"Sudah siap?" tanya Elang pada Nara yang keluar dari kamarnya dengan menarik sebuah koper.
Nara memeriksa sekitar, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Kemudian dia mengangguk dengan mantap.
"Bagus, ayo kita berangkat. Biar aku yang membawa kopermu," Elang menarik dua koper besar barang-barang Nara.
Tiba-tiba nada dering panggilan terdengar dari ponsel gadis itu. Membuat langkahnya terhenti sejenak. Nara mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecilnya.
"Sebentar, ibuku telepon," ucap Nara dengan ekspresi meminta pengertian Elang.
"Silakan angkat saja, biar aku bawa kopernya ke mobil,"
Nara mengangguk dan langsung menerima panggilan dari ibunya.
"Halo, iya Bu. Ibu apa kabar?"
"Kabar ibu baik, Nak. Kamu sedang apa di sana? sudah makan? Apa ibu menelepon kamu terlalu malam?"
Mendengar ibunya bertanya dia sedang apa, membuat Nara menoleh ke arah Elang yang sibuk memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada sang ibu.
"Aku sedang belajar, Bu. Banyak tugas akhir-akhir ini, sepertinya aku sudah pernah bilang pada Ibu. Aku sudah makan, Bu. Ibu bagaimana? Sehat?"
"Ibu baik-baik saja, Nak. Sebenarnya ibu mau minta maaf, sepertinya kiriman uang dari ibu bulan ini akan telat. Ayahmu sakit, jadi uang yang seharusnya dikirim padamu, ibu gunakan untuk membawa ayahmu berobat."
Nara menghela napas. Sekali lagi dia melirik ke arah Elang yang sudah menunggunya di belakang kemudi. Dia hanya bisa berharap pada lelaki itu sekarang.
"Tidak masalah, Bu. Bagaimana keadaan Ayah sekarang? Apa sakitnya sudah sembuh?"
"Sudah jauh lebih baik. Kamu bisa minta tolong sama temanmu dulu. Ibu akan usahakan uangnya secepatnya."
"Tenang saja. Ibu tidak perlu khawatir. Aku punya banyak teman yang baik di sini. Maaf, aku harus tutup panggilannya, Bu. Masih banyak tugas,"
"Baiklah. selamat malam."
"Malam, Bu."
Nara menghela napas. Dia meyakinkan diri untuk keluar dari tempat kostnya. Sekarang bukan kesulitan uang yang gadis itu takutkan, tetapi tentu saja keselamatan dirinya.
Dia hanya bisa mengandalkan Elang. Sekarang Nara bahkan merasa berada di ujung tanduk. Berada di antara tanduk dan jurang. Tidak bisa sembarang bergerak atau semuanya selesai begitu saja. Termasuk nyawanya.
Melihat Nara yang sudah keluar dari kost dan menutup pintunya, Elang segera membukakan pintu mobil untuk gadis itu. Nara masuk ke dalam mobil, wajahnya sedikit ditekuk. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya kalau sang ibu tidak segera mengirimkan uang bulan ini.
"Kenapa? Ada masalah?"
Pertanyaan Elang memaksa Nara untuk tersenyum. Tentu saja hal itu diketahui oleh Elang. Lelaki itu memiliki kepekaan yang tinggi.
"Aku tidak akan memaksamu untuk cerita. Semua orang punya rahasianya sendiri," sambung lelaki itu. Dia mulai membawa mobil sport yang mereka tumpangi meninggalkan halaman rumah kuno tempat Nara tinggal.
"Ibuku. Dia bilang akan terlambat mengirim uang bulanan di bulan ini. Aku tidak tahu, bagaimana aku makan dan keperluan lainnya. Uangku sudah menipis," cerita Nara dengan sungkan.
Selama ini dia tidak pernah menceritakan hal pribadi semacam itu pada siapapun. Tapi malam ini, dia terpaksa menceritakan semuanya pada Elang. Kepercayaan itu timbul begitu saja, entah karena apa. Mungkin karena lelaki itu seakan ingin merangkulnya.
"Cuma karena itu? Tenang saja, aku akan meminjamkan padamu sejumlah uang. Kamu boleh menggantinya saat kau memiliki cukup uang." Elang sengaja mengatakan 'meminjamkan' agar dia tidak terkesan merendahkan Nara. Apalagi dengan posisi mereka sekarang.
"Kamu serius? Apa aku tidak merepotkan mu?"
Pertanyaan Nara membuat Elang tertawa kecil.
"Selama aku bisa membantu kesulitan seseorang, tidak ada perasaan direpotkan dalam hatiku. Bukankah kita hidup memang harus banyak berbuat baik?" Elang mengingat perkataan itu. Sebuah kalimat ajaib yang diberikan oleh nenek kesayangannya.
Nara tersenyum tipis. Kali ini bukan sebuah senyum keterpaksaan. Senyuman itu tulus dari dasar hatinya yang terdalam.
"Ternyata seorang Elang memiliki hati yang baik, ya. Aku pikir lelaki dingin bertato sepertimu akan terus berbuat kejam," Entah keberanian dari mana yang membuat Nara mengucapkan untaian kata-kata itu.
"Persepsi dari mana? Aku kejam hanya karena tugas. Tentu saja aku memiliki sisi lembut di saat tertentu. Aku pikir itu sifat yang manusiawi. Setiap manusia memiliki dua sisi, hanya bagian mana yang lebih terlihat. Sisi baiknya, atau sisi jahat." Nara setuju dengan kalimat yang di ucapkan oleh Elang.
Di dunia ini jarang sekali orang yang benar-benar baik. Memiliki sisi baik lebih banyak, tentu saja ada orang seperti itu. Untuk manusia yang benar-benar murni tanpa sifat buruk, sudah sangat sulit untuk ditemui di zaman ini.
"Kamu benar. Terkadang, orang yang terlihat sangat baik, justru menyembunyikan sisi jahatnya yang lebih besar. Kamu tidak ada keinginan untuk berhenti dari pekerjaanmu yang sekarang?" Nara memberanikan diri untuk menanyakan hal itu pada Elang.
Elang memperhatikan keadaan jalanan yang lumayan lengang. Hanya ada beberapa mobil dan motor yang berlalu lalang. Mereka sudah dekat dengan kompleks tempat apartemen Elang berada.
"Aku sudah nyaman dengan duniaku, Nara. Pernah berpikir untuk berhenti, tetapi aku tidak tahu apa yang akan aku kerjakan setelah berhenti. Aku sudah terbiasa hidup di lingkungan keras seperti yang aku jalani sekarang." jawab Elang dengan tenang.
Nara mengerti, kehidupan yang dia jalani berbeda jauh dengan kehidupan Elang. Lelaki itu terlihat sudah sangat terbiasa dengan kerasnya hidup. Dia juga terlihat sangat kokoh dan tak mudah untuk dikalahkan.
Dilihat dari fisiknya, semakin besar keyakinan Nara bahwa Elang memang sudah mempersiapkan sisinya dengan sangat baik untuk keperluan pekerjaan. Ada sisi hatinya yang merasa beruntung mengenal lelaki itu, tetapi di sisi lain, Nara juga khawatir akan kehidupannya ke depan.
Bagaimana dia akan bertahan di sisi Elang? Sampai kapan dia akan terus bersandiwara menjadi kekasih lelaki itu? Apa dampak dari hubungan pura-pura yang saat ini dia jalani bersama Elang? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika menyeruak, mengganggu ketenangan pikiran Nara.
"Memang terkadang kenyamanan itu tidak bisa ditukar dengan apapun." sahut Nara singkat. Dia tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada Elang.
"Apa kamu sedang mencemaskan dirimu? Kamu tidak nyaman berada di sisiku? Bukankah aku sudah pernah bilang kalau aku tidak akan pernah membahayakan kamu, Nara." Elang kembali mengingatkan Nara tentang kalimat yang pernah dia ucapkan beberapa saat yang lalu pada gadis itu.
"Tentu aku masih mengingatnya dengan baik, Elang. Aku tahu kamu lelaki yang bertanggung jawab. saat ini, bukan diriku yang aku cemaskan, tetapi kamu." ucap Nara serius. Bukankah kalau Elang terancam itu artinya dia juga akan mengalami hal yang sama?
"Baru kali ini ada yang mengkhawatirkan diriku," gumam Elang pelan.
"Apa?" Nara yang tidak mendengar kalimat Elang dengan jelas meminta lelaki itu untuk mengulang.
"Lupakan saja. Kita sudah sampai."
Mobil mereka memasuki area parkir sebuah gedung apartemen yang menjulang tinggi. Jujur saja, Nara lebih suka tinggal di tempat kostnya yang biasa.
"Biar aku yang membawa koper-koper kamu."
Mereka berdua memasuki area apartemen. Masuk ke sebuah lift terdekat. Nara sempat melirik Elang menekan tombol delapan. Gadis itu menghela napas. Mereka hanya akan tinggal bersama. Tidak akan terjadi apapun. Dia terus meyakinkan diri.
"Tidak usah tegang, santai saja. Di sini tidak ada penjahat yang mengintaimu." ucap lelaki itu tiba-tiba.
Bagaimana kalau penjahatnya dia?
---
Nara terus mengikuti langkah Elang. Dia persis seperti seorang wanita yang mengikuti langkah suami saat menjadi pengantin baru. Lorong menuju ruangan milik Elang sangat sunyi. Hanya suara roda koper yang terdengar.
Tidak jauh dari mereka berjalan sekarang, ada seorang wanita dengan penampilan tomboy tengah berdiri menyandar ke dinding. Seakan sedang menunggu seseorang.
"Elang, akhirnya kamu kembali," katanya terlihat senang melihat kedatangan Elang.
"Lisa? Ada apa?"
"Aku sudah bilang kalau aku merindukanmu, bukan?" Pandangan wanita itu beralih ke arah Nara.
"Dia siapa?"
"Dia sepupuku. Kita bisa bertemu lain kali, 'kan? Lagipula ini sudah larut malam," Elang berusaha untuk mengusir Lisa.
"Tidak, Elang. Aku ingin mengobrol denganmu sebentar saja. Biarkan aku masuk," rengek wanita itu.
Nara hanya mengamati gerak-gerik perempuan itu. Terlihat dengan sangat jelas kalau wanita yang dipanggil Lisa oleh Elang itu memiliki perasaan lebih terhadap lelaki yang sedang bersamanya.
"Baiklah, terserahmu saja." Elang tampak putus asa. Dia mengeluarkan cardlock dan membuka pintu kamarnya.
Lelaki itu memberi ruang pada Nara untuk masuk terlebih dahulu. Seperti yang Elang janjikan sebelumnya, di apartemen tempatnya tinggal ada dua tempat tidur.
"Kamarmu di sebelah sana. Aku tidur di luar,"
"Baiklah,"
Nara segera menyingkir dari hadapan Lisa dan Elang. Membawa masuk dua kopernya ke dalam ruangan uang akan menjadi tempatnya melepas lelah.
Sementara itu, di ruang tamu, Lisa langsung memeluk Elang. Lelaki itu tampak tidak membalas, tetapi juga tidak menolak. Lisa memang sudah biasa bersikap manja pada Elang.
"Bukankah aku sudah bilang kalau malam ini aku tidak bisa, mengapa kamu tetap saja datang ke sini, Lisa?" protes Elang. Dia sebelumnya sudah memperingatkan Lisa kalau malam ini dia tidak bisa.
"Aku merindukanmu, Elang. Rasa rinduku tidak tertahankan lagi. Bukankah dulu bisa kapan saja? Apa karena gadis tadi?" Lisa mulai mencurigai Nara.
"Dia tidak ada hubungannya dengan ini, Lisa. Baiklah, begini saja. Ayo kita ke hotel, aku ikuti apa mau kamu. Asal jangan di sini," Elang menyeret Lisa keluar dari apartemennya. Pintu tertutup otomatis.
Sementara Nara yang mendengar mereka keluar dari apartemen langsung keluar untuk memastikan. Ternyata Elang dan wanita itu memang benar-benar pergi.
"Siapa wanita itu? Pacarnya? Tetapi sepertinya Elang tidak memiliki hubungan seperti itu. Dia terlihat biasa saja. Apa mungkin memang dia selalu berekspresi datar? Entahlah. Sebaiknya aku segera membersihkan diri dan tidur. Rasanya lelah sekali,"
Nara kembali masuk ke dalam kamarnya. Membersihkan diri, berganti pakaian dan mulai merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Pikiran gadis itu melayang, rasa lelah tidak lantas membuat matanya mudah terpejam.