PENDOSA 4

1360 Kata
Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam, menatap jauh pada pemandangan dari kaca kereta. Remuk batinku karena tak bisa bertemu dengan Semeru, meski hanya untuk sebentar. Semeru adalah darah dagingku, yang kulahirkan dengan penuh perjuangan. Dua hari dua malam aku menahan sakit gelombang cinta saat persalinan, hingga pada hari ketiganya, Semeru lahir dengan sehat. Tangisan pertamanya membuatku tak kuasa menahan tangis haru saat itu. Kebahagiannku terasa sempurna, sebelum semuanya porak-poranda karena kesalahan yang kuperbuat. Sela yang sepertinya mengerti perasaanku, sejak tadi pun mengunci bibirnya. Gadis itu hanya berbicara seperlunya saja, selebihnya hanya bermain ponsel. Tiba di kota tujuan, kami menaiki taksi daring menuju kos-kosan. Sela pamit untuk beristirahat, karena malam nanti harus bekerja. Sementara aku pun memutuskan untuk berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar yang dihiasi sarang laba-laba di sisi sudutnya. Sembari mengusap perutku yang membuncit, mataku kembali basah. Namun tak lama aku tertawa seorang diri, teringat Bhumika yang selama kami berhubungan, ia terlihat seperti pria yang sangat menginginkanku. Ia sangat pandai merayu, sesekali akan merajuk jika permintaannya tidak dituruti. Rupanya, itu hanya sebuah cara agar ia bisa meniduriku. Kami memang pertama kali berkenalan melalui media sosial. Selama satu bulan, kami intens melakukan percakapan melalui pesan, telepon maupun video. Hingga saat Bhumika meminta untuk bertemu, tentu saja aku merasa girang. Kami bertemu di sebuah restoran. Bhumika memang cenderung diam, ia lebih banyak mendengar apa yang aku bicarakan. Namun sekali ia bicara, aku tak mampu menahan gejolak perasaan di dalam sana. “Bhumika, kenapa dua hari ini kamu menghilang?” tanyaku kala itu. Tentu saja aku menghubunginya saat Wisnu tak berada di rumah. “Apa hubungan kita hanya sebatas bertemu untuk makan dan menonton saja?” “Maksud kamu bagaimana?” Aku bertanya bingung. “Aku ingin hubungan kita ke tahap yang lebih serius,” kata Bhumika. Dan pada pertemuan kedua lah, entah karena rayuan Bhumika, entah karena aku sendiri yang tak bisa menahan hasrat, aku terjatuh dalam jurang gelap bernama perselingkuhan. Kugadaikan pernikahan suciku pada cinta semu yang Bhumika tawarkan. Bodoh? Ya, aku memang bodoh. Bahkan setelah aku kehilangan anak, suami, keluarga dan teman-temanku, Bhumika secara tega meninggalkanku pula. Aku benci pada diri ini. Setelah ditinggalkan seperti barang bekas yang sudah tak layak pakai, aku masih saja merindukan sosok itu. Tanganku bergerak menuju akun media sosialnya. Akunnya dikunci. Aku hanya bisa memandangi wajahnya yang ia jadikan sebagai foto profil. Bhumika tersenyum di foto itu, menampilkan barisan giginya yang rapi. Lantas kugerakkan jariku pada kolom pesan. Sudah ada tidak ada pesannya yang tersimpan di sana. Selesai kami bertukar pesan, aku memang selalu menghapusnya untuk menghindari kecurigaan Wisnu, meski entah bagaimana caranya, pada akhirnya Wisnu pun mengetahui kecuranganku. Kubaca ulang pesan-pesan yang kukirimkan sejak tiga bulan lalu, namun tak satu pun dari pesanku yang dibacanya. Namun aku bersyukur, ia tidak memblokir akunku, setidaknya aku bisa mengawasinya kapan dia aktif di akun sosial medianya ini. Begini saja sudah cukup. “Ini Papa, Sayang,” gumamku menunjukkan foto Bhumika pada perutku, seolah bayiku bisa melihatnya dari dalam sana. “Papa ganteng ya, Nak?” Basah kembali pipiku oleh tangis. Entah jawaban apa yang harus kuberikan pada anak ini nanti, jika ia bertanya tentang ayahnya. Malu rasanya, jika aku harus menjelaskan bagaimana hubunganku dengan ayahnya. Mungkin anak ini nanti juga akan malu memiliki ibu sepertiku. “Bhumika, Bhumika.” Kugumamkan namanya, hingga lelap akhirnya menghentikan tangisku. Mataku kembali sembab pada pagi harinya. Terdiam sesaat di tempat tidur, akhirnya aku bergegas karena hari sudah semakin terang. Meski udara sejuk di kota ini sejujurnya membuatku untuk bertahan lebih lama berada di tempat tidur, tapi tidak dengan kebutuhan hidup yang mendesakku untuk bangun dan bekerja. Hingga sore, pekerjaanku berjalan dengan baik. Aku pulang seperti biasa, melewati jalanan perkampungan yang hanya dilewati satu dua kendaraan. Beberapa kali aku menyapa warga sekitar yang kebetulan berpapasan denganku. Hingga akhirnya aku tiba di kosan yang kini menjadi rumahku. Saat aku hendak membuka gerbang utama yang terkunci, tiba-tiba kudengar suara dari seseorang yang sangat kukenal. “Jadi di sini tempat tinggalmu sekarang?” Itu suara Wisnu. Untuk memastikannya, aku membalikkan badan dengan cepat, dan memang Wisnu yang berada di seberang jalan, tepat di depan bangunan kos-kosan. Ia berdiri, bersandar pada pintu mobilnya. Entah sejak kapan mantan suamiku ini berada di sana, yang pasti aku sangat terkejut ia berhasil menemukan tempat tinggalku di sini. “Mas Wisnu,” gumamku pelan. Wisnu mengayunkan langkah mendekatiku. “Kenapa? Kaget melihatku di sini?” tanyanya begitu tiba dihadapanku. Refleks aku mengangguk. “Kok Mas bisa tahu aku di sini?” tanyaku penasaran. Meski kutahu, Wisnu tidak akan menjawab bagaimana caranya ia bisa tahu aku berada di sini. “Tidak penting saya tahu dari mana kamu tinggal di sini.” Wisnu mengibaskan tangannya. “Dengan siapa kamu tinggal di sini?” Ia melirik sekilas ke arah bangunan kos-kosan. “Sendiri, Mas.” “Betah kamu tinggal di sini?” tanyanya lagi. “Iya, aku kerasan tinggal di sini.” Aku diam sebentar, lalu berpikir untuk menawarinya mampir ke kostanku. “Mas Wisnu mau mampir?” tanyaku. “Tidak usah. Saya hanya sebentar. Saya hanya ingin memberikan tawaran untukmu,” ucapnya dengan seringai kecil di sudut bibirnya. “Apa itu, Mas?” tanyaku dengan kening berkerut, penasaran. “Menurut saya, dari pada kamu bekerja di binatu dan tinggal di kos-kosan seperti ini, bagaimana kalau kamu bekerja menjadi ART saja di rumah ibu saya?” tanyanya dengan senyum mengejek. Ah, Wisnu pasti tengah menertawakan kemalanganku sekarang. “Saya akan beri waktu kamu untuk bertemu dengan Semeru, dua kali dalam sebulan, jika kamu bersedia,” sambungnya. Aku sungguh tidak keberatan untuk bekerja menjadi pelayan atau ART sekali pun. Namun tentu saja tidak untuk menjadi ART di kediaman orang tuanya. Mengingat sejak dulu, orang tua Wisnu tak begitu menyukaiku. Entah karena apa pastinya, aku pun tahu pasti. Berada di sana, maka bisa kupastikan makian dan cacian akan menjadi makananku sehari-hari. Telebih setelah apa yang telah kuperbuat pada putera mereka. “Tidak, Mas, terima kasih untuk tawarannya,” ucapku pelan. Lebih baik aku tinggal di sini, meski hidup pas-pasan. Meskipun tak bisa bertemu dengan Semeru. Wisnu terkekeh pelan. “Atau kamu berharap menjadi ART saya?” Sebelah alis Wisnu menukik ketika mengatakannya. Pria ini benar-benar sedang ingin menertawakan kehancuranku. “Bukan begitu, Mas. Aku ingin bertemu dengan Semeru, tapi aku tidak mau jika harus bekerja di rumah Ibu atau rumah Mas Wisnu,” jelasku akhirnya. “Kenapa? Kamu malu sama dirimu? Setelah apa yang kamu perbuat pada saya dan Semeru?” Senyum mengejek kini tersumir dari wajah Wisnu. Aku mengangguk lemah, tanpa bisa membantah pernyataannya. Kali ini Winu tertawa cukup kencang hingga bahunya berguncang. Aku tak bisa melarang atau marah padanya. Bagaimana pun, semua ini bersumber dari kesalahanku yang telah menyakitinya. Kulihat Wisnu menjangkau tubuh bagian belakangnya. Detik berikutnya sebuah kertas tebal mirip sebuah undangan berada di tangannya. Ia mengulurkannya padaku, dan memang benar setelah kuperhatikan lebih saksama, kertas yang di tangannya adalah sebuah undangan. “Dua minggu lagi, saya akan menikah dengan Handini,” beritahunya dengan senyuman lebar yang memancarkan aura bahagia calon pengantin. Bergantian, aku menatap sendu pada undangan yang masih digenggam Wisnu dan pada wajahnya. Ada sebuah rasa kehilangan yang tak bisa kujelaskan mendengar kabar ini. Seharusnya aku tidak perlu merasakan hal ini, bukan? Karena aku sendiri yang dulu melepaskan Wisnu dengan bermain-main dengan Bhumika. “Jangan syok begitu. Bukankah saya juga berhak bahagia setelah kamu khianati?” Tanganku yang bergetar meraih undangan tersebut dari genggaman Wisnu. “Selamat, Mas,” kataku pelan. Aku bahkan hampir tak bisa mendengarkan suaraku sendiri. “Saya harap kamu bisa datang untuk menyaksikan kebahagiaan saya dengan Handini.” Wisnu berkata dengan tegas dan senyum puas karena berhasil bangkit dari rasa sakit atas pengkhianatanku. “Akan aku usahakan, Mas,” kataku tak yakin. “Saya tunggu,” kata Wisnu yang diangguki olehku. Wisnu berjalan ke mobilnya. Aku menunggunya hingga mobil tersebut menjauh dari tempat ini. Masih kugenggam undangan pernikahannya dengan Handini. Ada sesak yang tak bisa kujabarkan yang sekarang menerjang hatiku. Rasanya tepat dengan ungkapan jangan pernah salah langkah. Membuang berlian demi batu kerikil, jika tak ingin penyesalan menggerogotimu seumur hidup. Karena aku tengah mengalaminya dan rasanya teramat pedih. Hingga untuk menangis pun tak sanggup karena merasa malu. Malu, karena semua berawal dari kebodohanku. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN