"Dua-duanya bukanlah pilihan. Tetapi, harus dipilih."
••♡♡♡••
USAI mengantar Virya pulang, Prada Ardan tidak langsung kembali ke rumah. Ia masih berada di mobil. Memantau rumah Virya dari tempat yang tidak akan Virya ketahui.
Mengapa ia melakukan hal itu?
"Ardan, habis ini kita langsung pulang aja ya?" Tanya Virya tiba-tiba, setelah keluar dari bioskop. Prada Ardan tentu tidak langsung mengiyakan.
"Ada apa memangnya?" Wajah dingin Prada Ardan terlihat jelas. Hal itu membuat nyali Virya menciut.
Belum sempat Virya menjawab. Ponsel Virya berbunyi nyaring. Gadis itu pun langsung merogoh ponselnya. Menjauh dari Prada Ardan untuk mengangkat telepon itu.
Prada Ardan merasa sikap Virya berbeda kali ini. Biasanya Virya akan mengangkat telepon siapapun di hadapan Prada Ardan. Tetapi, kali ini tidak.
Kembalinya Virya, gadis itu tetap kukuh meminta diantarkan pulang. Prada Ardan pun mengiyakan.
Beberapa menit kemudian, Virya masih dengan baju yang sama. Keluar dari gerbang rumahnya. Menaiki ojek online, mungkin gadis itu telah memesan kendaraan itu terlebih dahulu.
Tanpa berlama-lama, Prada Ardan pun mengikuti ojek online yang membawa Virya itu.
Rumah Sakit Tentara Dokter Soepraoen.
"Siapa yang sakit?"
Jika, orang itu adalah keluarga Virya. Maka sudah dapat dipastikan, Virya akan mengajaknya. Paling tidak, Virya datang ke rumah sakit dengan diantar bapak atau ibu.
Prada Ardan pun mengikuti Virya. Gadia itu belum sadar jika ia diikuti oleh sosok tentara, yang cukup pintar memata-matai. Memang jiwa-jiwa Pasi Intel.
Saat Virya masuk ke dalam ruangan. Prada Ardan hanya bisa mengintipnya dari celah jendela yang tak mungkin terlihat. Ia sudah memperkirakannya baik-baik.
"Erlang.." desis Prada Ardan sambil mengepalkan kedua tangannya.
Ia pun langsung meninggalkan rumah sakit. Dengan perasaan amarah dan tidak suka. Prada Ardan merasa jika Virya lebih mementingkan Erlang. Hingga Virya sangat tertutup dan tidak mau membuka cerita tentang hal ini.
Keesokan harinya, Virya pulang kuliah tidak terlalu siang. Gadis itu hanya pulang sebentar untuk berpamitan pada ibunya.
"Kamu nggak makan dulu, Nduk?" Virya menggelengkan kepalanya.
"Tadi pagi kamu nggak sarapan. Terus siang ini, disuruh makan nggak mau makan. Sebenarnya makananmu itu apa sih, Nduk!? Kemenyan!?" Omelan ibu hanya mendapat ringisan dari Virya.
"Virya mau keluar sama Ardan, Bu. Makan bersama. Kemarin kan batal makan bersama," jawab Virya lalu mencium tangan sang ibu. Kemudian, meninggalkan rumah.
Ya, gadis itu hendak pergi menemui Prada Ardan karena semalam lelaki itu tidak membalas satu pun pesan Virya. Padahal lelaki itu membaca pesan Virya. Selain itu, juga karena ia ingin makan bersama dengan lelaki yang dicintainya itu. Hitung-hitung menebus kesalahannya yang membatalkan makan malam kemarin.
Seperti biasa, berjalan kaki ke rumah Prada Ardan. Lalu, masuk ke rumah dengan sambutan bunda sang prada.
"Yayangmu ada di kamar, Nduk!" Teriak bunda membuat Virya melotot. Bisa-bisanya bunda berteriak menyebut Prada Ardan sedemikian.
Virya malu sekali, sudah dapat dipastikan lelaki itu mendengar teriakan menggema bunda.
"Enak ya.. main game terus!"
"Jangan-jangan pesanku semalam terabaikan karena game online tembak-tembakan itu ya!?" Virya berdiri di samping kasur sambil berkacak pinggang. Sedangkan, Prada Ardan tampak mengacuhkan Virya. Lelaki itu tetap fokus pada HP miringnya.
Virya yang kesal karena tidak digubris pun meraih ponsel Prada Ardan. "APA-APAAN SIH LO!!?"
Lo!?
Sejak kapan lelaki itu menggunakan logat 'lo-loe'an.
Virya terkekeh, "kamu itu nggak pantes bicara lo-gue-"
"BALIKIN HP GUE!!" bentak Prada Ardan. Virya mematung ditempatnya berdiri. Ponsel ditangannya pun direbut paksa dengan kasar oleh Prada Ardan.
Virya merasa lelaki itu tidak seperti biasanya. Ia cenderung menyimpan amarah di matanya tersirat tatapan tidak sukanya dengan Virya.
Prada Ardan kembali duduk di kasur dengan HP miringnya. Terbuai oleh game tembak-tembakannya.
Virya pun ikut mendudukkan dirinya di pinggir kasur Prada Ardan. Menatap lelaki itu, "kamu kenapa? Aku salah apa?" Tanya Virya pelan.
Satu menit berlalu, yang terdengar hanya suara game tembak-tembakan yang sedang dimainkan Prada Ardan. Virya merasa lelaki ini benar-benar sedang marah padanya. Kemarahannya pun tidak seperti biasanya.
"Ardan..." Virya menarik kecil lengan kaos pendek yang Prada Ardan kenakan saat ini. Namun, dengan kasar lelaki itu menepis tangan kecil Virya.
"Kamu kenapa sih!? Kalau marah ya bilang, salah aku apa? Jangan diam seperti ini! Kalau diam, memangnya aku akan tahu salahku!?" Virya sudah tak bisa lagi menahan kekesalannya.
Prada Ardan masih tetap mengabaikan gadis itu.
Akhirnya Virya memutuskan untuk berdiri dan menyambar tas kecil yang ia bawa, "aku nyesel nggak makan dari tadi pagi, cuma buat ngajak kamu makan bareng. Maaf karena kemarin." Permintaan maaf Virya tertuju pada masalah kemarin. Ketika gadis itu membatalkan acara makan malam setelah menonton bioskop.
"Aku tahu aku salah." Virya melangkahkan kakinya menuju pintu kamar lelaki itu.
"Erlang sakit apa?" Pergerakan Virya yang hendak membuka handle pintu terhenti seketika. Tubuhnya menegang. Prada Ardan tahu jika kemarin ia menemani Serda Erlang.
Virya membalikkan badannya. Menatap Prada Ardan. Lelaki itu menampilkan wajah sangat dingin dan datar. Ponselnya sudah teronggok di kasur.
"Kamu ngikutin aku?" Virya malah bertanya balik.
Prada Ardan mengukir senyum sinis, "kenapa? Nggak suka kalau acara pacaranmu di rumah sakit itu aku ganggu? Tenang aja.. aku masih ber-otak, jadi-"
PLAK!
Gerakan cepat Virya menampar Prada Ardan pun tak dapat lelaki itu hindari. Dengan mata berkaca-kaca, Virya menatap Prada Ardan. "Jika tidak tahu yang sebenarnya. Lebih baik tutup mulut."
Virya pun keluar kamar Prada Ardan, menutup keras pintu itu. Menyisakan Prada Ardan yang memegang pipinya, "belajar dari mana dia? Pintar banget nampar orang."
Terhitung sudah lima jam sejak kepulangan Virya ke rumah. Tetapi, gadis itu tak kunjung keluar kamar. Ibu berkali-kali menggedor-gedor pintu kamarnya. Namun, tak ada jawaban sama sekali.
Ibu pun memutuskan untuk melapor pada Prada Ardan. Lelaki itu sangat terkejut. Ternyata, ucapannya sangat berdampak bagi Virya. Dengan berlari cepat ia pun menuju rumah sahabat perempuannya itu.
"Gimana ini, Le?" Ibu panik.
Prada Ardan pun mencoba mengetuk pintu. Mulai dari meminta maaf hingga menasihati Virya. Tetapi tak kunjung ada sahutan dari orang di dalamnya.
"Bu, Ardan dobrak boleh?" Ibu sempat berpikir dan ragu. Lalu, wanita paruh baya itu mengangguk.
Brakk!!
Mata Prada Ardan langsung tertuju pada seorang gadis yang berbaring tengkurap di kasurnya. Gadis itu tampak terkejut dan mengubah posisinya menjadi duduk. Mengusap air mata yang meluruh di pipinya.
"Kamu ini kenapa toh, Nduk!?" Tanya ibu dengan nada tinggi.
Ibu berdiri di depan Virya, sembari memegangi dadanya ibu berkata, "Jantung ibu ini hloo, mau merosot! Kalau ada masalah mbok ya dibicarakan baik-baik! Nggak usah kekanakan seperti ini!"
Virya semakin menangis tersedu. Ia tak peduli dengan kehadiran Prada Ardan.
Tak tinggal diam, Prada Ardan pun menuntun sang ibu untuk keluar dari kamar Virya. Mendudukkan sang ibu di kursi meja makan dapur. Memberikan segelas air putih, "minum dulu, Bu.."
"Virya belum makan dari tadi pagi. Kalau mau ke kamarnya, bawakan nasi sama lauknya," pesan ibu sebelum berjalan ke kamarnya. Prada Ardan pun mengambil piring dan mengisinya dengan makanan lengkap lauk-pauknya.
Masuk kembali ke kamar Virya tanpa permisi, mendudukkan dirinya di samping Virya. Diamatinya bibir gadis itu terlihat pucat.
"Makan." Dingin dan penuh dengan penekanan.
Virya masih tetap fokus pada ponselnya. Ia masih kesal dengan sikap Prada Ardan dan ucapannya yang sok tahu itu.
Prada Ardan pun merampas kasar ponsel Virya. Usai dirampas ponselnya, Virya malah menyalakan laltop. Ia masih belum menganggap keberadaan Prada Ardan.
Hendak memutar Drama Korea, namun Prada Ardan lebih dulu menutup laptop itu.
"Apa sih!?" Kali ini Virya bersuara.
"Makan!! Kalau mau mati, pakai cara yang lebih elite, jelek.." Prada Ardan mengangkat sendok, mencoba menyuapi Virya.
"A!" Mendengar bentakan itu tidak membuat nyali Virya menciut, karena kekesalannya lebih mendominasi dan menguasai dirinya.
Virya menggeleng.
"Vir!?"
Virya tetap menggeleng.
Prada Ardan pun langsung meletakkan dengan kasar piring itu di nakas samping tempat tidur Virya. Virya meliriknya sekilas. Prada Ardan mengambil ponsel Virya. Membawa ponsel itu keluar kamar. Tak peduli dengan teriakan Virya.
Virya mengejar Prada Ardan. Matanya menangkap sosok lelaki itu tengah berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang. Sedangkan, tangan satunya ia gunakan untuk menempelkan ponsel milik Virya di telinga, "Ihh, telepon siapa sih!?" Teriak Virya lalu menyahut paksa benda pipih itu.
Ditatapnya ponsel, "ngapain hubungin Bang Erlang!?
"Halo? Vir.."
***