"Aku pulang duluan ya Aruna," ucap Duma setelah kami sampai di depan gerbang sekolah.
"Iya, hati-hati ya," ucap ku sambil melambaikan tangan ku ke arah nya. Lalu, Duma pun berjalan ke pinggir jalan untuk menyebrang. Kepala nya menengok ke kanan dan ke kiri untuk melihat situasi. Ketika jalanan sudah sepi, Duma pun langsung saja menyebrang jalanan dengan berlari kecil. Setelah itu, Duma pun membuka pintu mobil nya dan masuk ke dalam mobil. Karena, kebetulan kaca pintu mobil nya terbuka dan ayah Aruna yang berada di dalam mobil juga kebetulan menolehkan kepala nya melihat ke arah ku. Ayah Duma pun tersenyum melihat ku. Aku pun membalas senyuman ayah Duma. Kemudian, ayah Duma pun menekan pedal gas mobil nya agar mobil tersebut segera berjalan.
Aku melihat jam di pergelangan tangan ku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Sekolahan pun sekarang sudah sedikit sepi, karena murid-murid lain sudah pada pulang dengan di jemput oleh orang tua nya atau pun dengan membawa kendaraan nya sendiri. Aku pun harus segera pulang ke rumah. Ketika aku ingin menyebrangi jalan, tiba-tiba datang seorang anak kecil laki-laki yang masih berumur sekitar 7 atau 8 tahun ke arah ku dengan pakaian yang sudah sangat lusuh, muka nya yang kotor dengan ekspresi wajah yang sedih dan letih, tidak lupa dengan kedua tangan nya memegang sebuah mangkok dengan berisikan uang-uang logam dan uang kertas yang tidak banyak jumlah nya. Dan anak tersebut pun dengan langsung menyodorkan mangkok yang ia pegang ke hadapan ku dengan wajah yang menunduk.
"Kak ... Saya lapar ...." ucap anak tersebut dengan sambil memegang perut nya. Aku kasihan melihat anak kecil itu. Lantas, tanpa membuang waktu aku pun bertanya dengan anak kecil tersebut.
"Iya adik kecil, kamu belum makan? Kalau gitu mau makan bareng sama kakak aja tidak?" tanya ku kepada anak kecil itu. Namun, bukan nya anak kecil itu menyetujui ajakan ku, malahan ia menggelengkan kepala nya dengan kuat. Tanda menolak keras ajakan dari ku.
"Tidak usah kak, kalau boleh kakak berikan aku sedikit uang saja kak," ucap nya. Tapi, aku merasa bahwa anak kecil ini seperti sedang ketakutan.
"Loh? Kenapa? Malahan enak loh kalau kau ikut dengan kakak. Kau akan makan dengan puas, kakak janji deh bakalan beliin apa aja buat kau," ucap ku yang masih tetap mengajak nya untuk makan bersama.
"Tidak usah kak, kalau gitu aku pergi ya kak," ucap nya yang terburu-buru ingin pergi dari hadapan ku. Tapi, ketika anak kecil itu baru melangkahkan kaki nya sebanyak 2 langkah. Aku pun menarik tangan nya dan aku langsung merogoh saku baju seragam ku untuk mengambil uang selembar dua puluh ribuan. Aku langsung menaruh uang ku itu di mangkok yang di pegang oleh tangan anak kecil itu.
"Terimakasih," ucap anak kecil itu dengan suara yang kecil. Lalu, anak kecil itu pun langsung pergi dengan jalan terburu-buru. Aku terus menatap langkah anak kecil itu. Sampai ketika, ia bertemu dengan seorang laki-laki dewasa dengan pakaian serba hitam dan tampang yang seperti preman. Laki-laki dewasa itu pun langsung menarik anak kecil itu untuk mengikuti langkah pria dewasa tersebut. Ketika aku ingin mengejar anak kecil dan pria dewasa itu, tapi tiba-tiba bus pun berhenti di depan halte. Karena, itu bus terakhir yang akan lewat. Aku pun terpaksa tidak jadi untuk mengikuti anak kecil dan pria dewasa itu. Aku langsung menyebrang jalan dan melangkah cepat untuk bis naik ke bus tersebut. Karena, sekarang adalah jam pulang orang-orang kerja, tentu saja di dalam bus sangat ramai sekali, sampai-sampai rasanya untuk berdiri di dalam bus itu saja sesak sekali.
"Aduh mba, geser sedikit dong. Ini kasian anak saya kejepit," ucap seorang ibu-ibu yang menggendong anak nya yang masih balita. Aku pun menggeserkan sedikit tubuh ku agar anak ibu itu pun tidak terjepit. Karena, bus sore ini penumpang nya sangat ramai sekali.
---
Bus pun akhirnya berhenti di halte depan gang rumah ku. Aku pun segera turun dari bus tersebut. Sungguh rasanya aku perlu menghirup udara segar. Di dalam bus itu macam-macam bau sudah menjadi satu sepertinya. Setelah aku turun dari bus, aku pun menyebrangi jalan untuk bisa sampai di gang rumah ku. Ngomong-ngomong aku masih kepikiran tentang anak kecil tadi yang menghampiri ku di sekolah. Apa iya anak kecil itu bekerja untuk pria dewasa yang menarik anak kecil itu? Memang, banyak sekali di sini anak-anak yang di suruh kerja menjadi seorang pengemis oleh para preman-preman di jalanan. Aku terus saja berpikir tentang anak kecil tadi sambil berjalan. Tidak kusangka ada sebuah motor yang berjalan ke arah ku dan membunyikan klakson motor nya. Aku yang berjalan sambil memikirkan anak kecil tadi itu pun terkejut, karena mendengar suara bunyi klakson motor itu yang tiba-tiba. Aku pun melihat siapa yang membunyikan klakson motor itu. Ternyata itu ayah. Namun, bukannya ayah memberhentikan motornya di dekat ku, malah ayah tetap melajukan motor nya itu keluar dari gang dengan membonceng seorang bapak-bapak di belakang nya. Aku tak tau itu siapa, karena aku pun tak melihat wajah bapak-bapak itu. Mau kemana mereka? Aku pun melanjutkan kembali langkah ku menuju ke rumah. Ketika di jalan pula, Bu Ajeng pun memanggil ku.
"Aruna!" aku pun menoleh ke belakang. Aku tersenyum melihat Bu Ajeng yang berjalan ke arah ku. Karena, terlihat sekali Bu Ajeng yang sedikit kesusahan membawa barang-barang yang ia pegang. Pun aku berinisiatif membantu Bu Ajeng.
"Sini Bu, Aruna bantuin," ucap ku sambil mengambil alih dua kantong plastik yang di pegang oleh Bu Ajeng. Aku berpikir mungkin Bu Ajeng habis belanja bulanan, makanya banyak sekali belanjaan yang Bu Ajeng beli. Aku melihat Bu Ajeng ini seperti ada sosok ibu ku di dalam diri Bu Ajeng. Bu Ajeng adalah sosok tetangga yang mungkin saja di impikan oleh setiap orang. Bu Ajeng adalah orang yang baik. Ia tidak pernah ikut campur sama masalah kehidupan orang lain, tidak seperti tetangga-tetangga lain nya yang sedikit-sedikit di komentarin, apa-apa mau tau urusan orang. Makanya, aku dan ibu ku ini senang sekali memiliki tetangga seperti Bu Ajeng. Bahkan, Bu Ajeng sudah ku anggap seperti ibu ku sendiri.
"Aruna baru pulang nak? Sama siapa pulang nya?" tanya Bu Ajeng yang berjalan di samping ku.
"Iya Bu, naik bus tadi pulang nya," jawab ku. "Bu Ajeng sendirian aja?" tanya ku basa basi.
"Yaiya lah Aruna, memang siapa lagi yang mau nemenin ibu. Anak aja ibu tidak punya, lalu suami ibu juga kerja terus pulang nya sore kadang malam karena lembur di kantor," ucap Bu Ajeng. Aku tersenyum mendengar jawaban nya. Sebenarnya aku kasiha sama Bu Ajeng. Pasti, jika di rumah Bu Ajeng sendirian mungkin saja Bu Ajeng kesepian. Tidak ada yang menemani, tidak ada yang mengajak ngobrol. Walaupun Bu Ajeng memilikinya suami yang sangat sayang sekali dengan Bu Ajeng, tapi kan suami Bu Ajeng juga sibuk bekerja di kantor. Andaikan Bu Ajeng memiliki anak pasti Bu Ajeng sangat senang sekali. Tapi, sayangnya sampai saat ini Bu Ajeng belum dikaruniai anak oleh tuhan. Tapi, yang aku sangat kagum dengan Bu Ajeng ini, Bu Ajeng tidak pernah menunjukkan kesedihan nya kepada siapapun. Bu Ajeng tetap menjadi orang yang ceria.
"Kapan-kapan Bu Ajeng bisa kok ngajak aku ke pasar, kalau aku sedang libur sekolah," ucap ku. Bu Ajeng pun menolehkan kepala nya ke arah ku. Menatap ku dengan tersenyum lebar. Lalu, Bu Ajeng pun mengelus lembut rambut ku dengan sebelah tangan nya yang kosong.
"Kau memang anak yang baik Aruna, semoga ibu bisa mendapatkan anak seperti kau nak. Beruntung sekali Emma memiliki anak yang baik, berbakti sama orang tua seperti kau. Benar-benar didikan Emma ini sangat bagus sekali," ucap Bu Ajeng.
"Aku juga beruntung punya tetangga seperti Bu Ajeng hehehe," ucap ku sambil menyengir ke arah nya. Tidak terasa aku dan Bu Ajeng pun sudah sampai di halaman rumah Bu Ajeng.
"Sebentar, ibu buka kunci pintu rumah nya dulu ya," ucap Bu Ajeng. Karena, tangan ku pegal juga sedari tadi membawa belanjaan Bu Ajeng yang cukup banyak ini, akhirnya aku pun menaruh sebentar ke lantai halaman rumah Bu Ajeng sambil menunggu Bu Ajeng membuka pintu rumah nya.
"Pegal ya Aruna?" aku yang sedang bersandar di dinding rumah Bu Ajeng pun langsung menegakkan tubuh ku kembali.
"Eh? Tidak kok Bu, aku udah biasa bawa belanjaan banyak gini," ucap ku. Setelah pintu rumah Bu Ajeng terbuka. Aku pun dengan segera mengambil kembali belanjaan yang aku taruh tadi di lantai. Lalu, aku pun mengikuti langkah Bu Ajeng yang masuk ke dalam rumah nya. Kami berjalan menuju ke dapur. Setelah sampai di dapur, aku pun langsung menaruh semua barang belanjaan Bu Ajeng yang aku bawa di meja makan. Sepi. Rumah ini terasa sekali sepi nya.
"Aruna, bentar ya ibu mau ke kamar dulu. Kau tunggu di sini saja ya," aku pun hanya mengangguk. Aku menaruh tas sekolah ku di atas meja juga, setelah itu aku menarik salah satu kursi di meja makan itu. Kemudian, aku pun menduduki kursi tersebut. Aku membuka ponsel ku. Mengecek aplikasi w******p yang terinstall di ponsel ku. Tidak ada apa-apa. Ibu juga tidak memberikan pesan kepada ku. Lalu, aku pun langsung keluar dari aplikasi w******p tersebut. Tidak lama, Bu Ajeng pun kembali ke dapur dengan pakaian nya yang sudah di ganti dengan baju daster dengan ukiran batik. Bu Ajeng pun langsung membuka kantong plastik belanjaan nya dan mengeluarkan semua isi yang di dalam kantong plastik belanjaan nya tersebut.
"Aruna udah makan belum? Kalau belum makan di rumah Bu Ajeng aja. Tadi, di pasar Bu Ajeng beli banyak makanan," tanya Bu Ajeng kepada ku.
"Belum Bu, mungkin nanti di rumah saja makan bareng ibu," jawab ku.
"Emma meman nya udah pulang Aruna?" tanya nya lagi.
"Tidak tau sih Bu, cuman kalo misalkan ibu pulang malem, pasti ibu chat Aruna," jawab ku. Bu Ajeng pun hanya mengangguk saja. Kemudian, Bu Ajeng melangkah ke arah rak piring mengambil sebuah piring dan kembali lagi ke meja makan. Lalu, Bu Ajeng menuangkan makanan yang ia beli di pasar tadi.
"Ini Bu Ajeng ada beli makanan tadi, di makan Aruna. Bu Ajeng mau masak buat makan malam dulu ya, takutnya suami ibu pulang terus ibu belum masak apa-apa lagi," ujar Bu Ajeng. Aku pun mengambil makanan yang berada di atas piring yang sudah di siapkan oelh Bu Ajeng tadi.
"Oh iya ngomong-ngomong, tadi Bu Ajeng ketemu ayah kau di depan gang bawa motor. Mau kemana emang Aruna?" tanya Bu Ajeng sambil tangan nya memotong wortel di talenan.
"Aruna juga tidak tau Bu, tadi juga ketemu sama Aruna, tapi ayah tidak ngomong apa-apa, langsung pergi aja gitu," jawab ku.
"Oh gitu, ayah masih sering main gitu ya Aruna?" tanya Bu Ajeng. Aku yang paham maksud Bu Ajeng pun langsung menjawab, "iya Bu, aku sama ibu juga capek ngingetin ayah buat berhenti main judi itu," ucap ku.
"Sabar ya Aruna, itu namanya ujian buat Aruna sama ibu Aruna, tuhan mau tau batas kesabaran kalian itu sampai mana. Jadi, tuhan menguji Aruna dan ibu Aruna lewat ayah Aruna gitu," ucap Bu Ajeng.
"Iya Bu, Aruna paham kok," setelah ku menjawab ucapan Bu Ajeng, tiba-tiba saja ponsel ku berbunyi. Aku pun langsung mengecek notif yang munc di ponsel ku. Ternyata itu ibu. Ibu menanyakan aku ada dimana. Aku pun langsung saja menjawab, bahwa aku berada di rumah Bu Ajeng. Karena, ibu sudah berada di rumah. Aku pun berniat untuk pamit kepada Bu Ajeng untuk segera pulang, karena ibu menunggu ku di rumah.
"Bu Ajeng, Aruna pamit pulang ya. Ibu udah pulang kerja, tadi ibu mengirim pesan ke Aruna soalnya," ucap ku sambil berdiri dari tempat ku duduk.
"Oh udah pulang? Yaudah, terimakasih ya Aruna udah bantuin Bu Ajeng," ucap Bu Ajeng tersenyum.
"Iya, sama-sama Bu, Aruna pamit ya Bu,"
"Iya Aruna. Oh iya Aruna tunggu bentar," ucap Bu Ajeng sambil berjalan terburu-buru mengambil sesuatu yang berada di dalam kulkas. Bu Ajeng pun mengeluarkan sebuah Tupperware yang entah isinya apa.
"Ini Aruna bawa buat ibu Aruna ya, kemarin ibu bikin kue lagi loh," ucap Bu Ajeng sambil memberikan Tupperware yang sudah di bungkus pakai kantong plastik kepada ku. Aku pun langsung saja menerima pemberian dari Bu Ajeng.
"Terimakasih banyak ya Bu Ajeng," ucap ku tersenyum. Bu Ajeng pun hanya mengangguk.
"Oh ya Aruna, nanti keluar nya sekalian tolong langsung tutup kembali pintu nya ya,"
"Oh oke Bu," aku pun langsung berjalan ke arah pintu depan. Kemudian, setelah aku berada di luar rumah Bu Ajeng, aku langsung menutup pintu rumah nya sesuai permintaan Bu Ajeng tadi. Aku pun melangkahkan kaki ku untuk kembali ke rumah.
[]