Evelyn menahan napas saat Rayyan mengambil ponselnya. Kedua matanya terpaku pada tangan suaminya yang menggenggam benda pipih itu. Namun, ketakutannya sedikit mereda ketika Rayyan hanya meletakkan ponsel tersebut di atas meja tanpa membukanya.
Rayyan tersenyum lembut, lalu mengecup kening Evelyn dengan penuh kasih sayang “Aku berangkat dulu, Sayang. Jaga diri kamu dan bayi kita, ya. Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup.”
Evelyn hanya mengangguk, memaksakan senyum yang nyaris pecah. “I-iya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Rayyan mengambil tas kerjanya dan melangkah pergi. Evelyn mengikuti langkahnya sampai pintu depan, memastikan Rayyan benar-benar telah pergi sebelum tubuhnya jatuh terduduk kembali di kursi makan. Tangannya yang gemetar segera meraih ponsel di atas meja, memastikan tidak ada yang mencurigakan. Ia membuka pesan terakhir yang ia kirimkan, lalu dengan cepat menghapusnya.
“Nyaris …!” gumam Evelyn dengan napas tersengal.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredam gejolak batin yang semakin menguasainya. Namun, bunyi notifikasi ponsel membuatnya kembali terjaga. Sebuah pesan masuk tertampil di sana.
Pria: Rayyan sudah berangkat?
Evelyn: Sudah.
Pria:Oke, aku dalam perjalanan. Sampai di tempat biasa setengah jam lagi.
Evelyn: Ya.
Evelyn menggigit bibirnya. Pesan itu datang dari sosok yang seharusnya ia hindari, seseorang yang telah menyeretnya ke dalam situasi penuh dosa ini. Tapi, bagaimanapun juga, ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari. Ia harus mengambil keputusan sebelum semuanya menjadi semakin rumit.
–
Evelyn menyesap kopi yang hampir dingin di kedai kecil tempat mereka biasa bertemu. Matanya terus melirik jam tangan. Perasaan gelisah dan cemas bergelut di dalam dirinya.
“Sayang .…”
Sebuah suara rendah dan familiar membuyarkan lamunannya. Evelyn mendongak, mendapati sosok tinggi dengan jas rapi berdiri di hadapannya.
“Andre.”
Andre menarik kursi dan duduk di depan Evelyn dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Ia tampak begitu santai, seolah tidak ada yang salah dari pertemuan ini. Evelyn menelan ludah, tangannya mencengkeram cangkir kopi di depannya, mencoba meredam gemetar yang tak bisa ia kendalikan.
“Ada apa, Sayang? Kamu kelihatan tegang,” tanya Andre sambil memiringkan kepalanya.
Evelyn mengalihkan pandangan, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Andre, aku … aku hamil.”
Waktu terasa berhenti sejenak. Evelyn menunggu reaksi yang ia pikir akan membuat Andre marah atau mungkin panik. Namun, alih-alih mendapatkan reaksi seperti itu, Andre justru tersenyum lebar, matanya berbinar seakan baru saja mendengar kabar terbaik dalam hidupnya.
“Kamu hamil?” Andre mengulangi dengan suara yang terdengar penuh kebahagiaan. “Serius? Kamu nggak sedang bercanda, Sayang?”
Evelyn mengerutkan kening, terkejut dengan reaksinya yang tidak terduga. “I-ini bukan sesuatu yang bisa dibuat bercanda, Andre,” jawabnya dengan suara bergetar.
Andre tertawa kecil, lalu meraih tangan Evelyn di atas meja. “Kamu nggak tahu betapa senangnya aku mendengar ini, Sayang. Ini anak kita, ‘kan? Anak kita!”
Evelyn hanya bisa menatap Andre dengan kebingungan. “Andre, kamu tahu situasi kita. Aku sudah menikah dengan Rayyan. Bayi ini … dia tidak seharusnya ada.”
Andre menggeleng cepat dengan senyum yang tak pudar. “Dengar, Evelyn. Aku tahu semua ini rumit, tapi kita bisa melewati ini. Aku nggak peduli dengan Rayyan atau siapa pun. Yang aku tahu, kamu adalah wanita yang aku cintai, dan sekarang kamu mengandung anakku. Itu lebih dari cukup buatku, Lyn.”
Evelyn menarik tangannya dari genggaman Andre, rasa frustrasi mulai memuncak. “Kamu nggak ngerti, Andre! Kalau Rayyan tahu tentang hal ini, dia bisa menghancurkan hidupku. Dia bisa mengambil segalanya dariku. Aku—”
“Dengar aku,” potong Andre, nadanya berubah menjadi lebih serius. Ia mendekat, menatap Evelyn dengan tatapan penuh keyakinan. “Dia tidak akan pernah tahu, Lyn.”
Evelyn terdiam sesaat, menundukkan wajahnya dalam-dalam. Hati dan pikirannya terus bergejolak, seperti dua arus besar yang saling berbenturan. Ia tahu, apa yang ia lakukan selama ini adalah kesalahan besar. Akan tetapi, untuk kali ini dirinya benar-benar harus mengambil sebuah keputusan.
“Andre ....” Evelyn akhirnya membuka suara, meski dengan nada yang nyaris tak terdengar. Ia mendongak perlahan, menatap pria di depannya dengan mata penuh air mata. “Aku nggak bisa terus begini. Aku … aku merasa menjadi wanita yang begitu jahat. Aku sudah menghancurkan kepercayaan Rayyan, suamiku. Aku nggak tahu apa yang aku pikirkan selama ini, kita harus berhenti, Ndre.”
Andre mengernyitkan dahi, ekspresi bahagianya menghilang digantikan oleh kebingungan. “Maksudmu apa, Evelyn? Kamu nggak serius, ‘kan? Setelah kamu memberitahu jika anakku ada di dalam rahimmu, sekarang kamu mau meninggalkan aku begitu saja?”
Evelyn mengangguk pelan, air matanya mulai mengalir. “Aku harus berhenti, Andre. Semua ini salah. Aku begitu mencintai Rayyan. Kita sudah terlalu jauh melakukan hubungan terlarang ini.”
Andre tertawa kecil, tapi suaranya terdengar dingin, bahkan sinis. Ia bersandar ke kursinya, menatap Evelyn dengan pandangan tajam. “Kamu pikir semudah itu, Evelyn? Setelah semua yang kita lalui bersama, kamu mau tinggalkan aku? Apa kamu sudah lupa, siapa yang selalu ada untukmu saat kamu sedang terpuruk? Siapa yang selalu menemanimu saat kamu tidak puas dengan suamimu yang payah itu? Itu aku, Lyn. Bukan Rayyan!”
Evelyn menggeleng, tangannya bergetar di atas meja. “Andre, aku tahu itu. Tapi aku—”
“Kamu nggak tahu betapa aku mencintaimu. Aku nggak akan membiarkan kamu pergi begitu saja,” potong Andre cepat.
“Andre, tolong mengertilah. Jika sampai Rayyan mencium hubungan kita, semuanya akan hancur. Aku bisa kehilangan segalanya, dan juga—”
Andre tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya rendah namun penuh ancaman. “Dan kamu pikir aku akan membiarkan kamu begitu saja? Evelyn, aku punya semua pesan, semua bukti hubungan kita. Kalau kamu ninggalin aku, aku akan pastikan Rayyan tahu semuanya.”
Kata-kata itu membuat Evelyn terperangah. Ia menatap Andre dengan mata membelalak, tak percaya bahwa pria yang membuatnya selalu merasa dicintai bisa mengatakan sesuatu yang begitu mengerikan. “Andre, kamu nggak serius, ‘kan?”
Andre tersenyum tipis, namun senyum itu tidak lagi terasa hangat. “Aku sangat serius, Evelyn. Kalau kamu pikir kamu bisa meninggalkan aku dan kembali ke pelukan suamimu seolah-olah tidak ada yang terjadi, kamu salah besar. Aku nggak akan kehilangan kamu begitu saja. Kamu itu milikku.”
Evelyn merasakan tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi ketakutan melumpuhkan dirinya. Selama ini dia begitu percaya pada kekasihnya itu. “Andre, jangan lakukan ini … aku mohon.”
“Itu semua terserah kamu, Lyn,” ujar Andre dingin. “Aku tidak akan memaksamu. Pilihanku cukup sederhana. Tetaplah bersamaku, atau aku akan membeberkan semuanya. Rayyan akan tahu tentang hubungan kita, dan aku nggak peduli apa yang terjadi setelah Rayyan tahu jika anak itu adalah anakku.”