PENDOSA 5

1256 Kata
Kuabaikan tatapan mencemoooh dari banyak orang di acara pernikahan Wisnu dan Handini. Mereka menatapku jijik, layaknya sampah yang tak seharusnya berada di sini. Ya, pada akhirnya kuhadiri pesta pernikahan mantan suamiku dengan sahabat masa kecilnya. Kutekan rasa maluku, demi bisa berjumpa dengan Semeru. Aku merindukan buah hatiku yang sudah enam bulan lamanya tak bisa kupeluk. Seorang diri aku datang ke pesta ini. Awalnya, Sela ingin menemaniku, namun gadis itu mendadak sakit. “Ah, rupanya kamu masih punya nyali menampakkan wajah menjijikanmu di sini, Putik,” cemoohan dari salah satu kerabat Wisnu kutelan saja. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis tanpa berkeinginan untuk menjawabnya. Aku masih berada di jalur antrian untuk menyalami pengantin, sembari akan kutanyakan di mana keberadaan Semeru, karena sejak tadi aku tak melihat sosoknya. Pesta pernikahan Wisnu dan Handini digelar di pekarangan rumah Handini yang luas. Dekorasinya mewah dengan d******i warna emas. Handini nampak begitu cantik dengan pakaian pengantin adat Padang, begitu pun dengan Wisnu yang nampak gagah dan begitu bahagia. Mereka nampak serasi dan saling mencintai. Wajar saja, karena mereka juga sudah kenal sejak kecil. Tiba giliranku menaiki panggung pelaminan. Lebih dulu kusalami kedua orang tua Handini. Mereka menyambutku dengan hangat dan berterima kasih atas kehadiranku. Barulah setelah berjalan beberapa langkah, aku tiba di hadapan Wisnu dan Handini. Kusalami mereka bergantian, seraya berkata, “Selamat Mas Wisnu dan Handini. Semoga pernikahan kalian langgeng dan dilimpahi kebahagiaan selalu,” doaku dengan tulus. Benar-benar tulus, aku menginginkan Wisnu bahagia setelah kusakiti sedemikian rupa. Lantas aku memeluk Handini. “Aku titip Semeru ya, Handini. Aku tahu, kamu pasti bisa menjadi ibu yang baik untuknya. Aku titip dia.” Handini membalas pelukanku. “Pasti. Aku pasti akan menjaga dan merawat Semeru dengan baik. Kamu tidak perlu cemas.” Ucapan Handini yang terdengar begitu sungguh-sungguh membuatku lega. Keduanya mengucapkan terima kasih padaku, sebelum kulangkahkan kaki untuk menyalami kedua orang tua Wisnu—mantan bapak dan ibu mertuaku. Tatapan tak bersahabat kudapat dari kedua orang tua Wisnu, terutama Ibunda Wisnu. Jauh sebelum aku menyakiti putranya saja, ibunda Wisnu sudah membenciku. Terlebih sekarang, Ibu Suwita terlihat ingin menelenggelamkanku ke dasar laut. “Ibu, Bapak, selamat atas pernikahan Mas Wisnu dan Handini,” ucapku sembari menampilkan senyum. “Terima kasih. Meski kami sebenarnya tidak membutuhkan kehadiran maupun doa darimu, mantan menantu kurang ajar!” Bu Suwita memaki dengan suara tertahan. “Jangan harap saya akan melupakan kejadian itu ya, Putik! Saya tidak akan pernah lupa, dan tidak akan pernah memaafkanmu sampai kapan pun,” sambungnya dengan emosi yang coba ditahannya. “Maafkan Putik sekali lagi ya, Bu, Pak,” ucapku sebelum akhirnya turun dari panggung pelaminan. Begitu turun, adik kandung Wisnu—Dayung menghampiriku dan membawaku ke rumah untuk bertemu dengan Semeru. Semeru rupanya saat ini diasuh oleh baby sitter. Kediaman orang tua Wisnu cukup ramai oleh kehadiran sanak saudara Wisnu. Tatapan menusuk kembali kuterima dari mereka semua. Beberapa malah menyebutku sebagai p*****r secara terang-terangan, yang segera ditegur oleh Dayung. Dayung tidak pernah memihak siapa pun sejak dulu. Hubungan kami juga biasa saja, tidak terlalu dekat namun bukan karena saling membenci. Semeru berada di kamar Dayung dan sedang tertidur. Dayung mempersilakanku untuk memasuki kamarnya dan kami akhirnya terlibat pembicaraan. “Aku salut dengan keberanian Kak Putik yang berani hadir di sini,” ucap Dayung. Entah itu sebuah pujian atau bukan, aku menanggapinya dengan santai dan tersenyum. “Demi Semeru,” kataku. Kuusap kulit lembut wajah Semeru. Gemas sekali rasanya. Jika saja Semeru tidak tertidur, aku pasti sudah menggigit pipi montoknya. “Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Kak Putik dan Kak Wisnu, tapi aku juga sangat tidak setuju dengan tindakan Kak Putik yang sudah menyakiti Kak Wisnu.” Dayung menjeda kalimatnya. “Kenapa, Kak? Kalau memang Kak Putik sudah tidak mencintai Kak Wisnu lagi, kenapa Kak Putik tidak meminta berpisah saja?” Dayung sedikit menaikkan volume suaranya, namun sama sekali tidak mengganggu tidur Semeru. “Aku juga tidak tahu kenapa semua ini bisa terjadi, Dayung.” Kerap kali aku pun merutuki kebodohanku yang bertindak impulsif dengan berselingkuh dengan Arsena Bhumika. Meski kuaki aku mencintai pria itu, tapi tak seharusnya aku menjalin hubungan dengannya di saat statusku masih menjadi istri dari Wisnu. Kudengar helaan napas Dayung yang berat. “Sekarang, coba lihat Kak Putik sekarang. Hamil tanpa didampingi suami, hidup seorang diri di kota orang. Coba saja, waktu itu Kak Putik berpikiran lebih panjang lagi, pasti semuanya tidak akan seperti ini.” Aku mengangguk, membenarkan semua perkataan Dayung. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Aku tidak bisa memutar waktu dan kembali ke masa lalu. Yang bisa kulakukan saat ini adalah menjalani karma atas dosa yang telah kulakukan dan memohon ampun pada Yang Kuasa. Meskipun aku harus hidup seorang diri di tempat asing, karena Bapak yang saat ini tinggal dengan Mama Sambung di Ponorogo tak menginginkanku pulang ke sana. Sementara Ibu kandungku sudah meninggal sejak aku menduduki sekolah dasar. “Kamu tidak membenciku, Dayung?” tanyaku pelan, meski aku sudah tahu jawabannya. Sejak aku berpacaran dengan Wisnu, Dayung lah satu-satunya dari keluarga Wisnu yang selalu menyambut hangat kedatanganku. “Untuk apa aku membenci Kak Putik? Tidak ada gunanya juga. Lagi pula, semua dosanya Kak Putik sendiri yang menanggung.” Dayung menjawab begitu santai. “Terima kasih, Dayung, karena sejak dulu kamu yang tidak pernah membenciku.” “Ah, apa karena keluarga kami yang suka menjelekkan dan bersikap tidak ramah pada Kak Putik, yang membuat Kak Putik jadi begini?” Dayung menebak-nebak. “Aku tidak tahu, Dayung. Aku tidak memiliki alasan pasti mengapa aku bisa berselingkuh dari kakakmu,” kataku bingung. Pembicaraan kami terinterupsi oleh tangisan Semeru. Putra lelakiku terbangun dan terkejut begitu melihat keberadaanku. “Ini Mama, Sayang,” kataku mencoba menyentuhnya, namun Semeru terlihat enggan disentuh. Semeru menatap Dayung, seolah meminta perlindungan. “Ini Mama Putik, Mama Eru. Eru lupa ya?” Dayung berkata tenang, meraih Semeru untuk duduk di pangkuannya. Semeru diam saja. Ia memandangiku bingung, lantas memandang kembali pada tantenya. “Sabar ya, Kak. Eru pasti terkejut karena sudah lama sekali kalian tidak bertemu, Kak,” kata Dayung yang mencoba menenangkanku. “Tidak apa-apa, aku paham. Ini adalah konsekuensi atas apa yang telah aku perbuat di masa lalu, Dayung.” Bisa kudengar sendiri, jika saat ini suaraku bergetar. “Bisa melihat Eru saja aku sudah bahagia. Tidak apa, dia tidak mengenaliku, yang terpenting aku tidak pernah melupakannya dan akan selalu mendoakan untuk kebahagiaannya.” Semeru masih tetap tidak bersedia kupeluk dan berbicara denganku, meski sudah dibujuk olehku maupun oleh Dayung. Aku pun menyerah. Aku berpamitan untuk kembali ke penginapan untuk beristirahat, karena kurasakan tubuhku benar-benar lelah. Kupandangi sekali lagi wajah Semeru yang kini tengah fokus bermain ponsel. Aku berharap, semoga suatu saat nanti Semeru bersedia kupeluk dan kembali berbicara denganku. Kubuka pintu kamar Dayung, dengan Dayung berada di belakangku. Tak kusangka, begitu pintu terbuka, Handini seolah tengah menungguku di depan pintu kamar adik iparnya ini. “Handini,” sapaku setengah terkejut. “Aku tahu, yang mengundangmu ke sini adalah Mas Wisnu sendiri,” ucapnya secara tiba-tiba. Wajahnya nampak serius dan sedikit keruh. “Ya, memang benar.” Aku tak mengelaknya. “Aku tidak tahu, ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa Mas Wisnu masih mencintaimu, Putik. Dia tidak benar-benar menginginkan perceraian,” ujar Handini, yang seketika membuat kepalaku pening. Aku sama sekali tidak bahagia mendengarnya. Aku hanya terkejut, mengapa Handini berkata demikian di hari pernikahannya. “Tolong, kabari aku, jika Mas Wisnu menemuimu lagi, apapun alasannya,” pintanya penuh harap. “Dan satu lagi, tolong jangan memanggilnya Mas Wisnu, cukup Wisnu saja. Karena sekarang aku adalah istrinya yang lebih berhak memanggilnya Mas Wisnu.” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN