"Wah! Wajahnya berseri banget, abis ketemuan sama pria lain ya?" tanya Abraham tiba-tiba ketika Emma baru saja masuk ke dalam rumah dengan kedua tangan nya menjinjing belanjaan yang habis di beli nya di minimarket. Saat ini Abraham sedang menonton tv dengan secangkir kopi hangat yang di buat sendiri oleh nya, tidak lupa kaki nya pun di angkat ke atas meja. Duduk dengan santai. Duduk dengan seolah-olah dia adalah bos besar. Seolah-olah dia adalah penguasa.
"Ganteng ya pria nya? Pasti orang kaya. Ya jelaslah, bawa nya mobil. Dompet nya juga pasti tebal," ucap Abraham dengan mata nya masih menatap layar tv yang hidup itu.
"Apaan sih bang? Tidak jelas sekali aku ini bicara nya," ucap Emma sambil mengerutkan kening nya menatap Abraham.
"Pasti belanjaan yang kau bawa itu dibayarin sama pria kaya itu kan?" tuduh Abraham. Emma yang sedang berjalan ingin pergi ke dapur pun langsung menghentikan langkah nya.
"Pria kaya yang mana?? Kau ini bicara tapi tidak jelas apa yang kau bicarakan," ucap Emma yang masih sabar atas tuduhan-tuduhan tidak masuk akal yang di lontarkan oleh Abraham.
"Ya pria yang kau temui di minimarket itulah, memang pria mana lagi hah? Kau ini gaya nya udah seperti orang yang suci aja, tapi kelakuan nya selingkuh, kelakuan rendahan sekali," ucap Abraham sambil menatap Emma remeh.
"Selingkuh apa sih? Hah? Eh bang! saya ini selama menjadi istri kau, apa pernah saya berhubungan dengan pria lain? Apa pernah saya ketemuan dengan pria lain tanpa ijin dari kau? Pernah tidak? Tidak pernah kan? Jadi, kalau bicara itu di pikir-pikir dulu. Jangan asal fitnah aja," ucap Emma.
"Lah saya bukan fitnah loh, saya sendiri yang liat kau berjabat tangan dengan pria lain di dalam mobil sedangkan kau berada di luar mobil nya, mana dua-duanya saling menatap sambil tersenyum lagi, haduhh! Udah seperti orang lagi kasmaran aja," ucap Abraham dengan masih tidak melihat Emma yang sedang berdiri di samping kursi dengan kedua tangan nya masih menjinjing belanjaan.
"Kau ini ya bang, kalau juabtak tau cerita nya lebih baik kau diam saja, daripada omongan tidak jelas yang kau lontarkan tadi itu terdengar oleh Aruna, anak kita. Lebih baik kau diam jika tidak tau apa-apa," ucap Emma menahan emosi nya.
"Waw! Sekarang sudah berani lagi menyuruh suami nya ini untuk diam. Untuk tidak membuka mulut. Pangkat kau apa? Sampai-sampai kau menyuruh saya untuk diam hah?! Kau itu harus nya malu Emma!" ucap Abraham. Kening Emma pun mengernyit.
"Malu? Maksud kau saya harus malu? Malu untuk apa? Saya ada buat salah? Kelakuan saya ada yang tidak benar? Coba kau bilang ke saya, kenapa saya harus malu?" tanya Emma menantang Abraham.
"Kau itu sudah selingkuh!!! Kau masih tidak sadar juga hah?!! Kelakuan rendahan mau itu yang harus nya kau malu berhadapan dengan saya," ucap Abraham sambil menunjuk-nunjuk wajah Emma dengan jari telunjuk nya itu.
"Mana?! Mana saya selingkuh?! Tadi itu saya menolong orang itu. Saya membantu menemukan kartu nya yang hilang di dalam minimarket tadi," ucap Emma menjelaskan kejadian di minimarket tadi ke Abraham.
"Halah! Alasan aja kau itu," ucap Abraham yang tidak percaya dengan penjelasan Emma. Emma menghela napas nya kasar.
"Terserah kau saja, saya tidak peduli mau kau percaya dengan saya atau tidak. Yang penting saya tidak melakukan perbuatan yang kau ucapkan itu. Saya juga masih waras, ngapain juga saya selingkuh. Urusan saya masih banyak. Urusan saya yang harus membesarkan anak saya agar Aruna itu bisa menjadi orang sukses. Ngurusin kau aja udah susah bang, apalagi saya harus selingkuh," ucap Emma.
"Oh jadi kau itu merasa saya ini hidup nya membebani hidup kau? Gitu?" tanya Abraham yang salah paham dengan ucapan Emma barusan.
"Apa sih bang? Kau ini semua nya di permasalahkan. Sudahlah jangan cari ribut terus. Capek saya ladeni kau itu, tidak ada gunanya ribut sama kau itu," ucap Emma yang sudah sangat jengah dengan sikap suami nya itu yang tidak jelas.
