Keputusan Elang

1620 Kata
“Terima kasih untuk semalam. Tempat tidur, makanan, dan juga pinjaman piyama kelincinya. Maaf kalau aku sempat menakutimu.” ucap Elang sebelum pergi. Nara tersenyum. Awalnya dia takut, tetapi ternyata Elang tidak semenakutkan yang dia pikirkan. “Tidak masalah. Aku senang bisa membantumu.” “Semoga kita bisa bertemu lagi di lain waktu.” Setelah mengatakan itu, Elang keluar dari rumah Nara. Meninggalkan gadis yang masih menikmati sisa-sisa kebersamaan mereka. Nara mengangkat bahu, mencoba melupakan kehadiran Elang yang dia anggap sebagai mimpi. Setelah pertemuan ini dia juga tidak akan mungkin bertemu dengan Elang lagi. Mereka memang sempat berbincang, tetapi dia sedikitpun tidak membuka tentang asal usulnya. Hampir sepertiga malam mereka saling bercerita hal remeh-temeh, hingga akhirnya sama-sama tertidur di sofa besar menjelang pagi. Suara telepon berdering mengalihkan perhatian Nara. Dia segera menghampiri telepon rumah dengan tergesa. Dia yakin ibunya yang melakukan panggilan. Nara menghela napas terlebih dahulu sebelum menerima panggilan. “Selamat pagi,” Nara bersikap santai, seolah dia tidak memiliki salah apapun. “Nara! Kamu sudah lupa dengan ibumu? Sudah satu minggu ini kamu tidak menelepon ibu, apa kalau ibumu ini tidak berinisitif menelepon kamu juga akan tetap tidak mau menghubungiku sampai satu tahun?” cerocos ibu Nara dengan kecepatan di atas rata-rata dari ujung sana. “Baru satu minggu, Bu. Lagipula aku sedikit sibuk akhir-akhir ini. Banyak sekali tugas yang harus Nara selesaikan. Ibu sehat-sehat saja, bukan? Bukankah itu sudah cukup?” “Bisa-bisanya kamu bilang seperti itu, jadi kalau ibumu ini sudah sehat kamu tidak perlu peduli, begitu maksudmu?” Ibunya terdengar begitu emosi. “Aku hanya bercanda, Bu. Jangan marah-marah, ibu sudah tua.” “kau tahu ibumu sudah tua, tetapi tetap saja kau membuatku naik darah.” “Maaf, Bu.” Nara memilih untuk mengalah. Dia tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan ibunya. “Sudah ibu maafkan. Jangan lupa makan yang teratur, kurangi begadang, dan jangan keluyuran yang tidak perlu. Kamu hanya tinggal sendirian, tidak ada yang menjaga kamu. Jadi, kamu harus menjaga diri kamu sendiri. Jangan berhubungan dengan orang asing, apa kau dengar?” seketika ingatan Nara melayang ke Elang. Dia orang asing dan Nara membiarkan dia masuk ke dalam rumah kosnya. Kalau ibunya sampai tahu, bisa-bisa Nara digantung di pohon tomat. “Iya, Bu. Siap. Aku harus ke kampus sekarang, telat nih. Sampai jumpa …,” Nara buru-buru menutup telepon dari ibunya. Ada rasa lega sekaligus was-was. Nara takut akan terjadi sesuatu setelah pertemuan dia dan Elang. Kalau dilihat dari penampilannya, dia bukan pria baik-baik. Bagaimana kalau kebaikan yang dia tunjukkan di dalam rumah malam tadi hanya pura-pura? Seketika gadis itu merinding. “Semoga cuma perasaan aku aja. Sebaiknya sekarang aku mandi daripada berpikiran yang nggak-nggak.” Nara segera melesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk melupakan pertemuannya dengan Elang dan juga bayangan tentang keburukan yang terjadi akibat pertemuan itu. --- Elang baru saja sampai di sebuah bangunan besar dan mewah yang di bagian depannya di jaga ketat oleh banyak bodyguard. “Bos sudah datang?” tanyanya pada salah seorang dari mereka yang berjaga. “Sudah, beliau menunggumu di dalam.” jawab lelaki itu. Tanpa basa-basi Elang langsung masuk ke dalam untuk menemui seseorang yang dia sebut dengan ‘bos’ itu. Untuk menggapai ruangan yang menjadi tempat ‘singgasana’ bosnya Elang harus melewati lorong dengan pencahayaan minim. Ruangan di sana memang sengaja dibuat memiliki aura yang sedikit mencekam. Elang sudah menjalani profesi sebagai orang suruhan selama beberapa tahun terakhir. Semalam merupakan keberhasilan yang dia dapatkan untuk kesekian kali. Secara tidak langsung, Nara menjadi malaikat yang membantu Elang lolos dari kejaran anak buah musuh bosnya. “Menginap di mana kau semalam?” Pertanyaan itu yang pertama kali dia dengar dari mulut si bos. “Jelas di tempat tinggalku, Bos.” Elang tidak ingin melibatkan Nara. Dia yakin gadis itu akan mendapat masalah apabila informasinya terendus oleh si bos. “Tidak perlu berbohong. Aku sudah tahu kalau kau tidur di rumah seorang gadis semalam. Bukankah aku sudah sering mengingatkan, jangan sampai identitasmu diketahui oleh orang lain? Kamu sudah tahu, bukan, kalau itu bisa membahayakan keselamatan kamu dan juga kelompok kita.” Tatapan lelaki yang ada di hadapan Elang begitu tajam, dia tampak kecewa dengan tindakan ceroboh yang dilakukan oleh Elang. “Aku yakin dia bukan tipe gadis yang seperti itu, Bos. Identitasku pasti aman.” Elang berusaha untuk membela Nara. Dia tentu tidak ingin menyeret gadis polos itu ke dalam urusan pribadinya. “Dari mana kamu bisa menjamin itu, Elang? Dia manusia, dan kamu tahu kalau manusia itu sudah pasti licik, sama seperti kita. Dia akan tetap membocorkan rahasiamu, apalagi kalau ada orang yang membayar untuk itu. Bukan tidak mungkin kalau semalam mereka juga melihatmu masuk ke dalam tempat tinggal gadis yang kau temui semalam. Aku beri kamu dua pilihan, ikat dia di sisimu atau aku sendiri yang akan mengirim gadis itu ke neraka.” Seketika wajah Elang menegang. Dia menelan ludahnya sendiri. Bagaimana bisa dia membiarkan gadis sebaik Nara mati sia-sia hanya karena kekonyolan bosnya. “Tapi Bos …,” “Pilihan ada di tanganmu, Elang. Kalau kamu mau mengikat dia, kamu bisa menjadikan dia kekasihmu, atau istrimu mungkin. Kalau kedua pilihan itu tidak kamu ambil berarti kamu lebih memilih dia…,” lelaki itu meniup ujung senjata api yang ada di tangannya dengan asap rokok yang tadi dia isap. Elang tahu apa maksud dari kode itu. “Baik. Aku sudah mengambil keputusan, Bos.” ucap Elang mantap. “Katakan, apa keputusan yang kamu ambil?” “Aku akan mengikatnya.” “Hm, sudah kusangka. Sepertinya semalam telah terjadi sesuatu yang spesial antara kamu dan dia. Terserah, kalau itu keputusanmu.” --- “Nara!” Seorang lelaki yang berdiri di koridor kampus melambaikan tangan ke arah Nara yang baru turun dari angkot. Nara langsung menghampiri lelaki itu dengan langkah cepat, “Ada apa, Ngga?” “Ntar malem, aku sama anak-anak mau ngadain makan-makan bareng, ngerayain ulang tahun Mita, kamu mau ikutan? Sayang juga kalau nggak ikut, karena bakalan ada Raja di sana.” Rangga merupakan teman sekelas Nara sedangkan Raja, kakak tingkat Nara sekaligus cowok idaman gadis itu. Sejak awal masuk kuliah, Nara memang langsung jatuh hati pada Raja. Cowok itu termasuk ke dalam tiga pria paling popular di kampusnya. Bukan hanya Nara, masih banyak gadis yang menaruh perasaan yang sama terhadap Raja. Terlebih, Raja merupakan sosok yang supel dan mudah bergaul. Nara bahkan sudah beberapa kali mendapatkan traktiran dari pria popular itu. “Kalau ada Raja, aku pasti ikut. Jam berapa dan di mana?” “Jam setengah delapan malam di kafe Bintang.” “Oke, aku usahain datang tepat waktu.” “Sampai ketemu ntar malem, Nara.” Sementara itu, di atap gedung markas. Elang tampak menyendiri, menikmati pemandangan yang dapat dia lihat dari atas sana. Sesekali angin semilir menghibur hatinya yang gersang. Hati yang lama tak tersentuh dan kesepian. Elang hidup sebatang kara. Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya saat usia Elang masih lima belas tahun, dia harus kehilangan kedua orang tuanya. Orang tua elang menjadi korban perampokan dan mati dalam keadaan mengenaskan. Saat itu, Elang yang masih remaja tinggal dengan neneknya dan lima tahun lalu, nenek yang begitu dia sayangi juga meninggalkan dia kembali ke keabadian. Dia sudah lelah menangis. Dia juga lelah meratapi hidupnya yang malang. Untuk menghibur diri, Elang memilih membalut dirinya dengan penampilan sangar dan bersikap kejam. Dia tidak ingin dunia tahu, seberapa rapuh seorang Elang. Saat ini, dia sedang memikirkan bagaimana cara dia mengikat Nara.dia tidak bisa membiarkan gadis tak berdosa itu sebagai korban kekejaman Beno, bosnya. Elang harus memastikan posisi Nara aman. Satu-satunya cara yang bisa dia tempuh adalah memaksa Nara untuk menjadi kekasih, meski hal itu cukup sulit untuk dijalani. Dengan kehidupan yang kacau seperti sekarang, Elang tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan dengan gadis manapun. Apalagi dengan Nara, gadis yang baru dia kenal dalam hitungan jam. Dunia gelap memang sulit. Dia tidak bisa membiarkan seorangpun untuk masuk ke dalam kehidupannya kecuali untuk terlibat. Seakan tidak ada alasan yang bisa membuat dia bisa membebaskan Nara tanpa syarat. Lelaki itu menyisir rambut dengan jemari dan berteriak, melepaskan kegundahan yang kini menguasai hati. “Aarrgh! Kenapa Kau terus memojokkanku dalam situasi yang sulit, Tuhan? Tidak cukupkah Kau ambil kedua orang tua dan juga nenekku? Apakah sebenarnya aku simbol kesialan?” Elang menengadah ke langit, seolah dia sedang benar-benar berbicara pada pencipta alam semesta. Tiba-tiba saja ponsel Elang berdering. Lelaki itu mendapat panggilan dari bawahannya. Tanpa basa-basi, Elang langsung menerima panggilan itu. “Ada apa?” tanya Elang dengan nada dingin. “Bos, gadis yang semalam menolong Bos dalam incaran Sam. Tampaknya, salah satu anak buah Sam mengetahui dimana keberadaan Bos semalam.” Lapor seseorang di ujung sana. “Sial! Dimana posisi kalian sekarang?” “Universitas Bima Darma, Bos.” “Aku akan segera ke sana. Awasi terus, jangan sampai anak buah Sam menyentuh gadis itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang kita.” “Baik, Bos.” Elang langsung mengakhiri sambungan telepon mereka. Dia bergegas turun dengan langkah tergesa. “Nara, seharusnya semalam aku tidak memanfaatkanmu. Maaf.” Elang sempat menggumam. Tidak butuh waktu lama untuk Elang sampai di lokasi parkir. Dia langsung membawa mobil sport yang biasa dia gunakan melesat dengan kecepatan penuh. Dia harus memastikan Nara baik-baik saja. Sam merupakan anak dari saingan Beno. Dia selalu mengincar Elang dan berusaha untuk menjatuhkan reputasi lelaki itu dengan berbagai cara. Sudah banyak kekacauan yang Sam buat hanya untuk kehancuran Elang, tetapi tetap saja kemenangan berpihak pada lelaki berhati rapuh itu. Bagi Elang, Sam merupakan musuh yang berbahaya dan licik. Dia harus melakukan berbagai trik untuk bisa membalas serangan yang sam berikan. “Jangan coba-coba menyentuh Nara, Sam. Sedikit saja kau melukai dia, aku akan mematahkan tanganmu!” Elang menghantam dashboard mobilnya dengan gigi gemeretak. Wajah lelaki itu terlihat merah padam karena tersulut emosi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN