lio pasti langsung ditolaknya. “Udah, duduk baik-baik sini! Kita makan sama-sama.” Lio berujar santai sambil membuka kedua kotak makanan yang berada di pangkuannya. Pemuda itu terlihat mengotak-atik sesuatu di dalam kotak makanan, tetapi Mia berusaha mengabaikannya. Ia berlagak terlihat tidak peduli padahal aroma nasi goreng di dalam kotak mulai menggodanya. Meski hanya nasi goreng, tetapi kalau dimakannya di tengah cuaca dingin dan perut yang tengah kelaparan, pasti jadi terasa sangat nikmat.  "Ini yang kamu, tanpa acar, ekstra kerupuk." Lio menyodorkan satu kotak ke arah Mia. Namun, gadis itu diam saja. Hanya memandangi Lio dengan heran. “Ayo! Aku enggak punya banyak waktu, cuma 15 menit dan setelah ini harus lanjut lagi." Lio memaksa tangan Mia untuk menerima kotak makanan yang sudah ia siapkan. Mia memang menerimanya, tetapi tetap diam saja. "Kok malah bengong. Dimakan dong!" ujar Lio heran. "Atau perlu disuapin?" "Enggak usah ngaco deh!" tolak Mia galak.  "Jangan marah-marah terus, Na. Nanti aku keselek." Lio bergurau santai. Mia berdeham pelan kemudian menunjuk kotak makanan di tangan Lio. "Itu cabe enggak dimakan?" "Hm?" Lio yang sedang asik mengunyah hanya bergumam sebagai respon. "Cabe yang kamu.” "Enggak." "Eh, kenapa ada dua?" tanya Mia ketika menyadari ada dua bungkus sambal di tempat Lio. "Hm?" "Kenapa kamu dapet dua cabe? Aku satu juga enggak ada," protes Mia tidak puas. "Aku yang ambil," sahut Lio santai. "Buat apa kamu ambil kalo enggak dimakan?" "Biar kamu enggak makan." Mia segera mendelik sebal. "Kenapa kamu atur-atur?" "Bukan atur-atur. Ini demi kesejahteraan aku." "Maksudnya?" Sebelum menjawab, Lio lebih dulu meneguk air mineral yang dibawanya tadi. "Enggak usah makan cabe juga mulut kamu sekarang pedes banget, Na. Jadi lebih aman dikurangin makan cabenya." Jawaban Lio sontak membuat Mia tambah meradang. Pemuda ini benar-benar jago memancing kekesalannya. "Aku udah selesai.” Lio berujar ceria sambil menampilkan senyum manisnya. “Aku tinggal dulu ya, maaf enggak bisa temenin kamu. Maunya sih lama-lama di sini, tapi kerjaan menanti." Usai berkata demikia, Lio benar-benar pergi meninggalkan Mia untuk kembali pada tugasnya. Sesi foto memang belum selesai dan Lio tidak bisa berlama-lama istirahat. Tidak lama setelah Lio menjauh, datanglah dua kurcaci pengganggu. "Mbak, Tita enggak salah liat kan?" tanya Tita sambil duduk perlahan di sebelah Mia. "Apaan?" tanya Mia galak. Tita menepuk kursi panjang yang mereka duduki. "Tadi yang abis duduk di sini Mas Lio kan?" Belum juga pertanyaan Tita dijawab, Chica sudah ikut menanyakan hal lain. "Mas Lio bawain Mbak Mia makan ya?"  "Tau dari mana?" balas Mia ketus. "Tadi pas Chica mau ambil jatah Mbak Mia, katanya udah diambilin sama Mas Lio." "Bener Mbak?" tanya Tita. "Iya bener." "Beneran dikasih ke Mbak Mia kan?" Mia menunjuk kotak makanan di pangkuannya yang belum sempat tersentuh sesuap juga padahal Lio yang makan bersamanya sudah tandas dan langsung menghilang. "Tapi disunat," ujar Mia geram. "Disunat gimana?" tanya Chica bingung. "Jatah cabenya diambil sama dia." Tita mengernyit bingung. “Karena?” “Katanya enggak usah makan cabe juga mulut aku udah pedes.” “Kenyataan …,” gumam Chica sambil terkikik. Mia langsung melotot tajam, tetapi tidak menanggapi lagi. “Kalian udah makan?” “Baru mau,” jawab Tita. “Sini bareng!” ajak Mia. “Mbak Mia enggak mau acarnya kan? Sini kasih Chica.” “Udah enggak ada,” jawab Mia datar. “Dibuang?” tanya Chica kecewa.  Mia menggeleng kecil. “Diambil sama dia.” Tita yang baru mau menyuap, batal seketika. “Kok bisa?” “Enggak ngerti deh.” Mia mengangkat bahunya heran. “Dia masih inget kebiasaan aku dulu. Apa yang aku suka sama enggak.” Chica menatap Mia penuh curiga. “Sebenernya Mbak Mia sama Mas Lio dulu sedekat apa sih?” “Kan udah aku bilang, TTM,” sahut Mia malas. “Iya tapi deketnya segimana?” desak Chica. “Deket banget,” aku Mia malu. “Terus kenapa enggak jadian?” tanya Tita tidak mengerti. “Atau jadian tapi putus?” tebak Chica. “Enggak pernah sempet jadian.” “Karena?” tanya Tita. “Gue juga enggak yakin, tapi kayaknya karena dia denger gosip kalo gue mau dijodohin.” “DIJODOHIN?!” seru Tita kaget. Mia langsung melotot galak. “Enggak usah gede-gede suaranya!” “Mbak Mia pernah mau dijodohin?” Chica mengulang pertanyaan Tita dengan suara normal. “Hm.” “Sama?” tanya Chica. “Temen nyokap gue.” “Kapan?” tanya Tita. “Pas masih SMA.” “MASIH SMA DIJODOHIN?!” teriak Tita lagi. “Buset! Itu mulut!” Refleks Mia membekap mulut Tita. “Berisik, ih!” “Ceritain dong, Mbak,” pinta Chica. “Ogah!” tolak Mia kejam. “Please ….” Tita ikut memohon. “Males. Panjang ceritanya.” Seketika Tita berkedip senang. “Kan nanti malem Tita mau nginep di apartemen Mbak Mia.” “Chica ikutan nginep juga dong!” sambut Chica tidak mau ketinggalan. “Enggak usah pada nginep kalian!” larang Mia galak. “Mbak Mia tega biarin Tita tidur di jalan?” tanya Tita dengan wajah disedih-sedihkan. “Tita belum bayar kosan loh, Mbak. Kuncinya ditahan. Baru bisa bayar kayaknya tiga hari lagi.” “Mbak Mia tega sama Tita ….” Chica ikut-ikutan memasang wajah sedih untuk mendukung Tita. Diusapnya bahu gadis itu seolah memberikan penghiburan. “Tenang, Ta. Nanti aku temenin tidur di jalan.” “Enggak usah gitu deh kalian!” ujar Mia terpojok. Pada akhirnya, ia terpaksa menuruti keinginan kedua kurcaci itu. “Iya iya entar gue ceritain.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN