4. Proyek 2: Naik Daun, Naik Darah

2178 Kata
Baru saja kakinya menginjak lobi hotel tempat akan diadakan acara sweet seventeen Nasya, klien yang akan diriasnya hari ini, Mia sudah mendelik tajam disertai desisan kejam. "What the …!" "Kenapa, Mbak?" Chica, sang asisten yang berjalan tepat di sebelah Mia, langsung menangkap tanda bahaya. Kalau tatapan dan ucapannya sudah setajam itu, alamat suasana hati bosnya pun ikut memburuk. Mia menatap tajam ke arah serombongan pemuda yang tengah berdiri di dekat banner foto Nasya, si putri untuk pesta malam nanti. "Ini aku enggak salah liat?" "Salah liat apaan, Mbak?" tanya Chica polos. “Ngapain orang itu di sini?” “Ya kerja dong, Mbak!” sahut Chica bingung. "Ya kali mas-masnya pada mau dagang?” “Ck!” decak Mia keki. “Nyaut aja!” “Kan Mbak Mia nanya. Nanti Chica diem salah juga, dikata enggak sopan sama bos,” ujar Chica yang sudah pandai berkelit. Mia menggeleng senewen. "Seriusan ini fotografernya dia lagi?" "Mas Lio maksudnya?" tebak Chica. Gadis ini memang belum pernah melihat langsung pertemuan antara bosnya dan pemuda itu, tetapi kuping Chica sudah nyaris congekan mendengar gerutuan Mia tentang Lio. "Hm." Mia mengangguk sebal. "Bener kok, Mbak. Bukan salah liat." Sekali lagi, meski baru pernah bertemu langsung, Chica sudah khatam soal wajah Lio. Pasalnya, ia yang kebagian sial disuruh stalking akun sosial media milik Arcelio Gillean. Jadilah Chica hafal betul wajah pemuda itu. Sekali lihat saja langsung tahu. "Ya elah, Cha! Ini tuh majas hiperbola tau. Jelas aku enggak salah liatlah! Mata aku masih bagus, Cha. Belum bolor." "Maaf deh, Mbak. Tau sendiri otak Chica pas-pasan," sahut Chica ciut. "Iya, tau kok." "Jahatnya …," desah Chica sedih. "Tapi serius deh!” Mia kembali menggeleng keki. “Perasaan baru minggu lalu loh proyek bareng dia. Kok sekarang udah ketemu lagi aja sih?" "Kebetulan aja kali, Mbak. Denger-denger Klix emang lagi naik daun, jadi banyak dicari sama klien." "Klix naik daun, aku naik darah, Cha!" "Mbak, ih! Emosian amat. Chica jadi takut." "Udahlah, kita ke atas aja! Dandanin Nasya terus ngilang secepetnya. Semoga aja enggak perlu ketemu bandit satu itu." "Bandit?" "Nasya di kamar berapa?" “Eh?” Chica melongo gugup. “Kamu belum tau?” “Chica kan belum ketemu Tita.” “Ck! Sana cari Tita!” “Nah, kebetulan! Itu Tita!” seru Chica senang melihat gadis yang sepantar dengannya itu. “Ta! Sini!” “Kenapa, Cha? Kayak yang seneng banget liat aku,” sambut Tita heran. “Mau nanya kamarnya Nasya.” "Oh …, di 2173, Cha.” Setelah menjawab, Tita baru menyadari keanehan di wajah Mia. “Mbak Mia kenapa?” “Jangan ditanya,” bisik Chica memperingatkan. Tita langsung manggut-manggut paham. Sangat mudah menangkap kode yang Chica kirimkan. Meski mereka tidak bekerja di satu tempat yang sama, tetapi keduanya cukup akrab. Mungkin karena perasaan senasib. Sama-sama anak kuliah yang harus berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan bekerja dan sama-sama memiliki bos dengan temperamen meledak-ledak. “Ya udah aku naik dulu!” ujar Mia tanpa berniat menjelaskan kejengkelannya lebih jauh. Namun, sebelum berlalu ia masih sempat memberikan pesan nyeleneh. “Ta, tahan tim foto supaya enggak ada yang ke kamar Nasya sampe aku selesai ya!” “Yah, mana bisa, Mbak?” Tita langsung protes. “Kan mereka pasti mau ambil gambar waktu proses Nasya di make up juga.” “Haish …,” gumam Mia jengkel. Baru sadar kalau perkataan Tita benar. “Kalo enggak, kamu bilang ke mereka, yang naik ke kamar Nasya jangan dia.” “Dia?” Tita kebingungan. “Mas Lio,” bisik Chica hampir tidak bersuara sama sekali. Mata Tita langsung melebar paham. “Idih, Mbak! Mana bisa Tita yang atur atuh.” “Ck! Dasar enggak bisa diarep!” gerutu Mia keki. “Ayo, Cha!” Tanpa menunggu Chica dan Tita yang masih bertukar kode-kodean, Mia langsung melenggang cepat meninggalkan mereka, berjalan menyeret koper besarnya ke arah lift. Untunglah lift langsung terbuka tidak lama setelah Mia tiba, dan lebih bagus lagi tidak ada orang lain di dalam sana. Alias liftnya kosong blong. “Ayo, cepet!” panggil Mia tidak sabar dan Chica langsung berlari menghampiri. Begitu Chica menjejak kaki di dalam lift, terlihat dua orang pemuda berjalan tergesa ke arah mereka. “Tunggu!” jerit salah satunya sambil melambaikan tangan. “Tutup, Cha!” bisik Mia kejam. “Eh?” Chica melongo bodoh. Dalam jeda waktu kebingungan Chica itulah kedua pemuda tadi berhasil masuk sebelum tertinggal. Keduanya terlihat terengah. Mia menarik Chica mundur hingga keduanya berdiri merapat ke dinding belakang. Memasang dua koper besar di depan sebagai penghalang agar kedua pemuda tadi tidak bisa mendekat karena ruang yang sesak. Mia menarik Chica mendekat kemudian berbisik galak. “Bukannya cepetan ditutup. Jadi masuk kan ….” Chica melempar pandang sekilas pada kedua pemuda tadi kemudian tertunduk dalam. “Maaf, Mbak.” Bisa menebak siapa salah satu di antara kedua pemuda itu? Benar! Dialah Lio, si pemuda yang sangat Mia hindari, dan Mamat sang asisten. “Kamu enggak rela satu lift bareng aku?” celetuk Lio geli. Mia mendelik tidak percaya. Bisa-bisanya pemuda ini mengajaknya bicara sesantai sekarang? Tidak sadarkah pemuda itu kalau Mia keki padanya? “Enggak ada urusan mau bareng atau enggak. Ngapain juga mesti enggak rela?” “Oh, berarti senang ya bareng aku?” Lio mengangguk menyimpulkan. “Suka ambil kesimpulan sendiri aja deh!” dengkus Mia keki. “Kalau enggak ada masalah bareng aku, kenapa minta asisten kamu tutup liftnya padahal tahu aku lagi lari-lari kejar lift?” Mia mengedik angkuh. “Males desak-desakan di lift. Sempit. Baunya juga rupa-rupa.” Refleks Lio membaui tubuhnya sendiri. “Rasanya aku masih wangi.” Mia menatap sebal melihat kelakuan Lio yang terlihat sengaja dilebih-lebihkan itu. Apalagi ketika Lio menarik Mamat lalu mengendusnya juga. “Mamat juga wangi,” ujar Lio santai, sementara pemuda bernama asli Matthew yang nama aslinya nyaris terlupakan itu, cuma bisa terbengong-bengong melihat bosnya yang mendadak ajaib setiap kali berhadapan dengan Mia. “Ora urus!” sahut Mia ketus. Lio terkekeh geli melihat kekesalan Mia, sementara kedua asisten yang ada di sana hanya bisa saling melempar tatapan tanda bahaya. Keduanya sama-sama menyadari, ada yang salah di antara kedua bos mereka. “Ngapain ikutin aku?” tanya Mia ketus setelah mereka keluar dari lift dan berjalan menyusuri koridor lantai 21. “Aku enggak ikutin kamu,” bantah Lio. “Buktinya?” “Aku mau ke kamar 2173.” “Tuh kan sama!” seru Mia gemas. Lio yang tadinya berjalan sedikit di belakang, sekarang sengaja menyejajari langkah Mia. “Kan memang kliennya sama, Nona.” Mia mendelik kesal mendengar Lio kembali memanggilnya demikian. “Enggak usah panggil gitu!” “Kenapa?” Lio tersenyum geli. “Enggak suka,” sahut Mia terang-terangan. “Jadi ingat kenangan lama ya?” goda Lio. “Iya. Kenangan buruk,” ucap Mia kejam. “Masa buruk?” tanya Lio sangsi. Mia tidak mau menanggapi lagi. Ia berjalan semakin cepat, menyeret koper besarnya tergesa, hingga berhenti di depan kamar 2173. Mia berdiri senewen menunggu pintu dibuka setelah menekan bel. Begitu pintu terbuka, Mia mendesah lega. Segera dipasangnya senyum semanis yang ia mampu. “Permisi …, saya Mia dari Lumiere.” “Oh, silakan masuk, Mbak!” sambut wanita yang Mia kenali sebagai ibunda dari Nasya. Wanita itu melihat ke belakang Mia dan menyapa Lio. “Masnya dari Klix ya?” “Betul, Bu.” Lio mengangguk sambil menampilkan senyum terbaiknya. “Nasya sudah siap untuk dirias, Bu?” tanya Mia yang malas berbasa-basi. “Sudah, Mbak. Silakan langsung saja.” Ibunda Nasya menepi kemudian menunjukkan jalan menuju tempat Nasya menunggu. Tanpa banyak bicara, Mia langsung mulai bersiap dengan dibantu oleh Chica. Mereka membongkar isi koper, mengeluarkan peralatan rias yang dibutuhkan, kemudian mulai menyentuh wajah gadis remaja yang tengah berbunga-bunga di hari jadinya. Sayangnya, Mia tidak bisa fokus bekerja karena sejak tadi Lio terus beredar di dekatnya. Inginnya didiamkan saja, tetapi lama-lama Mia jengah juga. Saat Lio berada sangat dekat dengannya, refleks Mia menyembur juga. “Ngapain masih ikutin aku juga? Sana urus kerjaan kamu!” Untuk beberapa saat Lio melongo. Namun, tidak lama kemudian Lio menggeleng sambil tertawa geli. “Cantik …, kerjaan yang harus aku urus itu adanya di deket kamu loh.” Seketika wajah Mia memanas. Betul kata Lio. Objek fotonya memang Nasya, dan Mia berdiri persis di depan gadis itu sambil merias. Bodoh! “Udah, kamu tenang-tenang aja lakuin bagian kamu. Aku urus bagian aku. Oke?” ujar Lio santai. Mia tidak bicara apa-apa lagi. Ia hanya berusaha fokus memulas wajah Nasya tanpa memedulikan kehadiran Lio lagi. “Jangan tegang gitu karena ada aku dekat kamu,” bisik Lio ketika melintas di belakang Mia untuk menyorot sisi depan wajah Nasya. “Cucunguk …,” bisik Mia gemas. Dan sepanjang waktunya merias sore itu, Mia harus berdamai dengan keadaan, hati, serta pikirannya karena pemuda bernama Lio terus saja menguji kesabarannya tanpa henti. Sesungguhnya, Lio tidak melakukan apa-apa. Pemuda itu hanya menjalankan pekerjaannya dengan profesional. Masalahnya, hanya melihat keberadaan Lio saja sudah jadi gangguan besar bagi Mia. Ketika akhirnya tugas Mia merias sudah selesai, barulah ia bisa bernapas lega. Berkumpul bersama para tim sukses lainnya di ballroom yang ikut terlibat mengorganisir pesta ulang tahun malam ini. Saat yang lain sibuk menikmati hidangan, Mia tergelitik melihat Lio yang berdiri sedikit menjauh dari kerumunan. Diamatinya pemuda itu baik-baik, dan keusilan Mia segera datang. Perlahan ia menghampiri Lio lalu segera menyadari arah pandang pemuda itu. Mata Lio tengah terfokus pada sosok Naysa, sang sorotan pesta untuk malam ini. “Cantik ya?” sindir Mia di sisi Lio. “Hm.” Pemuda itu mengangguk kecil. “Cantik banget?” sindir Mia lagi. Lio hanya tersenyum. Melihat tanggapan Lio yang sangat datar, Mia jadi gemas. “Ngeliatnya sampai segitunya. Enggak berkedip dari tadi.” Perlahan Lio menoleh dan menatap Mia dengan sorot bertanya. “Hm?” Mia melirik sinis. “Awas ketauan sama papa mamanya.” Lio mengernyit bingung. “Memang kenapa?” “Kamu enggak ngerasa umur kalian kejauhan?” “Eh?” Lio menatap takjub pada Mia. Mia mengedik ke arah Nasya. “Sama aku aja beda sepuluh tahun. Sama kamu 12 tahun. Kalau ngincer cewek, inget-inget sama umur. Salah-salah, kamu disangka penjahat.” “Hah?” Lio melongo sambil terkekeh geli. “Kamu ngomong apa sih dari tadi?” “Belaga enggak ngerti!” dengkus Mia sebal. “Aku memang enggak ngerti kamu ngomong apa.” Mia mengembuskan napas jengkel. “Intinya, aku mau ingetin kamu, jangan jadi pedo. Nasya masih kecil, enggak cocok sama kamu. Jangan diincer!” Hampir saja tawa Lio menyembur. Namun, segera ditahannya. “Siapa juga yang mau sama Nasya?” Mia memicing sinis. Wajahnya seolah mengatakan ‘jelas-jelas situ yang bilang!’. Lio menepuk dadanya sambil tertawa. “Ada gitu aku bilang terpikat sama anak itu?” “Kamu sendiri yang bilang cantik sambil enggak berkedip sama sekali,” sahut Mia ketus. Lio mengulum senyum perlahan sambil menoleh lebih jauh agar bisa melihat wajah Mia dengan jelas. “Kamu cemburu?” “Cih!” “Tadi kamu bilang, Nasya enggak cocok sama aku. Terus yang cocok siapa?” goda Lio senang. “Kamu?” “Amit-amit!” seru Mia tertahan. “Capek deh ngomong sama kamu. Modus terus.” “Kamu sih mancing-mancing,” balas Lio cuek. “Kamu duluan aneh-aneh. Liatin anak remaja sampai segitunya.” Lio bergerak ke depan Mia hingga kini mereka berdiri berhadapan. Ia menyilangkan tangannya di depan d**a kemudian menelengkan kepala. “Kamu tau enggak apa yang aku pikirin waktu ngeliatin Nasya?” “Mana aku tau!” sahut Mia ketus. “Mau tau?” pancing Lio santai. Mia tersenyum sinis. “Enggak mau tau juga!” “Yakin?” “Yakinlah.” “Kirain kamu bakal penasaran.” “Ngapain mesti penasaran?” “Karena ada hubungannya sama kamu.” “Sama aku?” Mia langsung merasa tertarik. “Hm.” Lio mengangguk pelan. “Emangnya apa?” tanya Mia penasaran. Lio terkekeh geli. “Katanya enggak mau tau.” “Haish …,” gumam Mia keki. Sadar dirinya sudah masuk jebakan Lio. Ia mengentakkan kakinya lalu berniat memutar tubuh untuk meninggalkan Lio. Namun, Lio lebih cepat. Ia menyambar lengan Mia sebelum gadis itu sempat melangkah. “Waktu lihat Nasya, aku jadi teringat pesta ulang tahun seseorang. Kejadiannya udah lama, hampir sepuluh tahun yang lalu.” “Terus?” Lio memandangi Mia sedemikian rupa. Ada senyum sedih membayang di wajahnya. “Malam itu, dia terlihat sangat cantik. Seperti putri. Di pesta ulang tahunnya waktu itu, dia terlihat sangat bahagia. Senyumnya cerah, ramah, dan dia sangat manis. Sayangnya, sekarang dia enggak begitu lagi.” Mia tertegun. Entah karena ucapan Lio, atau karena tatapannya. “Masih cantik sih,” lanjut Lio lagi. “Hanya sayang, dia enggak terlihat bahagia lagi. Yang lebih parah, dia enggak lagi manis dan ramah.” Hati Mia seketika tidak karuan. Ia seolah terhipnotis dengan suara dan tatapan Lio. Apalagi ketika pemuda itu dengan berani mengangkat tangan ke puncak kepala Mia kemudian menepuknya lembut. “Sebenernya, apa yang terjadi sama kamu, Nona?” tanya Lio dengan senyum hangat. “Ke mana perginya Nona yang manis dan ramah, yang selalu tersenyum bahagia waktu lihat aku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN