“Evelyn …,” panggil Andre. Membuat pandangan Evelyn yang tadinya tertunduk kini mengarah padanya.
“Aku menginginkanmu,” ucap Andre.
“Andre, please!” sentak Evelyn.
“Sekarang, Evelyn. Atau—”
Evelyn tahu jika dia harus menuruti kemauan lelakinya itu. Baiklah, tapi kamu tahu aku nggak bisa pergi lama.”
Mendengar jawaban Evelyn, Andre pun membuat senyum di bibir Andre tercetak semakin lebar. Inilah yang selalu Andre inginkan. Pesona kecantikan Evelyn tak pernah dapat ia tolak. Permainannya di ranjang juga selalu membuatnya dimabuk kepayang.
Evelyn keluar dari kafe bersama Andre dengan pikiran yang semakin kusut. Langkah kakinya terasa berat, tapi ia tak mampu menahan dirinya. Sejak awal, daya tarik Andre adalah sesuatu yang ia anggap berbahaya, tetapi begitu menggoda. Dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil bersamanya adalah langkah menuju kehancuran. Tapi kali ini, tubuhnya seolah bergerak tanpa kendali. Andre telah menjadi candu yang tak bisa ia lepaskan.
Mobil Andre sudah terparkir di depan kafe, dan pria itu membuka pintu untuk Evelyn. “Masuklah.”
Sepanjang perjalanan menuju hotel, keduanya terdiam. Evelyn hanya menatap keluar jendela, matanya menatap kosong ke jalanan. Andre mengemudi dengan tenang, sesekali melirik Evelyn yang terlihat resah. Namun, senyum tipisnya tak pernah hilang. Ia tahu betul bahwa Evelyn tak mampu menolaknya.
Sesampainya di hotel, Andre menggandeng tangan Evelyn, membimbingnya ke kamar yang sudah ia pesan sebelumnya.
“Minumlah dulu,” ucap Andre sambil menuangkan segelas air putih dari botol yang tersedia. Andre berdiri dan memutar badan, kemudian meletakkan kedua tangannya di bahu Evelyn dan memijatnya pelan.
“Sayang,” bisiknya pelan, “aku tahu kamu takut. Aku tahu ini sulit. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku selalu di sini untukmu. Aku ingin membuatmu bahagia, bukan menyakitimu, Evelyn.”
Evelyn mendongak, menatap Andre dengan mata yang sudah berembun.
“Andre, aku—” Evelyn ingin mengatakan sesuatu, tapi Andre menundukkan wajahnya, menempelkan bibirnya di bibir Evelyn. Ciumannya lembut namun penuh gairah, perlahan menghapus keraguan Evelyn. Evelyn mencoba melawan sejenak, tapi tubuhnya merespons dengan cara yang tidak bisa ia kendalikan. Ia membalas ciuman itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam hasrat yang terpendam.
Andre mendorong Evelyn perlahan ke tempat tidur, mencium lehernya dengan lembut, membuat Evelyn melayang. Evelyn tahu bahwa ia seharusnya menghentikan semua ini, tapi apa yang Andre berikan selalu membuatnya kehilangan akal sehat. Tidak seperti Rayyan yang selalu terburu-buru dan monoton, Andre memahami apa yang tubuhnya inginkan. Andre mampu memberikan kepuasan yang selama ini tak pernah ia dapatkan dalam pernikahannya bersama Rayyan.
Setelah beberapa jam berlalu, Evelyn terbangun dalam pelukan Andre. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya semakin kacau. Ia menatap langit-langit kamar hotel, mencoba mengumpulkan keberanian untuk segera pergi. Namun, suara Andre memecah keheningan.
“Evelyn,” panggilnya sambil mengusap lembut rambut Evelyn. “Kenapa buru-buru? Kita jarang punya waktu seperti ini.”
Evelyn bangkit perlahan, merapikan rambutnya yang berantakan. “Aku harus pulang, Ndre. Rayyan pasti curiga kalau aku terlalu lama di luar.”
Andre duduk di tepian tempat tidur, mengamati Evelyn yang mulai mengenakan pakaiannya kembali. Senyum tipisnya muncul, namun ada ketegasan dalam suaranya saat berkata, “Evelyn, dengarkan aku. Mulai sekarang, kita harus bermain lebih cerdas.”
Evelyn berhenti sejenak, menatap Andre dengan ekspresi bingung. “Apa maksudmu?”
Andre berdiri dan mendekatinya. Ia meraih kedua tangan Evelyn, menggenggamnya erat. “Bayi yang kamu kandung itu … kita harus memastikan Rayyan percaya kalau dia benar-benar anaknya.
Evelyn tertegun. Ia tahu Andre benar, tapi mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya membuat rasa bersalah semakin menghantam. “Aku tahu, Ndre.”
Andre menarik Evelyn ke dalam pelukannya, membiarkannya menangis di dadanya. “Sayang, kamu hanya perlu sedikit bersandiwara. Rayyan nggak akan tahu apa pun. Dia mencintaimu, dan dia nggak punya alasan untuk meragukanmu. Selama kamu bersikap normal, semuanya akan baik-baik saja.”
Evelyn mengangguk lemah. Ia tahu bahwa Andre tidak akan melepaskannya begitu saja, dan satu-satunya cara untuk menjaga keharmonisan hidupnya adalah dengan mengikuti permainan ini. Setelah mengenakan pakaian lengkap, Evelyn mempersiapkan diri untuk pergi.
“Satu hal lagi, Sayang,” ucap Andre sebelum ia membuka pintu. “Jangan lupa jika bayi itu adalah milikku, bukan Rayyan. Jangan pernah melupakan itu.”
–
Malam itu, di kamar tidur yang remang, Rayyan merebahkan kepalanya di pangkuan Evelyn. Keletihan terlihat jelas di wajahnya setelah seharian bekerja. Evelyn, yang tengah duduk di atas ranjang, mengusap pucuk kepala suaminya dengan lembut, membelai rambutnya sambil mencoba menenangkan pikirannya sendiri.
“Lyn.” Rayyan mendongak sedikit, menatap Evelyn dengan mata penuh cinta.
“Hmm,” jawab Evelyn.
Kemudian, Rayyan kembali merendahkan kepalanya lagi, kali ini mencium lembut perut Evelyn yang masih terlihat rata. “Aku nggak sabar, Sayang. Rasanya ingin cepat-cepat bertemu sama bayi kita,” ucapnya dengan senyum tipis.
Evelyn mencoba tersenyum, walau hatinya terasa berat. “Aku juga nggak sabar, Mas,” sahutnya pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang bergemuruh dalam hatinya.
Rayyan mengusap perut Evelyn dengan penuh kasih sayang. “Kira-kira nanti dia mirip siapa, ya?” tanyanya sambil tertawa kecil. “Kalau mirip kamu, pasti cantik. Kalau mirip aku, ya … semoga dia tetap tampan.”
Evelyn tertawa tipis, meskipun hatinya terasa seperti ditusuk. Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan. “Mungkin dia akan mirip kita berdua.”
Sontak saja wajah Rayyan seketika berubah. “Maksudnya?”
“Anak kita adalah gabungan yang sempurna, Mas.” Evelyn mencoba mengalihkan jawaban dengan senyum dipaksakan.
Rayyan mengangguk pelan, terlihat puas dengan jawaban Evelyn. “Tapi aku berharap dia punya senyummu. Senyummu itu … selalu bikin aku jatuh cinta setiap kali melihatnya.”
Evelyn hanya mengangguk, tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia terus mengusap kepala Rayyan, berharap sentuhannya bisa menyembunyikan semua kebohongan yang ia pendam. Namun, jauh di dalam hatinya, Evelyn tahu bahwa kebahagiaan yang Rayyan tunjukkan malam ini akan hancur jika ia tahu kebenarannya.
“Oh ya, Lyn. Besok kita ke rumah Mami, ya.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Rayyan saat ia menatap Evelyn dengan mata berbinar.
Belum lagi hatinya tenang, Rayyan secara tiba-tiba mengajaknya untuk mengunjungi tempat penyiksaan terbesarnya—rumah mertua.
"Hah?" Evelyn tampak terkejut. Ia tahu ini bukan tawaran, melainkan permintaan yang tak bisa ditolak.
"Ayolah, Lyn," bujuk Rayyan.
"Tapi, Mas—"
“Kenapa, Sayang? Aku memang sengaja belum memberitahukan kabar gembira ini pada Mami dan juga Oma,” ujar Rayyan dengan nada penuh semangat. “Aku ingin melihat reaksi mereka kalau tahu kamu sekarang sedang hamil. Aku yakin mereka pasti bahagia.”
Evelyn tercekat. Kata-kata “bahagia” terdengar seperti lelucon pahit baginya. Bagaimana mungkin mereka akan bahagia? Evelyn sudah tahu bagaimana ibu mertuanya. Sejak awal pernikahannya dengan Rayyan, Sarah selalu menganggap Evelyn tak pernah ada. Evelyn adalah menantu yang tak pernah diinginkan.
“Apa nggak sebaiknya nanti saja, Mas?” Evelyn berusaha mencari alasan. “Aku belum terlalu siap bertemu mereka.”
Rayyan mengernyit, ekspresi bingung tercetak di wajahnya. “Kenapa nggak siap? Ini kabar gembira, Lyn. Kamu tahu, kan, Mami selalu pengin cucu dari kita? Aku yakin setelah tahu ini, hubungan kalian akan lebih baik.”
“Mas, aku cuma takut kalau mereka .…” Evelyn menggantungkan kalimatnya, berharap Rayyan akan menangkap kegelisahannya tanpa perlu dia menjelaskan lebih jauh.
Rayyan mendekat, menggenggam kedua tangan Evelyn. “Sayang, kamu nggak perlu takut. Ada aku. Kalau Mami atau Oma bilang sesuatu yang nggak enak, aku bakal pasang badan buat kamu. Kamu istriku, ibu dari anakku. Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu.”
Kata-kata Rayyan terdengar meyakinkan, tetapi Evelyn tahu bahwa kenyataan tidak sesederhana itu. Janji Rayyan mungkin tulus, tetapi Evelyn tahu seberapa besar pengaruh ibunya terhadap suaminya itu. Sarah sudah biasa menghujani Evelyn dengan kritik pedas, dan Rayyan hanya akan terdiam, tak mampu melawan otoritas ibunya.