Bukan Sebuah Solusi

1514 Kata
Nara melangkah menuju ke arah jalan raya. Suasana lumayan lengang, hanya ada beberapa penduduk sekitar kampus yang berlalu-lalang. Gadis itu tidak menyadari kalau di belakangnya ada seorang laki-laki tidak dikenal mengikuti langkahnya. Cuaca yang cukup terik membuat Nara terpaksa menggunakan buku yang ada di tangannya untuk berlindung dari sengatan panas matahari. Gadis itu memang berasal dari keluarga yang sederhana, tetapi itu tidak menyulutkan semangatnya dalam menimba ilmu. Elang yang tiba di lokasi, mengamati pergerakan lelaki yang mengikuti Nara dari kejauhan. Tidak ingin terlambat, lelaki itu mengerem kendaraannya secara mendadak dan turun dari dalam sana. Dia menghempaskan pintu mobil dengan santai dan mengunci kendaraannya tersebut dengan tatapan terus tertuju pada Nara dan lelaki di yang mengikuti langkah gadis itu. Dengan langkahnya yang cepat dan terlatih, Elang berhasil menarik kerah baju lelaki yang menguntit Nara. Membalikkan badannya dan langsung memberikan tendangan bebas, hingga lelaki itu terpental. Lelaki itu tampak kesakitan dan berusaha bangkit dengan susah payah. Nara terkejut dan berteriak histeris saat mengetahui ada perkelahian di belakangnya. Namun, dengan sigap Elang memberi kode pada gadis itu untuk menutup mulut. Nara tentu langsung terdiam dan mematung. Seakan dia menjadi saksi bisu kekejaman lelaki yang semalam menginap di dalam kamar kostnya tersebut. Dia melihat dengan jelas, bagaimana Elang menarik lelaki itu dengan kasar dan menghadiahi beberapa pukulan di perut dan juga wajahnya. Kini lelaki itu jatuh tersungkur tanpa perlawanan. Lebih tepatnya, tidak ada celah untuk balik melawan. Elang terlihat begitu membabi buta. "Siapa yang menyuruhmu? Katakan! Atau ... aku akan merontokkan seluruh gigimu!" ancam Elang, gigi lelaki itu gemeretak. Tatapannya sangat tajam, seakan mampu menguliti pria yang sudah babak belur di sana. "Sam, Sam yang menyuruhku. Tolong ampuni aku, sungguh ... aku tidak akan mengganggu gadismu lagi," Lelaki itu memelas. Tapi Elang justru menyunggingkan senyum miring. Seakan dia menunjukkan taringnya sebagai pria yang tak kenal ampun. "Sekali lagi aku melihatmu mengganggu dia, tulang-tulang di tubuhmu tidak akan berada pada tempatnya lagi. Camkan itu!" Bugh! Tendangan cukup keras kembali menghampiri pria yang sudah tidak berdaya itu hingga tak sadarkan diri. "Ikut aku!" Elang menyeret paksa Nara menuju ke mobilnya. "Elang, kamu akan membawaku kemana? " tanya gadis itu dengan terbata. Keringat dingin mengucur begitu saja. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya setelah bersama Elang. Sekarang, dia memang diselamatkan oleh lelaki itu. Tapi ... bisa saja Elang berbalik menerkamnya. Nara menggelengkan kepala, berusaha mengusir segala pikiran buruk yang bermunculan di sana. "Jangan banyak bertanya. Aku akan menjelaskan padamu nanti." ucapnya dingin. Cuaca terik yang tadinya membuat Nara kepanasan seakan sirna begitu saja. Berganti dengan suasana dingin mencekam. Dia seharusnya mengingat pesan ibunya dengan baik untuk tidak berhubungan dengan orang asing. Penyesalan itu sudah terlambat. Sekarang dia bahkan harus berurusan dengan pria mengerikan seperti Elang. "Masuk!" perintah lelaki itu lantang saat pintu mobilnya terbuka. Sekujur tubuh Nara gemetar. Dia bahkan tidak yakin untuk masuk ke dalam mobil lelaki kejam itu. Dia sempat menoleh ke arah lelaki yang terkapar karena perlakuan Elang dan belum juga sadar. "Jangan membuang waktuku! Sebelum ada orang lain yang menemukan kita!" Elang mengingatkan. "Ba-baik." Nara masuk ke dalam mobil Elang dengan sangat berat hati. Dia sungguh ingin melarikan diri, tetapi kalau dia melakukan itu, mungkin saja Elang akan memperlakukan dia dengan cara yang tidak baik. Nara hanya bisa berdoa, semoga Tuhan melindungi nyawanya. Lalu, siapa orang lain yang Elang maksud? Apakah salah satu dari kawanan orang yang dia serang tadi? Sebenarnya orang itu siapa? Pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu menyeruak. Nara segera memeluk bukunya erat. Berusaha mengabaikan pertanyaan yang dia tidak tahu harus menanyakannya pada Elang atau tidak. Brak! Hempasan pintu mobil membuat Nara terjingkat. Gadis itu menoleh ke arah Elang dengan gerakan begitu kaku menyerupai robot. Mengamati wajah tanpa senyum itu sekilas lalu buru-buru kembali mengarahkan pandangannya ke depan. "Di tempat tinggalmu ada komputer dan printer?" tanya lelaki itu setelah menjalankan kendaraan yang mereka tumpangi. "A-ada." jawab Nara cepat dan masih saja terbata. "Bagus! Ayo kita ke sana." Nara spontan menoleh ke arah pria bertato itu. Ke tempat kos-nya lagi? Untuk apa? Jangan-jangan ... Elang akan ... "Untuk apa ke sana? Ka-kamu tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar hukum 'kan?" Gadis itu mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Gelak tawa Elang langsung terdengar. Bukan senang, Nara justru semakin merinding. "Sesuatu yang melanggar hukum? Contohnya?" "Aku tinggal di sana seorang diri," "Aku tahu," "Jadi ... aku takut kau akan ...," "Menidurimu? Begitu? Ahahaha. Tidak usah berpikir terlalu jauh. Sejujurnya kau ... sama sekali bukan tipeku." ucap lelaki itu tanpa dosa. "Bukan tipenya? Memangnya tindakan jahat seperti itu harus memikirkan tipe wanita? Jawaban yang sangat tidak masuk akal." protes Nara dalam hati. "Haha, baguslah." Nara mencoba untuk tertawa, meski sangat jelas kalau itu hanya dibuat-buat. Suasana hening. Baik Elang atau Nara, tidak ada yang membuka suara. Dua manusia itu tenggelam dalam pemikiran mereka masing-masing. Saat ini, Nara sedang memikirkan bagaimana cara agar dia lepas dari seorang Elang. Dia mungkin harus pindah ke tempat kost baru. Hanya saja, dia teringat uang tabungannya yang semakin menipis. "Lalu aku harus bagaimana? Apa aku cari pekerjaan paruh waktu dan mengumpulkan uang untuk pindah? Merepotkan sekali. Ibu juga tidak akan memberikanku uang tambahan dengan mudah. Bisa jadi, dia akan mengomel tujuh hari tujuh malam saat aku bilang butuh uang lagi," Batin Nara sambil memainkan kukunya. "Ehm!" Suara deheman Elang mengejutkan Nara. "Kamu mau tahu, siapa orang yang aku hajar tadi?" Lelaki itu membuka topik pembicaraan baru. Nara menggelengkan kepalanya. "Tidak." jawabnya singkat. "Dia anak buah Sam. Sam merupakan seorang pemimpin kelompok mafia yang sangat kejam, musuh dari bosku. Dia mengetahui kalau semalam aku menginap di tempatmu. Itulah mengapa, dia menyuruh anak buahnya untuk mencelakaimu. Mereka berpikir, kamu ada hubungannya denganku." Keterangan Elang membuat Nara terkejut. Dia tidak menyangka kalau membawa lelaki itu ke tempat dia tinggal justru membuat keselamatannya terancam. "Mencelakaiku?" Nara mengulang kata yang diucapkan oleh Elang. "Ya. Mereka akan terus mengincar keberadaanmu. Satu lagi berita buruk yang harus kamu ketahui," "A-apa?" "Bosku juga mengetahui keberadaan ku di rumahmu. Dia mengancam akan mengakhiri nyawamu." Seketika wajah Nara memucat. Bagaimana bisa hidupnya mendadak dikelilingi oleh orang-orang jahat? Dia sudah berbuat baik, menolong Elang dan memperlakukan lelaki itu dengan baik, lalu mengapa ... balasan yang dia terima justru begitu buruk? "Lalu aku harus berbuat apa? A-apa sebenarnya kamu datang untuk menjemput kematianku?" Nara sudah tidak dapat berpikir jernih. Bisa saja Elang menyelamatkan dia dari orang jahat itu hanya untuk mengelabuhi. Setelahnya, Elang akan membawa gadis itu menuju ke markas bosnya yang dia bicarakan tadi. "Kalau aku memang ingin melihatmu mati, kenapa tidak kubiarkan saja kamu ditangkap oleh anak buah Sam?" Pertanyaan Elang menyadarkan Nara. Apa yang dikatakan lelaki itu memang benar adanya. Dia tidak perlu susah-susah memukuli orang yang memang sudah mengincar nyawa gadis itu. "Apa kamu akan menyelamatkanku?" "Dengan satu syarat." ucap Elang datar tanpa ekspresi. "Apa?" "Jadilah kekasihku. Hanya dengan cara itu, kamu akan selamat." Pernyataan Elang seolah menghantam perasaan Nara. Dia tidak mungkin berpacaran dengan orang yang kejam seperti Elang. Wajah tampan saja tidak bisa menjamin kebahagiaannya. Lagipula, dia menginginkan Raja, bukan orang kasar seperti Elang. "Tapi ...," "Ini hanya hubungan formalitas. Kamu bisa berhubungan dengan siapapun, begitupula denganku. Aku akan memberitahu kesepakatan yang harus kita jalani selama hubungan kita berjalan. Setelah suasana membaik dan aku mampu meyakinkan bosku kalau kamu tidak berbahaya, aku akan melepasmu." Elang menjelaskan. Nara sedikit lega mendengar itu. Hanya saja, sampai kapan Elang bisa meyakinkan bosnya? Bagaimana kalau dia tanpa sengaja membuat kesalahan? Apakah nyawanya akan langsung melayang begitu saja? Bulu kuduk Nara berdiri memikirkan semua itu. "Jangan terlalu lama berpikir. Pilihanmu hanya ada dua, menjadi kekasihku atau mati." Detak jantung Nara begitu cepat. Bahkan apabila bisa didengar, mungkin dentuman musik diskotik akan kalah kuat. Dua pilihan yang tidak menguntungkan. Hanya saja, kalau Nara memilih opsi pertama, dia paling tidak bisa memanjangkan sisa umurnya. "Baiklah, aku bersedia menjadi kekasihmu." ucap Nara ragu-ragu. Dia terpaksa. Elang juga tidak membatasi pergaulannya. Itu berarti, Nara masih memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan cinta Raja. Lelaki tampan, supel, lembut, dan pengertian yang sudah lama menjadi incaran gadis itu. "Bagus. Mari kita segera buat kesepakatan. Oh ya, satu lagi. Selama kita menjadi sepasang kekasih, aku akan tinggal bersamamu. Tidak di tempat kost-mu, tetapi di apartemen tempatku tinggal. Aku akan mengantar kamu pergi kemanapun. Aku harus memastikan kamu aman," "Tinggal bersama? Tapi ... kita hanya pura-pura. Apa kita harus seperti pasangan pada umumnya? Kurasa itu tidak perlu dilakukan." Kali ini Nara berani angkat bicara. "Apa yang kamu maksud itu ... tidur bersama? Tenang saja, aku punya dua tempat tidur. Kita tidak akan tinggal dalam satu kamar. Seperti yang aku bilang, kamu bukan tipeku," Lagi-lagi Elang mengucapkan kata-kata itu. "Bagus. Aku juga tidak sudi untuk tidur berdua denganmu. Tuhan, mengapa hidupku jadi serumit ini? Kalau sampai ibuku tahu aku tinggal dengan seorang pria, dia pasti akan memenggal kepalaku. Malang sekali nasibmu, Nara." "Syukurlah. Aku merasa jauh lebih tenang sekarang." Nara memaksakan diri untuk tersenyum. Ketenangan itu hanya bualan belaka. Kenyataannya, nyawa gadis itu sedang berada di ujung tanduk, bukan? "Aku minta maaf," Kali ini ucapan Elang terdengar sedikit lebih lembut. "Untuk apa?" sahut Nara pelan. "Tanpa sengaja, aku sudah menyeret kamu ke dalam lembah kehidupanku yang suram," "Mau bagaimana lagi. Mungkin ini sudah takdir," ucap Nara sekenanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN