"A ... Aku ... Aku memang di dalam kelas sewaktu istirahat tadi. Namun, aku tidak mengambil dompet milik Tiwi pak, bahkan aku tidak menyentuh barang-barang milik anak-anak kelas ini. Ketika istirahat aku hanya duduk saja di tempat kursi ku sambil membaca sebuah n****+ yang aku bawa dari rumah," ucap ku menjelaskan kepada pak Bagus dan Tiwi.
"Halah!! Kau bohong kan? Maling mana ada yang mau mengaku. Kalau maling ngaku, saat ini penjara penuh pastinya. Sudahlah, ayo pak bawa ke ruang BK aja biar dia ditindaklanjuti," ucap Tiwi yang tidak mempercayai penjelasan dari ku dan tangan Tiwi pun mulai menarik-narik tangan ku.
"Tidak! Tidak Tiwi, aku bicara dengan jujur. Tiwi percayalah dengan ku. Pak! Pak Bagus, bapak percaya dengan saya bukan? Saya bukanlah orang yang mengambil dompet milik Tiwi pak," ucap ku memohon.
"Heh! Kau itu pasti sedang membutuhkan uang kan? Ngaku kau! Udah jujur aja deh. Kalau kau butuh uang, kau bilang saja sama aku, kau butuh berapa hah? Nanti akan aku kasih kok, jangan maling seperti ini dong. Kawan-kawan bahaya banget tidak sih? Sekelas sama maling seperti dia?" ucap Tiwi bertanya kepada semua anak kelas sambil tangan nya menunjuk-nunjuk diri ku. Aku hanya bisa menundukkan kepala ku.
"Wah benar sih apa yang dikatakan eh Tiwi, kelas kita bakalan tidak aman nih," ucap Mela dengan suara nya yang sedikit keras.
"Anak-anak, tenang dulu ya. Jangan asal nuduh seperti ini, kan kasihan Aruna, jika benar dia tidak bersalah bagaimana?" ucap pak Bagus menengahi keributan yang terjadi di dalam kelas.
"Yah pak, jelas-jelas itu dompet si Tiwi ada di dalam tas dia, berarti si Aruna lah pak yang jadi pelaku nya," ucap Mela sambil menatap ku dengan sinis.
"Yasudah anak-anak, kalian tenang dulu. Gini saja, kalian kerjakan tugas di buku lks kalian yang halaman empat puluh dua, sementara itu bapak akan membawa Tiwi dan Aruna untuk pergi ke ruang BK, agar masalah ini bisa cepat terselesaikan. Paham anak-anak semua?" ucap pak Bagus. Aku yang mendengar bahwa pak Bagus akan membawa ku ke ruang BK pun merasa panik, karena sebelumnya memang aku tidak pernah membuat masalah selama sekolah di sekolahan ini.
"Aruna, Tiwi, ayo ikut bapak, kita ke ruang BK sekarang," ucap pak Bagus.
"Pak ... Pak, Aruna tidak salah. Tiwi, percaya sama aku, aku tidak mengambil dompet kau," ucap ku kepada pak Bagus dan Tiwi. Namun, Tiwi pun dengan segera berjalan duluan menuju ruang BK, meninggalkan aku dan pak Bagus.
"Deni, tolong ambil tas Aruna ini, taruh di meja nya," ucap pak Bagus. Deni pun langsung berdiri dan mengambil tas aku sebelumnya aku peluk daritadi.
"Aruna ayo, ikut bapak," ucap pak Bagus. Aku pun dengan pasrah mengikuti pak Bagus dari belakang. Tak kurasa air mata ku pun jatuh ke pipi ku. Namun, aku segera menghapus nya sebelum pak Bagus menyadari kalau aku menangis. Aku berjalan di belakang pak Bagus dengan menundukkan kepala ku.
"Aruna," panggil pak Bagus. Aku pun dengan perlahan mendongakkan kepala ku menatap pak Bagus. Pak Bagus tersenyum untuk menenangkan diriku.
"Aruna, bapak tau kok kalau kau itu tidak bersalah. Jadi, kau tidak usah merasa takut ya nak ... Kalau di tanya, kau jawab aja dengan jujur," ucap pak Bagus. Aku yang mendengar pak Bagus kalau ia masih memercayai ku pun, itu membuat hati ku merasa tenang. Setidaknya masih ada yang percaya kepada ku.
Tidak lama aku dan pak Bagus pun sampai di depan ruang BK. Dan aku yakin pasti Tiwi pun sudah berada di dalam ruang BK. Pak Bagus pun mengetuk pintu itu terlebih dahulu sebelum membuka pintu ruang BK tersebut.
"Masuk pak," ucap salah satu guru di dalam. Pak Bagus pun menoleh ke arah ku. Lalu, pak Bagus mempersilahkan aku masuk terlebih dahulu. Ketika aku berjalan melewati pak Bagus, pak Bagus membisikkan sesuatu dengan ku.
"Tenang saja Aruna, jangan takut. Percaya pada bapak," ucap pak Bagus berbisik kepada ku. Aku pun dengan samar menganggukkan kepala ku. Aku melihat di sana sudah ada Tiwi yang duduk di salah satu kursi yang tersedia dan ada Bu Iis juga Bu Yeni yang sudah duduk di masing-masing meja nya tersebut.
"Pak Bagus, silakan duduk pak," ucap Bu Iis. Pak Bagus pun mengangguk, lalu ia duduk di kursi single dekat kursi panjang yang telah di duduki oleh Tiwi.
"Aruna, duduk di sebelah Tiwi sana nak, biar enak," ucap Bu Iis lagi. Aku pun menuruti perintah dari Bu Iis. Lalu, aku duduk di sebelah Tiwi, namun aku memberikan jarak antara aku dan Tiwi.
"Jadi, bagaimana ceritanya Aruna? Tiwi?" tanya Bu Yeni dengan kacamata nya yang bertengger di batang hidung nya menatap aku dan Tiwi dengan tatapan yang tegas.
"Awalnya dompet ku hilang Bu, lalu ketika semua tas di kelas di periksa oleh pak Bagas, ternyata dompet ku ketemu di dalam tas nya Aruna Bu, artinya memang Aruna lah pencurinya," ucap Tiwi sambil melirik ku dengan sinis. Aku menelan ludah ku. Hati ku berdetak tidak karuan. Inilah yang biasa kurasakan jika aku merasa gugup.
"Aruna? Coba ibu ingin mendengar penjelasan dari kau. Kami semua sebaga guru di sekolah ini sudah cukup mengenal kau nak, kami yakin siswi berprestasi seperti diri kau itu tidak mungkin melakukan perbuatan rendahan seperti itu," ucap Bu Iis.
"Benar, saya juga setuju dengan ucapan Bu Iis," ucap pak Bagus.
"Siapa yang menjamin pak, Bu, jika orang yang berprestasi tidak akan melakukan hal rendahan seperti ini?" saut Tiwi. Aku, pak Bagus, Bu Yeni, dan juga Bu Iis pun saling menatap.
"Sekarang kau jelaskan sejujurnya Aruna, jangan ada yang kau tutup-tutupi," ucap Bu Yeni. Aku pun mengangguk. Lalu, aku pun mulai menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi ini.
"Di jam istirahat, memang di kelas hanya ada aku seorang. Tidak ada yang lain. Memang aku tidak pergi ke kantin seperti teman-teman lainnya. Di dalam kelas pun aku tidak banyak melakukan kegiatan, aku hanya membaca sebuah n****+ di kursi ku. Namun, sekitar sepuluh menit sebelum bel berbunyi, aku pergi ke toilet sendirian. Dan saat aku pergi pun di kelas tidak ada orang. Sampai ketika aku kembali dari toilet, di kelas pun tetap sama tidak ada orang selain diri ku. Aku berani bersumpah Bu, pak, aku tidak menyentuh barang-barang teman-teman di kelas termasuk barang-barang Tiwi. Aku juga tidak tau kenapa bisa dompet Tiwi ada di dalam tas saya," ucap ku menjelaskan kepada mereka semua.
"Mana mungkin dompet ku ini jalan dengan sendiri nya masuk ke dalam tas kau, tidak masuk di akal sekali," ucap Tiwi yang masih emosi dengan ku.
"Tadi sudah ku jelaskan Tiwi, aku pun tak tau kenapa bisa dompet kau berada di dalam tas ku," ucap ku dengan masih sabar. Aku tidak boleh ikut terbawa emosi. Aku harus sabar dalam menghadapi masalah ini. Aku tau, pasti aku di fitnah oleh seseorang yang memang tidak menyukai ku. Tapi, orang itu siapa?
"Sudahlah Bu, panggil saja orang tua nya itu suruh datang ke sekolah, biar orang tua nya tau bagaimana kelakuan anak nya ini," ucap Tiwi dengan tiba-tiba. Aku yang mendengar itu pun langsung menolehkan kepala ku ke arah Tiwi yang berada di samping ku.
"Tidak, jangan Tiwi, masalah ini seharusnya kita bisa menyelesaikan nya tanpa melibatkan orang tua kita masing-masing bukan? Pak? Bu? Benarkan ucapan ku? Menurut ku ini hanya sebuah kesalahpahaman saja," ucap ku. Tidak, aku tidak ingin kalau ibu ku tau kalau aku sedang ada masalah di sekolah. Aku tidak ingin ibu khawatir dengan ku. Aku tidak ingin menambah masalah di kehidupan ibu. Ibu sudah banyak sekali menanggung beban masalah berat di dalam keluarga.
"Kenapa? Orang tua kau itu harus tau tentang masalah ini. Orang tua kau itu harus tau kalau anak nya ini kekurangan uang jajan sehingga anak nya ini berani mencuri," ucap Tiwi dengan angkuh.
"Tiwi!" panggil ku dengan nada yang sedikit tinggi. "Aku sudah sangat sabar ya Wi dengan sikap kau daritadi, aku sudah bilang aku itu tidak mencuri!" lanjut ku. Kesal sekali aku dengan nya. Daritadi ia menyebutku pencuri dan pencuri. Telinga ku sakit sekali mendengar nya. Kenapa dia tidak paham-paham dengan penjelasan yang sudah ku berikan tadi.
"Loh ya benar aku kan? Kau itu pencuri! Aneh sekali, seharusnya kau itu minta maaf dengan ku," ucap nya.
"Aku tidak akan pernah minta maaf dengan kau. Disini aku tidak bersalah!" ucap ku dengan penuh penekanan.
"Anak-anak tenang dulu! Di sini kita akan menyelesaikan secara baik-baik. Dan Tiwi menurut ibu benar sekali apa yang diucapkan oleh Aruna, bisa jadi ini adalah sebuah kesalahpahaman. Kalau gitu, begini saja kan tiap masing-masing kelas sudah terpasang oleh cctv. Kalau begitu, mari kita cek bersama-sama cctv tersebut, kita lihat apakah pelaku nya benar itu Aruna atau bukan," ucap Bu Iis menengahi kami yang sudah hampir ingin ribut.
"Nah iya, benar sekali kata Bu Iis. Kalau begitu, ayo sekarang kita cek ke ruangan cctv," ucap pak Bagus. Kami semua pun mengangguk menyetujui. Dan kami pun segera berdiri dan melangkah menuju ruangan cctv.
---
Tok! Tok! Tok!
Pintu ruangan untuk mengecek cctv pun terbuka dan menampilkan sosok pak Ahmad.
"Eh ada pak Bagus, Bu Iis, dan Bu Yeni, ada apa ya pak, Bu? Dan kok tumben rame-rame kesini?" tanya pak Ahmad, si penjaga ruangan cctv.
"Begini pak, kami semua ingin mengecek cctv di kelas sebelas IPA satu ketika jam istirahat tadi, boleh tidak pak?" tanya pak Bagus meminta ijin.
"Oh tentu saja boleh pak, tapi masuk nya jangan rame-rame seperti ini ya pak, kalau bisa dua atau tiga orang aja yang masuk," ucap pak Ahmad dengan sopan.
"Oh, yaudah kalau begitu saya, Bu Iis, dan Bu Yeni aja yang meriksa ke dalam. Aruna dan Tiwi tunggu disini ya," ucap pak Bagus. Aku dan Tiwi pun mengangguk menuruti perintah dari pak Bagus. Sementara menunggu pak Bagus dan lainnya mengecek cctv kelas, aku berjalan duduk ke kursi yang di sediakan di depan ruangan tersebut.
Tiba-tiba aku merasakan ponsel yang berada di saku ku pun bergetar. Pun aku merogoh saku rok ku dan mengambil ponsel ku. Lalu, ku melihat ternyata itu notif dari Duma. Aku langsung membuka pesan yang diberikan oleh Duma itu.
"Hei, kau tak apa? Cerita nya bagaimana?" Begitulah isi pesan dari Duma. Lantas aku pun langsung menjawab nya.
"Nanti akan ku ceritakan, masalah nya belum selesai soalnya, pak Bagus dan guru yang lain masih mengecek cctv yang ada di kelas," balas ku. Tidak lama, pak Bagus, Bu Iis, dan Bu Yeni pun keluar dari ruangan cctv itu. Aku pun langsung berdiri dari posisi duduk ku dan berjalan menghampiri pak Bagas dan guru lainnya.
"Bagaimana pak? Bu?" tanya ku langsung kepada mereka. Pak Bagas menatap ku.
"Ayo kita bicarakan di ruang BK saja," ucap pak Bagus dan langsung berjalan menuju ruangan BK. Pun aku mengikuti langkah guru-guru tersebut dari belakang bersama Tiwi yang berjalan tidak jauh dari ku. Aku berharap dengan cara ini melihat cctv yang berada di kelas, pelaku yang sebenarnya akan terkuak dan masalah ini pun segera selesai.
[]