PENDOSA 2

1347 Kata
Tidak, aku tidak bisa menyalahkan Bhumika sepenuhnya. Wajar saja laki-laki rupawan itu tidak menginginkan diriku, maupun bayi ini. Karena seburuk-buruknya lelaki, pasti mereka ingin mendapatkan perempuan baik-baik. Tidak adil bagi kaum hawa memang, tapi memang begitulah adanya. Pada kisah ini, akulah yang sepenuhnya bersalah. Aku tidak mampu mengontrol diri dan hatiku untuk tidak jatuh pada pesona Arsena Bhumika. Aku yang tidak bisa menjaga marwahku sebagai seorang istri dan ibu. Aku yang bodoh karena terbuai oleh paras rupawan dan tutur manis Bhumika. Kini, hanya sesal yang bisa kurengkuh menemani malam-malam sunyiku. Aku tidak memiliki siapapun lagi. Keluargaku tak menerimaku lagi, sahabatku pergi menjauh. Sebatang kara aku di kota asing ini. Pernah terlintas untukku mengakhiri hidup karena merasa malu dengan semua yang telah kuperbuat, tetapi janin di rahim ini menjadi alasanku untuk bertahan. Aku tidak ingin berakhir menjadi PENDOSA yang belum sempat meminta ampun pada yang Kuasa. Semalaman menangis membuat kepalaku pening kala pagi menyapa. Aku berusaha bangun dengan susah payah. Inginnya pagi ini aku tetap bersantai, berbaring di atas kasur. Akan tetapi, aku harus bangun dan bersiap berangkat bekerja. Karena jika bukan mengandalkan diri ini, tak ada lagi yang bisa kuandalkan. Seusai melakukan ritual pagi hari, aku berangkat bekerja dengan segumpal semangat di d**a. Ada calon bayi yang lima bulan lagi lahir kedunia, yang harus kuhidupi. Bayiku ini, hanya memiliki aku sebagai ibunya. Mau tidak mau, aku harus berjuang untuknya. Pukul delapan pagi jam kerjaku sudah dimulai. Bersama dua rekan kerjaku, kami berbagi tugas menyelesaikan pekerjaan. Binatu tempatku mengais rezeki ini merupakan binatu dengan sistem kiloan. Pakaian pelanggan yang kotor dihargai sekian rupiah dalam satuan kilo. Sedangkan untuk selimut, sprei, karpet dan boneka barulah dipatok tarif per buah. Aku sangat kerasan bekerja di sini. Meski dengan gaji tak seberapa, setidaknya aku masih bisa menghasilkan rupiah untuk biaya hidupku. Awal-awal aku memang cukup syok dengan perubahan pola hidupku yang signifikan. Aku yang biasanya bekerja di tempat nyaman berpendingin udara dan hanya duduk menghadap komputer, kini keseharianku berkutat dengan pakaian kotor dan target menyetrika. Lantas aku yang biasanya tinggal di rumah besar dengan fasilitas lengkap, terpaksa harus membiasakan diri tidur di kostan sempit dengan kipas baling-baling di atas kepala. Beruntung, selama masih menjadi istri dari Mas Wisnu aku cukup pandai mengatur keuangan dan bisa menyisihkan sebagian penghasilanku. Sehingga aku tak perlu risau untuk biaya kelahiran bayiku nanti. Hari-hariku berjalan normal. Selain bekerja, aku hanya menghabiskan waktuku di dalam kos-kosan. Aku tidak memiliki teman di sini, selain orang-orang di sekitar kostan dan teman kerjaku. Itupun aku mengenal mereka sejak aku pindah ke daerah sini. “Kak Putik baru pulang kerja?” Sela, penghuni kamar sebelahku bertanya. “Iya Sela,” jawabku membalas senyumnya. “Sela mau berangkat kerja?” tanyaku kemudian. “Iya, Kak.” Sela menjawab singkat lantas mengecek ponselnya. “Dijemput atau pesan taksi online, Sela?” tanyaku lagi. Bukan bermaksud apa-apa. Aku sudah menganggap Sela seperti adikku sendiri. “Dijemput pacar baru aku, Kak.” Senyum Sela nampak malu-malu. “Semoga kali ini langgeng ya,” kataku tulus, karena sepengetahuanku, selama dua bulan aku tinggal di sini, Sela sudah berganti pasangan sebanyak lima kali. “Doakan ya adek bayi.” Sela tersenyum mengusap perutku yang sedikit membuncit. “Oh iya, hari Minggu nanti jadwal Kak Putik ke dokter kandungan, kan? Mau aku temani lagi, Kak?” Sela menawarkan bantuan, terdengar begitu tulus. “Memangnya Sela nggak ada acara?” tanyaku, sejujurnya aku tidak ingin merepotkannya. “Enggak ada, Kak. Sela temani saja ya, Kak.” Sela menggeleng cepat. Dan akhirnya aku setuju untuk menerima tawarannya yang akan menemaniku memeriksakan kehamilanku ke dokter. … Momen ketika ibu hamil menatap layar monitor yang menampilkan calon bayi seharusnya menjadi momen haru yang membahagiakan. Dulu, sewaktu aku mengandung Semeru, aku begitu antusias akan hal itu. Bahagia tak terkira rasanya melihat perkembangan bayi di rahimku sehat. Sekarang pun sebenarnya aku bahagia, melihat calon anak keduaku ini tumbuh sehat di dalam sana. Sayangnya selain perasaan bahagia, terselip pula pilu yang meremas d**a. Pilu karena bukan ayah bayi ini yang menemaniku memeriksakan diri ke dokter. Pilu karena bayiku ini tidak dinginkan oleh ayahnya sendiri. “Bayinya sehat ya Ibu Putik. Semuanya normal sesuai usia kehamilan Ibu. Hanya saja, tekanan darah Ibu cukup rendah. Bagaimana dengan tidur Ibu Putik selama ini?” tanya Dokter wanita di hadapanku dengan suara lembut. Aku menjelaskan dengan singkat tentang jam tidurku yang cukup berantakan belakangan ini. Meski rasa kantuk menyerang, sayangnya aku tidak bisa terlelap dengan nyenyak. Bahkan seringkali, aku terpejam ketika jarum jam sudah menunjukkan jam dua dini hari. Sejujurkan aku sudah cukup lama mengalami insomnia, tepatnya semenjak Bhumika Bhumika menolakku untuk bertanggung jawab atas bayi ini. Dokter kandungan berhijab itu akhirnya meresepkan vitamin dan mengedukasiku betapa pentingnya tidur yang cukup bagi ibu hamil. Aku dan Sela keluar dari ruang pemeriksaan beberapa menit kemudian. Aku dan Sela memutuskan untuk segera pulang. Sepanjang perjalanan dengan aku dibonceng oleh Sela, kami lebih banyak diam. Hanya sekali Sela menanyakan, apakah aku ingin membeli sesuatu yang kujawab tidak. “Aku boleh masuk, Kak?” tanya Sela ragu-ragu di depan pintu kamarku, begitu kami tiba di bangunan dua lantai tempat tinggal kami. “Masuk saja, Sela.” Kubuka pintu lebih lebar, mempersilakannya. “Ayo, duduk, nanti kubuatkan teh hangat.” Sela menempatkan diri tepat di samping pintu, dan aku segera menyalakan dispenser. Kuletakkan satu teh celup dan kutuang gula secukupnya ke dalam gelas. Sembari menunggu air mulai panas, kuambil camilan dan kuhidangkan pada Sela. “Terima kasih ya Sela, kamu sudah mau menemani saya ke dokter lagi,” ucapku. Ya, ini memang kedua kalinya Sela mengantarku kontrol ke dokter kandungan. Pertama kalinya dia mengantarku satu bulan lalu, ketika aku dan Sela berbarengan keluar dari kamar. Lalu setelah berbasa-basi, Sela menawari tumpangan padaku menuju dokter kandungan. “Sela bosen dengernya, Kak. Sudah berapa kali coba Kak Putik bilang terima kasih?” tanya Sela dengan ekspresi cemberut yang dibuat-buat. “Sela ikhlas bantu Kak Putik, beneran.” “Iya, terima kasih,” ucapku sekali lagi yang membuat bibir Sela semakin maju. Dalam hati aku begitu bersyukur, aku yang seorang Pendosa ini, masih diberikan rezeki luar biasa, seorang teman yang begitu baik, padahal kami belum lama kenal. “Kak, boleh aku tanya sesuatu?” Sela kembali nampak ragu-ragu. “Tapi, kalau Kak Putik keberatan, Kakak nggak perlu menjawabnya.” “Tanya saja, Sela,” ucapku sembari tersenyum. “Tapi tunggu sebentar ya, airnya sudah panas, saya seduh tehnya dulu,” ujarku lantas berdiri. Tak membutuhkan waktu lama, aku sudah duduk kembali di hadapan Sela. “Sela mau tanya apa memangnya?” tanyaku penasaran. “Aku penasaran, semenjak Kakak tinggal di sini, belum pernah sekali pun aku melihat seorang laki-laki menemui Kak Putik.” Sela menghentikan ucapannya, untuk menatapku. Lalu dia melanjutkan ucapannya, ketika kuanggukan kepala. “Apakah tebakanku benar, kalau ayah dari bayi yang Kak Putik kandung tidak bersedia bertanggung jawab? Maaf ya, Kak, aku tanya begini. Tapi aku benar-benar penasaran.” “Tidak apa-apa.” Aku tersenyum maklum. Wajar saja, Sela ingin tahu, sebagai wanita hamil, seharusnya aku mendapat perhatian ekstra dari pasanganku. Namun pada kenyatannya, aku hidup seorang diri. Bahkan selama dua minggu pertama tinggal di daerah ini, aku berkeliling untuk mencari pekerjaan. “Kamu benar Sela, ayah bayi ini memang tidak bersedia bertanggung jawab. Tapi dia tidak sepenuhnya bersalah.” Kujawab sembari menampilkan senyum tipis untuk menutupi pilu. “Singkatnya, saya menjalin hubungan dengan ayah bayi ini ketika saya masih berstatus istri. Saya berselingkuh,” jujurku. “Kak Putik.” Sela terkejut, tentu saja. Ia pasti tak menyangka, wajah polos sepertiku mampu bertindak begitu jahat pada mantan suami dan putera kami. “Saya bukan orang baik, Sela. Saya seorang Pendosa.” “Nggak! Jangan pernah berkata seperti itu, Kak.” Sela menggenggam tanganku. “Karena kita semua adalah Pendosa. Hanya saja yang membedakan, dosa yang kita perbuat berbeda. Tapi seberapapun besarnya dosa yang kita miliki, bukankah Tuhan akan mengampuni, jika kita bersungguh-sungguh meminta ampun, Kak?” “Ya, saya pernah mendengar kalimat itu, Sela. Dan semoga saja, Tuhan mengampuni dosa saya. Semoga, Tuhan hanya menghukum saya. Cukup saya, jangan bayi ini. Semoga,” kataku penuh pengharapan, yang diamini Sela berkali-kali. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN