Tringg! Tringg! Tringg!
Bel masuk pun berbunyi dan tepat sekali aku menutup buku n****+ ku yang telah k*****a. Hari ini Duma tidak masuk sekolah, karena katanya dia hari ini ingin pindahan ke rumah baru nya. Dan sedari tadi juga aku hanya berdiam diri di kelas, sesekali tadi aku pergi ke toilet dan langsung ke kelas kembali. Memang seperti biasanya aku itu jarang sekali pergi ke kantin. Selain karena aku tidak memiliki teman, aku juga memang tidak suka tempat yang penuh dengan keramaian seperti kantin tersebut. Tapi, semenjak ada Duma, aku jadi sering sekali setiap istirahat tiba aku dan Duma pergi ke kantin.
Anak-anak kelas pun mulai berhamburan masuk ke dalam kelas dan segera duduk di kursi nya masing-masing. Tepat saat itu juga, guru yang mengajar biologi di kelas ku pun ikut masuk. Pun aku segera mengeluarkan buku cetak dan buku pelajaran biologi dari dalam tas ku.
"Selamat siang anak-anak," sapa pak Bagus yang sudah berdiri di dekat meja guru.
"Siang pak Bagus!!!" balas kami semua dengan kompak.
"Gimana kabar kalian siang ini? Udah pada makan siang kan di kantin? Jadi, sekarang tidak ada alasan ya untuk kalian ijin pergi ke kantin untuk makan siang," ucap pak Bagus dengan tersenyum.
"Iya pak, tadi saya udah makan banyak di kantin. Nih perut saya aja udah besar sekarang," ucap Toni yang duduk di paling belakang pojok kelas. Pak Bagus pun mengalihkan pandangan nya ke arah Toni yang sedang menepuk-nepuk pelan perut nya itu. Pak Bagus pun tertawa kecil mendengar ucapan Toni. Pun kami semua juga ikut tertawa mendengar nya.
"Apa iya Toni? Kau makan sendiri atau kau bagi-bagi dengan teman-teman kelas kau juga tidak makanan nya?" tanya pak Bagus.
"Yaahh pak, masa tidak tau sifat Toni bagaimana. Keajaiban dunia kali pak kalau Toni mau bagi-bagi makanan ke kami semua hahhaahahhaa," saut Bagas sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa mendengar nya.
"Sudah sudah teman-teman kasihan Toni tuh muka nya sudah tidak enak dilihat gitu," ucap pak Bagus yang masih saja mengejek Toni dengan bercanda.
"Ah! Si bapak ngada-ngada aja," ucap Toni. Pak Bagus pun mengambil sebuah map di meja nya dan membuka nya. Lalu, pak Bagus pun mulai mengabsen seluruh anak-anak kelas.
"Baik anak-anak sekarang buka buku cetak nya halaman tujuh puluh delapan," ucap pak Bagus. Aku pun langsung membuka halaman buku cetak yang telah di sebutkan oleh pak Bagus tadi.
"Tiwi, kenapa dengan kau? Kok sepertinya kau sedang gelisah sekali? Ada masalah?" tanya pak Bagus kepada Tiwi. Aku pun menolehkan kepala ku ke arah tiwi yang duduk di barisan kedua dari pintu masuk kelas.
"Barang saya ada yang hilang pak," lapor Tiwi dengan wajah nya yang sudah memerah seperti ingin menangis. Pak Bagus dan seluruh murid pun terkejut mendengar jawaban dari Tiwi.
"Hah? Hilang? Apa yang hilang Tiwi?" tanya pak Bagas.
"Dompet saya pak, seingat saya dompet saya itu saya taruh di dalam tas ini pak. Dan tidak saya keluarin," ucap Tiwi dengan panik.
"Coba kau cari lebih teliti lagi, siapatau nyelip di dalam tas. Atau kau lupa naruhnya mungkin?" tanya pak Bagus sambil berjalan menghampiri Tiwi. Tiwi pun dengan segera mengeluarkan semua isi barang-barang yang ia bawa di dalam tas nya ke atas meja belajar nya itu sampai-sampai aku pun melihat salah satu lipcream atau lipstik yang ia bawa itu pun jatuh ke lantai.
"Tidak ada pak, semua sudah saya periksa," ucap Tiwi yang mata nya sudah memerah ingin menangis.
"Yang ngambil coba tolong teman-teman kembalikan kepada Tiwi, kasian loh teman kalian ini. Mungkin saja di dompet nya itu banyak hal-hal penting untuk Tiwi. Yuk teman-teman, tidak apa-apa kalian mengaku sekarang saja," ucap pak Bagus sambil mengedarkan pandangan nya ke seluruh murid-murid di dalam kelas ini.
"Teman-teman ayolah, kita sudah bareng-bareng selama hampir dua tahun. Masa kalian tega sih mengambil barang yang bukan milik kalian," ucap Deni. Aku melihat Tiwi kasian. Tiwi sudah menangis di pelukan teman sebangku nya itu.
"Yaudah gini, tadi ketika istirahat kalian semua memang tidak ada yang di kelas atau ada salah satu dari kalian, kalau kalian itu selama istirahat tinggal di kelas?" tanya pak Bagus. Kemudian, semua orang pun menyorotkan pandangan nya ke arah ku. Aku pun langsung menegakkan tubuh ku. Aku takut. Kenapa mereka langsung menyoroti aku?
"Aruna pak! Dia yang sejak istirahat tidak pernah keluar kelas. Jangan-jangan dia lagi yang mengambil dompet Tiwi," ucap Toni sambil menunjuk ke arah ku. Aku pun langsung menggelengkan kepala ku.
"Tidak pak, saya tidak berani mengambil barang milik orang lain. Walaupun saya orang yang tidak mampu, saya juga masih punya harga diri pak. Saya tidak mengambil dompet Tiwi pak," ucap ku dengan sungguh-sungguh.
"Iya Aruna, bapak tau kok. Bapak kenal kau nak, bapak juga yakin mana mungkin anak berprestasi seperti kau itu mengambil atau mencuri barang orang lain," ucap pak Bagus menenangkan ku. Aku pun akhirnya merasa lega, karena pak Bagus percaya kepada ku bahwa aku memang tidak berbohong.
"Kalau gitu, saya punya saran pak. Dan ini menurut saya adalah saran yang terbaik dan semoga saran saya ini bisa menemukan dompet Tiwi yang telah hilang ini pak," ucap Deni kepada pak Bagus. Pak Bagus pun mengangguk, mempersilahkan Deni untuk mengungkapkan saran nya.
"Ya, apa saran kau Deni? Tiwi tenangkan diri kau, bapak yakin dompet kau pasti akan bertemu," ucap pak Bagus.
"Bagaimana kita periksa saja semua tas-tas murid-murid kelas ini pak. Siapatau aja dompet Tiwi bisa ketemu," saran Deni. Pak Bagus pun berpikir sebentar. Kemudian pak Bagus pun mengangguk menyetujui saran dari Deni.
"Baiklah anak-anak, kalau begitu bapak akan memeriksakan semua tas-tas kalian sekarang ya. Dan Deni tolong kau kumpulkan semua tas-tas mereka dan kau bawa ke depan sini, agar bapak bisa langsung periksa semua tas nya," ucap pak Bagus. Lantas, Deni pun dengan segera beranjak berkeliling kelas ini untuk mengambil semua tas murid-murid kelas ini.
"Anak-anak, menurut bapak sih ya, lebih baik kalian mengaku sendiri aja sih ya, malah menurut bapak itu suatu perbuatan yang perlu di acungi jempol loh, karena kalian berani untuk bisa mengakui kesalahan kalian sendiri," ucap pak Bagus ketika semua tas murid-murid kelas ini sudah terkumpul.
"Baiklah, Deni tolong kau bantu bapak untuk periksakan semua tas teman-teman kau ya nak," ucap pak Bagus meminta bantuan kepada Deni. Deni yang masih berdiri di depan dekat pak Bagus pun langsung saja berjongkok untuk segera memeriksa semua tas nya. Aku pun menundukkan kepala ku. Membuka ponsel ku untuk membalas sebuah pesan dari Duma.
"Tiwi? Ini dompet kau?" tanya pak Bagus. Aku yang mendengar bahwa dompet Tiwi sudah di temukan pun mendongakkan kepala ku untuk melihat ke depan, ke arah pak Bagus yang sedang berjongkok sambil menunjukkan sebuah dompet yang berada di tangan kanan nya itu. Tiwi yang sebelumnya berada di pelukan teman sebangku nya itu pun langsung menegakkan tubuh nya. Kemudian, Tiwi langsung berdiri, melangkahkan kaki nya menuju pak Bagus. Lalu, Tiwi pun dengan segera mengambil dompet yang berada di tangan pak Bagus tersebut.
"Iya pak, benar!! Ini dompet saya. Akhirnya dompet aku ketemu.... Terimakasih bapak dan Deni udah membantu saya untuk menemukan dompet saya," ucap Tiwi dengan raut wajah nya yang gembira itu. Namun, aku pun melihat perubahan yang tiba-tiba dari raut wajah Tiwi itu. Aku melihat raut wajah nya yang kembali bingung sekaligus seperti marah?
"Dan pak, saya ingin tau, bapak menemukan dompet saya ada di tas siapa ya?" tanya Tiwi. Entah kenapa perasaan aku pun mulai tidak enak, karena pak Bagus tiba-tiba saja melirikkan matanya ke arah ku tadi. Namun, pak Bagus pun tidak langsung menjawab pertanyaan dari Tiwi. Malahan pak Bagus menyuruh kami semua untuk mengambil tas kami masing-masing yang berada di depan.
"Anak-anak semua, sekarang tas kalian boleh di ambil," ucap pak Bagus. Namun, Tiwi yang masih berdiri di dekat pak Bagus sambil memegang dompetnya yang baru ditemukan itu pun tetap menunggu jawaban yang keluar dari mulut pak Bagus.
"Pak, pertanyaan saya tadi belum di jawab. Tadi bapak menemukan dompet saya di tas siapa?" desak Tiwi kepada pak Bagus. Ketika, aku berjalan ke depan untuk mengambil tas ku, pak Bagus pun memanggil ku.
"Aruna, kau jangan duduk dulu," ucap pak Bagus. Aku dan Tiwi pun bingung. Ada apa ini sebenarnya?
"Kenapa ya pak?" tanya ku bingung. Pak Bagus pun berdehem sebentar.
"Aruna tolong jujur dengan bapak ya, tadi bapak menemukan dompet Tiwi berada di dalam tas kau. Apa benar kau yang mengambil dompet Tiwi?" tanya pak Bagus. Aku pun terkejut mendengar ucapan pak Bagus. Apa? Kenapa? Kenapa bisa dompet Tiwi berada di dalam tas ku?
"Oh jadi, si miskin ini yang ngambil dompet saya pak? Heh! Berani-beraninya ya kau mengambil dompet ku," ucap Tiwi yang tiba-tiba sambil mendorong ku dengan sedikit kasar sampai-sampai membuat badan ku menabrak papan tulis yang berakar di belakang ku.
"Tiwi ... Tiwi ... Tolong tenang nak," ucap pak Bagas.
"Jadi kau malingnya hah?!!!" ucap Tiwi sedikit keras di hadapan ku. Aku takut. Tubuhku gemetar. Aku tidak bersalah. Aku tidak mengambil dompet Tiwi.
"Tiwi ... Tolong dengarkan penjelasan dari aku dulu," ucap ku dengan takut-takut. Pak Bagus yang tau bahwa aku takut dengan Tiwi pun dengan segera pak Bagus berdiri di depan ku agar Tiwi tidak bisa menjangkau diri ku.
"Pak Bagus, bapak kenapa nutupin maling itu? Sekalinya maling, jika dia tidak diberi hukuman, dia tidak akan kapok pak," ucap Tiwi yang berusaha untuk menarik tubuh ku, namun dengan cepat pak Bagus menghalangi Tiwi.
"Tiwi, lebih baik kita dengarkan penjelasan dari Aruna ya nak, kita tidak bisa main hakim sendiri," ucap pak Bagus menenangkan Tiwi. Kemudian, pak Bagus membalikkan badan nya menghadap ke arah ku.
"Aruna, tolong kau jelaskan dengan jujur ya nak, tentang masalah ini," ucap pak Bagus kepada ku. Aku pun mengangguk menuruti perintah dari pak Bagus. Lalu, aku mulai memberikan penjelasan kepada Tiwi, pak Bagus, sekaligus teman-teman yang berada di dalam kelas ku ini.
[]