"Lah yang cari ribut itukan kau, bukan saya," ucap Abraham yang masih tidak mau mengalah. Tiba-tiba pintu rumah pun terbuka. Dan di sana sudah ada Aruna yang berdiri dengan menjinjing sepatu sekolah nya dengan wajah nya juga yang sudah lelah. Aruna mendongak, menatap bingung ayah dan ibu nya.
---
Aruna
"Eh sayang sudah pulang nak," ucap ibu sambil menghampiri diri ku dengan tangan nya yang masih menjinjing kantong plastik, entah apa itu isinya. Aku tersenyum ke arah ibu.
"Iya Bu," jawab ku sambil menaruh sepatu sekolah ku ke rak sepatu.
"Ibu itu bawa apa?" tanya ku sambil menatap plastik yang di pegang oleh ibu.
"Oh ini, ibu tadi abis ke minimarket. Oh iya ibu tadi beli parfum untuk kau loh, ayo ikut ibu dulu yuk," ajak ibu kepada ku.
"Iya ibu, nanti aku nyusul. Aku mau ganti baju dulu ke kamar," ucap ku. Lalu, aku pun berjalan pergi menuju kamar ku. Aku membuka baju seragam ku dan aku langsung mengganti dengan baju rumahan ku. Karena, ponsel ku tadi baterai nya habis, jadi aku mencharge ponsel ku terlebih dahulu. Setelah itu aku berjalan keluar menuju dapur, mungkin ibu ada di sana. Aku melewati ayah yang masih menonton tv. Tumben sekali, ayah berada di rumah jam segini. Biasanya kan ayah selalu pergi keluar. Ketika aku berjalan melewati ayah. Ayah pun memanggil ku.
"Aruna," panggil ayah kepada ku. Aku menolehkan kepala ku menatap ke arah yang sedang duduk santai di atas kursi. Tak sengaja aku pun melihat di atas meja yang sangat berantakan. Bungkus roti dimana-mana, piring yang masih terisi satu pisang goreng, dengan gelas yang sebelumnya sepertinya diisi kopi bekas ayah.
"Iya ayah," jawab ku.
"Ini bawakan ke dapur sana, bereskan semuanya yang ada di atas meja ini," suruh ayah sambil mendorong pelan piring yang terisi satu pisang goreng itu dengan kaki nya yang selonjoran di atas meja. Aku pun dengan segera menuruti perintah nya itu kalau aku tidak menurutinya tentu saja ayah akan marah kepada ku dan pasti nya membentak-bentak diri ku.
"Ini pisang goreng nya ayah tinggal satu, ayah tidak mau habiskan?" tanya ku sebelum aku membawa piring dan gelas bekas ayah ke dapur.
"Kau habiskan saja pisang goreng sisaan saya itu, saya udah kenyang," ucap ayah sambil mengambil remot nya yang berada di samping ayah duduk. Lalu, ayah memencet tombol berwarna merah di remot itu untuk mematikan tv.
"Oh iya, itu jangan lupa di lap lantai nya, tadi kopi saya tumpah," ucap ayah. Aku menghela napas ku.
"Iya ayah," ucap ku tanpa menatap wajah nya. Setelah itu, aku langsung membawa piring, gelas, dan bungkus-bungkus bekas roti yang ayah makan ke dapur. Aku melihat ibu yang sedang memotong-motong sayuran untuk di masak oleh nya. Ibu menoleh ke arah ku.
"Taruh di sana saja Aruna, nanti biar ibu yang cuci. Memang kerjaan ayah kau menyusahkan orang saja," ucap ibu sedikit kesal. Aku tidak merespon ucapan ibu. Aku berjalan untuk mengambil kain pel.
"Mau apa Aruna? Ada yang tumpah emang?" tanya ibu.
"Itu aku mau ngelap lantai, kata ayah tadi kopi nya ada yang tumpah," jawab ku.
"Ck! Gimana sih ayah kau itu Aruna, kalau udah tumpah harus nya langsung dia elap bukannya malah menyuruh kau mengelap nya, capek ibu liat ayah kau itu Aruna. Daritadi duduk-duduk santai di kursi, kalau ayah kau mengerti harusnya ayah kau mengantar ibu ke minimarket, ini tidak. Malah dia tidak mau tau urusan ibu," ucap ibu.
"Ya... Ibu tau sendiri ayah kan, bu, dia kan memang seperti itu, tidak mau membantu keluarga dan hanya mementing dirinya sendiri aja. Jadi, ya mau gimana lagi, memang sikap ayah mungkin dari sananya juga begitu," ucap ku yang bingung ingin merespon seperti apa.
"Iya ibu tau, ya harusnya dia itu mikir lah, udah tau anak nya capek, anak nya ini abis pulang dari sekolah, tentunya anak nya ini capek. Tapi, ayah kau tidak mikir seperti itu, malah ayah kau enak sekali nyuruh anak nya ini itu segala macem," ucap ibu.
"Iyaudah ibu, aku tidak apa-apa. Yaudah aku mau ngelap dulu ya," ucap ku yang tidak ingin mendengar ibu mengoceh-ngoceh panjang lebar lagi. Jadi, aku segera pergi dari hadapan ibu. Ketika aku sudah berada di ruang tv, aku tidak menemukan ayah duduk di sana lagi. Entah, kemana ayah pergi. Aku pun segera mengelap bekas tumpahan kopi ayah di lantai. Ketika aku sedang mengelap lantai, aku melihat ayah yang keluar dari kamar nya dengan sudah berpakaian rapih, dengan menggunakan jaket nya.
"Ayah, mau pergi kemana?" tanya ku kepada ayah ketika ayah melewati diri ku tanpa menyapa aku. Ayah hanya melirik diri ku saja.
"Mau pergi, malas di rumah. Ibu kau itu ngoceh-ngoceh tidak jelas. Sakit kuping dan kepala saya mendengar ocehan ibu kau itu," jawab ayah. Namun, tidak disangka ternyata ibu tiba-tiba keluar dari dapur. Dan tidak sengaja pula ibu mendengar jawaban ayah yang jelas saja itu membuat darah ibu kembali mendidih. Karena, sebelumnya ibu sudah sangat kesal dengan ayah.
"Apa?!!! Apa kau bilang?!! Kau ini ya, tidak tau diri sekali. Orang itu mikir dong, Saya juga capek liat kau di rumah, enak-enakan duduk santai terus tidur-tiduran. Tidak peduli tuh mau di dapur ada makanan atau tidak, tidak peduli saya lagi ada uang atau tidak, taunya kau itu minta terus sama saya," ucap ibu marah dengan ayah.
"Coba sih mulut kau itu diam, tidak usah banyak omong, terserah saya mau melakukan apa di rumah ini. Tidak usah ikut campurlah, pusing saya dengar kau itu," ucap ayah. Aku hanya melihat mereka yang berdebat saja.
"Sudahlah saya mau pergi aja, mau nyari ketenangan di luar," ucap ayah sambil berjalan menuju pintu rumah.
"Pergi aja sana kau, tidak usah kembali juga tidak apa-apa, terserah kau!!" teriak ibu ketika ayah sudah berada di luar rumah. Kemudian, tidak lama terdengar suara mesin motor yang di hidupkan.
"Ibu sudahlah, kenapa ibu malah membalas perkataan ayah. Kan ayah jadi ngomong yang tidak enak kan untuk ibu," ucap ku kepada ibu yang menatap keluar jendela, melihat ayah pergi dengan motor nya.
"Biarin, biar dia itu ngerti. Gimana susah nya ibu selama di rumah ini. Gimana susah nya ibu mikir keras agar di keluarga ini bisa makan setiap hari! Dia! Ayah kau itu Aruna, tidak pernah mikir perasaan ibu bagaimana," ucap ibu. Aku hanya menundukkan kepala ku. Aku paham perasaan ibu bagaimana. Aku pernah berpikir, jika ibu tidak bahagia hidup dengan ayah, kenapa ibu dan ayah tidak bercerai saja? Kenapa hubungan ibu dan ayah masih berlanjut? Aku kasihan melihat ibu yang tersiksa hidup dengan ayah. Lalu, tiba-tiba ibu langsung pergi, melangkahkan kakinya menuju kamar nya. Dan terdengar pula suara kunci yang diputar dari kamar ibu. Aku hanya menatap pintu kamar ibu dengan nanar.
"Ya Tuhan, kenapa sih hidup keluarga ku ini tidak pernah merasakan bahagia? Terkadang aku iri dengan hidup teman-teman ku, iri dengan hidup Duma, iri dengan hidup semua orang yang di sekeliling ku ini. Tuhan, aku ingin hidup ibu itu bahagia tuhan, aku ingin melihat senyuman ibu. Senyuman yang benar-benar itu senyuman tulus nya, angkatlah semua beban yang ada di keluarga ini Tuhan, ringankan lah. Aku kasihan dengan ibu tuhan, dia selalu bekerja keras, dengan keringat yang bercucuran demi untuk mencari uang, untuk membuat hidup keluarga ini itu berkecukupan. Tapi, kenapa Tuhan kau memberikan suami yang memiliki sifat yang tidak baik kepada ibu?" ucap ku. Tidak terasa air mata ku pun menetes. Namun, tiba-tiba pintu kamar ibu pun terbuka.
"Aruna," panggil ibu. Aku yang di panggil pun buru-buru menghapus air mata yang menetes di pipi ku agar tidak ketahuan dengan ibu kalau aku menangis.
"Iya Bu?" jawab ku sambil membalikkan badan ku ke arah ibu yang masih berdiri di ambang pintu kamar nya.
"Ibu lupa tadi ibu belikan kau parfum, nanti kau ambil saja di plastik yang ada di atas meja makan itu ya nak, ibu mau mandi dulu, habis itu ibu mau masak untuk makan malam," ucap ibu.
"Iya Bu, terimakasih sudah membelikan aku parfum,"
"Sama-sama sayang," ucap ibu. Lalu, ibu pun menutup kembali pintu kamar nya. Aku pun pergi ke dapur untuk mengambil parfum yang telah di belikan oleh ibu.
[]