Gadis Penyelamat
“Diam! Jangan coba berteriak, atau peluru ini akan menembus kepalamu!”
Seorang lelaki yang tidak bisa dilihat dengan jelas wajahnya menghimpit tubuh Nara diantara tubuhnya dan tembok lorong yang gelap. Sementara itu, satu tangan lelaki berpakaian setelan serba hitam itu meletakkan ujung senjata api tepat di kening gadis itu. Seketika, kantong plastik berisi nasi goreng yang berada di tangannya jatuh ke tanah.
“Aku janji, tidak akan berteriak, tetapi tolong turunkan senjatamu dari sana.” Nara terbata-bata. Keringat dingin karena ketakutan mulai membasahi dirinya.
“Bawa aku ke rumahmu.” Ucap lelaki itu dingin, tidak juga menurunkan senjata api dari tempat semula.
Nara menyesal, karena sudah membeli nasi goreng dan melewati gang sepi. Sekarang yang ada di pikiran gadis itu hanyalah nasib. Dia khawatir kalau sampai lelaki itu berbuat asusila atau justru mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Dalam posisi seperti sekarang, dia tidak mungkin bisa menolak. Dia yakin, ketika penolakan itu keluar dari mulutnya, mungkin di saat bersamaan, peluru dari senjata api lelaki itu akan keluar dari sarang. Mau atau tidak, dia harus tetap membawa lelaki itu pulang ke tempat kos.
“Ba-baik. Izinkan aku mengambil kantong nasi gorengku dulu,” Nara masih ingat nasi goreng yang baru saja dia beli. Untuk anak kos seperti dia yang harus menghemat uang, meninggalkan nasi goreng itu begitu saja termasuk dalam daftar pemborosan.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya memasukkan senjatanya ke dalam jas lalu membungkuk dan mengambil kantong plastik yang Nara jatuhkan dan menyerahkan pada adis itu tanpa berkata apapun.
“Terima kasih,” ucap Nara takut-takut.
“Cepat bawa aku ke rumahmu.” Lelaki itu kembali mengingatkan tentang apa yang harus dia lakukan.
“Ba-Baik, ikuti aku.”
Lelaki itu tidak segera melangkah, tetapi justru membuka jas yang dia pakai dan menyerahkan ke Nara.
“Bawa jasku dengan benar, seolah kita saling mengenal.”
“Baik,” Nara mengikuti perintah lelaki itu dengan begitu patuh. Dia masih berusia dua puluh satu tahun, bagaimana kala dia berontak dan nyawanya berakhir? Mati muda bukan impian Nara.
Tiba-tiba saja lelaki itu memeluk pinggang Nara dari samping dan seketika berhasil membuat gadis itu merinding. Bagaimana tidak? Saat tiba-tiba ada seorang lelaki yang tidak dikenal berbuat sedemikian intim, sedangkan dia bahkan belum pernah memiliki kekasih.
“Ayo jalan!” ajaknya.
“Tapi,”
“Anggap saja kita ini sepasang kekasih yang sedang menikmati udara malam. Berjalan dengan normal, jangan sampai membuat orang curiga.” Lelaki itu bersikap datar. Seakan dia tidak peduli bagaimana reaksi Nara.
Nara meneguk ludah panik. Dia belum pernah berpacaran, lalu bagaimana bisa dia harus berpura-pura sedang berjalan sebagai sepasang kekasih dengan lelaki asing itu? Sungguh, rasanya Nara ingin kabur saja dari tempat dia sekarang berdiri, sayang sekali itu tidak mungkin terjadi.
Nara hanya mengangguk pasrah. Dia berusaha berjalan senormal mungkin, meskipun dekapan lelaki itu membuat dia tidak nyaman. Jarak antara keduanya dan tempat kos gadis itu tidak terlalu jauh, hanya lima menit saja saat ditempuh dengan berjalan kaki.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan apapun. Keduanya sama-sama membisu. Nara hanya bisa berdoa dalam hati supaya tidak ada orang yang melihat dia bersama lelaki itu. Beruntung, sepertinya semesta tidak ingin menakuti gadis itu. Mereka berdua sampai di kamar kos tanpa terlihat oleh orang lain.
Kamar kos yang ditempati Nara cukup luas. Gadis itu memang mengekos di sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tetapi fasilitas di dalamnya lumayan lengkap, termasuk kamar mandi dan juga dapur. Begitu dia membuka pintu, lelaki yang tingginya kira-kira seratus delapan puluh senti itu menyelonong masuk tanpa permisi.
Jantung Nara berdebar-debar, rasa takut mulai kembali menyergap gadis itu. Dia menutup pintu dengan hati-hati dan melihat lelaki yang kini terlihat memakai kemeja hitam lengkap dengan dasi itu merebahkan diri di sofa. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan memejamkan mata. Wajah lelaki itu terlihat begitu lelah dan ada goresan luka di pelipis juga bagian pipi. Pantas saja tadi Nara sempat mencium bau anyir.
Dia meletakkan jas lelaki itu di atas meja dengan sangat perlahan. Dia takut membuat lelaki itu tersinggung kalau dia bertindak sembarangan. Nara yang biasa membantu kegiatan di ruang kesehatan kampus terpanggil jiwa baiknya untuk mengobati luka yang ada di wajah lelaki itu. Dia mengambil kotak obat yang terletak di meja tempat dia biasa belajar dan kembali ke sofa, lalu dia duduk di samping lelaki itu pelan-pelan.
Nara mengeluarkan kapas secukupnya lalu membasahi kapas itu dengan alcohol dan dengan hati-hati berusaha membersihkan luka lelaki yang kini berada di hadapannya. Dalam kondisi seperti sekarang, lelaki yang tadi sempat mengancamnya itu jauh dari kata seram. Dia bahkan terlihat begitu tampan dan menggemaskan.
“Akh!” teriak lelaki itu kesakitan seraya terbangun dan duduk dengan posisi normal. Rupanya tadi lelaki itu benar-benar tidur karena kelelahan.
“Ma-Maaf, aku tidak bermaksud membangunkanmu. Aku hanya ingin membersihkan luka di wajahmu. Kalau dibiarkan bisa infeksi.” Wajah Nara memucat. Dia merutuki dirinya sendiri karena lancang dan berani menyentuh lelaki yang bahkan dia tidak tahu dari mana asalnya.
“Lakukan saja. Aku hanya terkejut.” ucap lelaki itu lagi-lagi dengan nada dingin.
Mendengar itu, Nara kembali memiliki keberanian untuk melanjutkan kegiatannya membersihkan luka lelaki misterius itu.
“Siapa namamu? Aku Elang.” Nara sedikit tersentak. Bagaimana bisa seseorang mengajak berkenalan tanpa ada kesan manis sedikitpun.
“Aku Nara.” sahut gadis itu singkat. Dia baru saja selesai memasang plester ke kening dan pipi Elang yang terluka.
Gadis itu kemudian bangkit dan membawa kotak P3K kembali ke tempat dia mengambil semula. Nara melangkah ke arah dapur dan mengisi sebuah gelas kaca bening dengan air putih lalu kembali ke ruang tamu dan memberikan air itu pada Elang.
“Minumlah. Kamu kelihatan begitu lelah.”
“Terima kasih.” Lelaki itu menerima gelas yang disodorkan oleh Nara dan meneguk isinya hingga tandas.
“Bolehkah aku menggunakan kamar mandimu?”
“Tentu, silakan saja. Aku akan memasak sesuatu untukmu.”
“Dimana kamar mandimu?”
“Ikuti aku.”
Elang menurut. Dia mengikuti langkah Nara yang akan menunjukkan kamar mandi yang ada di tempat kosnya.
Nara terkejut saat berbalik untuk memberitahu Elang kalau mereka sudah sampai dan ternyata lelaki itu sudah melepas kemejanya. Tinggal kaos dalam yang membalut tubuh lelaki itu dan otomatis memperlihatkan lekuk tubuhnya
Elang memiliki tubuh yang bagus selain tinggi badan yang menakjubkan di mata Nara. Di sepanjang lengan hingga ke pergelangan tangan lelaki itu ada tato abstrak yang membuat kesan menyeramkan. Sayang sekali, wajah lelaki itu tidak mendukung peran sangar tubuh yang dia miliki. Terlalu tampan, bahkan terkesan imut.
“Ah, maaf. Aku tidak sengaja.” Nara segera berbalik memunggungi Elang.
Lelaki itu tersenyum smirk dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa basa-basi.
Nara memegang dadanya, berusaha meredam detak jantung yang seakan tak menentu. Untuk pertama kalinya dia harus dihadapkan dengan lelaki yang dingin, menyeramkan, dan menawan dalam waktu bersamaan. Dia bingung harus menyebut Elang sebagai apa, orang yang jahat atau justru pangeran karena wajah lelaki tersebut yang begitu tampan.
Gadis itu menepuk kedua pipinya berkali-kali untuk membuat dia sadar kalau ini bukan saatnya dia memuji pria itu. Dia harus segera memberikan pelayanan layaknya tuan rumah dan setelah itu dia bisa menanyakan kapan Elang akan pergi dari tempat dia tinggal. Jelas saja Nara tidak bisa terlalu lama membiarkan lelaki itu tinggal satu atap dengan dia.
Nara segera melangkah ke arah dapur, mengambil persediaan mi instan yang dia simpan di lemari lalu mulai bersiap untuk memasak mi tersebut dengan campuran beberapa sayur dan sedikit daging. Tidak perlu menunggu lama, aroma masakan Nara sudah menyebar ke seluruh ruang dapur. Begitu harum dan mengundang rasa lapar.
Dia segera menoleh saat menyadari ada seseorang melangkah. Sekali lagi dia dihadapkan dengan penampilan Elang yang membuat dia senam jantung. Lelaki itu hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya sementara tubuh bagian atas Elang dibiarkan bebas terbuka. Bohong kalau Nara tidak terpesona dengan pahatan yang ada di tubuh lelaki itu.
“Ke-Kenapa kamu tidak mengenakan kembali bajumu?” tanyanya mencoba untuk berani.
“Aku tidak biasa tidur dengan baju dan celana panjang. Pinjamkan aku pakaianmu.”
“Kamu yakin?”
“Tentu saja.”
Nara menuju ke dalam kamar tempat dia tidur dan memeriksa isi lemarinya. Dia tidak memiliki satu pun baju yang cocok untuk dikenakan oleh Elang. Mata gadis itu tertuju pada setelan piyama abu-abu pendek dengan motif kelinci miliknya. Dia kemudian tertawa kecil membayangkan lelaki itu mengenakan setelan baju yang kini sudah dia pegang. Nara kembali menemui Elang dan menyerahkan piyama itu.
“Aku tidak memiliki baju yang cocok untukmu. Hanya ada ini, apa kamu mau memakainya?” tanya Nara dengan menahan senyum.
Tanpa menjawab, Elang langsung mengambil setelan piyama yang ada di tangan Nara lalu membawanya kembali masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian lelaki itu keluar dengan sudah memakai piyama yang Nara pinjamkan.
Gadis itu menutup mulutnya, berusaha menyembunyikan senyum yang tidak bisa dia tahan lagi. Elang berubah menjadi lelaki imut bertato yang menggemaskan. Hanya dengan menambahkan bando kelinci, dia yakin kesan sangar dari seorang Elang akan lenyap seketika.
“Kenapa kamu tersenyum? Ada yang aneh?” tanya elang yang ternyata sadar kalau Nara sedang bereaksi karena penampilannya.
Dia menggeleng cepat.
“Tidak ada, ayo makan. Nanti mi-nya keburu dingin nggak enak lagi.” Nara menarik kursi untuk Elang dan mempersilakan lelaki itu untuk duduk.
“Terima kasih. Ehm, apa kamu tidak takut padaku setelah apa yang aku lakukan?” Elang masih sempat bertanya dengan kedua tangan sibuk memegang sendok dan garpu. Lelaki itu juga terlihat tidak sabar untuk melahap makanan yang ada di hadapannya.
“Aku yakin kamu masih memiliki hati yang baik.” jawab Nara santai. Setidaknya dia berusaha berpikiran positif dulu untuk sekarang. Walaupun sebenarnya dia sedikit was-was.
“Seyakin itu?”
“Ya, tentu saja.”