PENDOSA 3

1426 Kata
Aku mendapat kabar jika Semeru dilarikan ke rumah sakit karena terserang muntaber. Kabar tersebut aku dapat dari salah satu orang tua kawan dekat Semeru yang kebetulan mengunggah sebuah postingan di akun sosial media, tengah menjenguk Semeru di rumah sakit. Dadaku nyeri sekali rasanya, menyaksikan Semeru terbaring lemah di atas brankar dengan tangan terpasangi jarum infus. Aku bisa membayangkan, betapa Semeru akan merengek kesakitan. Dulu sewaktu sakit, Semeru akan merengek dan merintih semalaman, hingga aku dan Mas Wisnu mau tak mau bergantian begadang untuk menjaganya. Lantas siapa yang kini bergantian dengan Mas Wisnu untuk menjaga Semeru? Sudah pukul sepuluh malam, ketika aku mendengar kabar buruk tentang Semeru. Tidak mungkin aku nekat pergi di waktu sudah selarut ini. Kuhela napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Aku harus tenang menghadapi situasi seperti ini, agar bisa mencari solusi terbaik untuk bisa menemui Semeru. Akhirnya setelah mempertimbangkan berbagai hal, aku memutuskan untuk berangkat menemui Semeru esok hari. Pertama-tama kuhubungi pemilik binatu tempatku bekerja juga kedua rekan kerjaku. Setelah mendapat izin, aku mencari tiket kereta keberangkatan. Beruntung masih ada tiket yang tersisa untuk keberangkatan esok pagi. Tak ingin membuat Sela cemas nantinya, aku pun menghubungi Sela yang saat ini tengah bekerja. Ya, Sela bekerja di saat orang-orang pada umumnya tengah beristirahat. Gadis itu bekerja di sebuah tempat karaoke yang cukup terkenal di kota ini. Dan tak kusangka, Sela bersikukuh untuk mengantarku untuk menemui Semeru. Pada pagi harinya, Sela sudah rapi dan menemuiku di dapur kos. Aku tengah menggoreng telur untuk sarapan kami berdua ketika gadis itu berdiri menyapaku. Usai sarapan bersama dan berpamitan dengan penjaga kos, kami berdua menaiki taksi daring menuju stasiun. Dadaku berdebar hebat demi membayangkan bertemu dengan Semeru. Aku begitu berharap, Semeru bersedia kupeluk dan tidak menghindariku. Perjalanan menggunakan kereta sendiri membutuhkan waktu dua jam. Sementara dari stasiun kota yang kutuju menuju rumah sakit tempat Semeru dirawat, hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari dua puluh menit. “Benar ini rumah sakitnya, Kak?” tanya Sela begitu kami turun dari taksi daring yang mengantarkan kami ke rumah sakit tempat Semeru dirawat. Aku mengecek sekali lagi alamatnya, dan memang benar ini rumah sakit tempat Semeru dirawat. “Benar, Sela,” jawabku pelan. Aku dan Sela lantas beriringan memasuki gedung rumah sakit bertingkat ini. Kami menuju ke bagian informasi. Setelah mengetahui ruangan tempat Semeru dirawat, kami menggunakan lift menuju ruangan tersebut. Hatiku berdebar, keringat dingin mulai membasahi punggungku. Aku tidak yakin kehadiranku akan diterima oleh Wisnu dan keluarganya karena sejak dulu pun mereka nampak seperti tak menyukaiku. Entah karena apa, aku pun tidak mengetahui alasannya. Kamar Semeru berada tidak jauh dari lift. Aku dan Sela hanya perlu melewati nurse station dan dua kamar VIP lainnya, untuk tiba di sana. “Ini kamarnya, Kak.” Sela berujar, begitu kami tiba di depan kamar bertuliskan VIP 1. Aku menyiapkan diri dengan menghirup sebanyak mungkin oksigen, lantas mengembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk siap dengan penolakan keluarga Wisnu akan kehadiranku, meski aku sama sekali tak menginginkan hal itu. Tanganku sudah terangkat untuk mengetuk pintu di depan wajahku, ketika pintu tersebut tiba-tiba terbuka dari arah dalam. Kukira Wisnu atau mantan mertuaku yang akan muncul di hadapanku. Rupanya justru Handini yang muncul di balik pintu, dengan ekspresi terkejut begitu melihat kehadiranku. Handini adalah tetangga sekaligus teman sejak kecil Wisnu sewaktu tinggal di rumah orang tuanya. Seingatku, hubungan mereka merenggang setelah Wisnu menikahiku. Dan mungkin sekarang mereka dekat kembali, setelah aku dan Wisnu berpisah. Terbukti dengan kehadirannya di sini sekarang. “Putik?” sapanya tak percaya melihat kehadiranku di depan kamar Semeru. Handini menutup pintu kamar Semeru secara cepat. Dan segera menuntunku menyingkir ke sisi kiri kamar, menjauh dari kamar Semeru. Sementara Sela kulihat memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari tempatku berdiri sekarang dengan Handini. “Kenapa Handini?” tanyaku bingung, mengapa Handini membawaku menjauh dari kamar Semeru. “Lebih baik kamu pergi dari sini, Putik. Wisnu tidak akan mengizinkanmu menemui Semeru, apa pun alasannya.” Handini berkata pelan dan penuh hati-hati. Aku tidak mengenal cukup baik teman Wisnu ini, tapi dari beberapa kali pertemuan kami, aku tahu Handini adalah wanita baik. “Biarkan aku bertemu dengan Mas Wisnu dulu, Handini. Kalau memang dia mengusirku, aku akan pergi dari sini,” kataku tahu diri. Ya, setidaknya aku sudah berusaha untuk menemui Semeru. Seandainya ayahnya mengusirku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena sudah sepantasnya Wisnu perempuan kotor sepertiku. Handini terdengar menghela napas. “Terserah kamu saja kalau begitu. Kandunganmu bagaimana? Sehat?” Handini menatap perutku yang mulai membuncit. “Sehat.” Aku mengangguk. Handini kemudian membimbingku kembali ke kamar Semeru. Namun baru saja Handini akan membuka pintu, pintu tersebut terbuka dari dalam dan sosok mantan suamiku muncul dari sana. “Handini, kamu kena ….” Wisnu tak melanjutkan kalimatnya, begitu melihat sosokku. “Kamu!” Nada bicaranya yang semua lembut, berubah penuh tekanan dan emosi. “Kamu kenapa ada di sini?” tanyanya, yang segera menutup pintu di belakangnya. “Mas Wisnu, tenang dulu ya.” Handini menyentuh lengan Wisnu. “Ikut saya!” Wisnu meraih pergelangan tanganku dan menarikku memasuki lift. Aku meminta pada Sela dan Handini untuk tidak menahan kami, karena banyak hal yang inginku sampaikan pada Wisnu. Di dalam lift Wisnu melepaskan cengkeramannya. Lantas begitu kami keluar dari dalam lift, ia kembali mencengkeram pergelangan tanganku. Entah ke mana ia akan membawaku pergi. Kami melewati banyak lorong-lorong dan akhirnya kami tiba di lantai teratas rumah sakit ini. Angin seketika menyambut kehadiran kami, begitu kami keluar dari pintu kaca yang membatasi antara bagian dalam gedung dan luar gedung. “Mas Wisnu kenapa terlihat kurus?” aku bertanya lebih dulu, karena sejak kami berdiri di bibir gedung yang dipagari dinding sebatas d**a, Wisnu hanya berdiam diri. “Saya sedang berpikir, bagaimana jika kamu saya jatuhkan dari sini, Putik?” tanyanya pelan. Desau angin hampir saja menenggelamkan suaranya, jika aku tak benar-benar menyimak apa yang dia katakan. Aku sama sekali tidak terintimidasi dengan pertanyaan Wisnu, karena ia tidak mungkin melakukannya dan membuatnya mendekam di balik jeruji besi. Ia masih memiliki Semeru yang harus ia rawat dan ia jaga. “Kamu tidak takut, Putik?” tanyanya yang kini menolehku. Seringai kecil muncul dari sudut bibirnya. Tapi lagi-lagi aku tidak merasa takut. “Tidak.” Aku menggeleng tegas. “Karena Mas Wisnu tidak mungkin melakukannya,” kataku dengan penuh keyakinan. Wisnu tertawa kencang hingga badannya terguncang. Tak kuduga, dengan cepat ia mencengkeram rahangku. Menekannya cukup kuat hingga aku hampir kehabisan napas, dan ia baru melepaskanku. “Bagaimana rasanya?” ia terkekeh, melihatku terbatuk-batuk hampir mati karena cengkeramannya. Pria ini terlihat sangat menikmati perbuatannya. “Aku ingin bertemu dengan Semeru, Mas. Tolong izinkan aku menemuinya, sebentar saja,” mohonku padanya, mengabaikan pertanyaannya yang sungguh sangat tidak ingin kudengar. “Bagaimana kamu senaif ini Putik. Harus berapa kali saya katakan, jika saya tidak akan pernah mempertemukanmu dengan Semeru lagi.” Manik gelap Wisnu menatapku tajam. Rahangnya mengeras, menahan amarah. “Jangan pernah mengatakan jika saya kejam. Karena, jika bukan karena kamu yang memilih menjadi perempuan murahan, saya tidak akan pernah melakukan ini padamu,” katanya, penuh penekanan di setiap kalimatnya. “Aku tahu,” kataku lirih. “Aku datang kemari hanya mencoba peruntungan, karena naluri seorang ibu. Bagaimana pun, Semeru akan tetap menjadi putraku sampai kapan pun.” “Tidak, setelah kamu mengkhianati kami, Putik!” Nyalang manik hitam Wisnu menusukku. “Pergi dari sini, sebelum saya benar-benar menjatuhkanmu dari atap gedung ini!” Kilat amarah terlihat jelas dari sepasang matanya, dan kali ini cukup membuatku merasa terancam. “Aku akan pergi dari sini. Tapi tolong dengarkan dulu apa yang ingin aku sampaikan,” pintaku. Melihat mantan suamiku ini yanga hanya terdiam menatap jauh ke depan, aku memberanikan diri untuk kembali berbicara. “Aku tahu Mas, kata maafku tidak akan pernah bisa menghapus rasa sakit yang ada di hatimu. Tapi Mas Wisnu harus tahu, jika sekarang hidupku tidak baik-baik saja.” Aku diam sejenak, mengatur sesak di d**a karena terjangan emosi yang hampir membuatku menangis. “Aku sedang menuai karma atas perbuatanku, Mas. Dia meninggalkanku dan bayi ini.” Kali ini kudengar sendiri, suaraku bergetar. “Itu sama sekali bukan urusan saya!” “Aku tahu.” Aku mengangguk lemah, menghapus gerimis yang mulai membasahi pipi. “Aku mengatakannya bukan karena ingin mendapat simpatimu, Mas. Aku hanya ingin kamu tahu, setelah semua yang terjadi, hidupku juga hancur.” Kembali kusapu buliran kaca yang membanjiri wajah. “Maaf sekali lagi. Aku pamit.” Aku berjalan menjauh dari bibir gedung dan dari Wisnu. Meski sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi tetap saja aku merasa kecewa. Tapi aku tidak bisa menyalahkan sikapnys, karena semua ini adalah bagian dari konsekuensi atas apa yang telah kuperbuat. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN