Bab. 38

2039 Kata
      "Ayah?!" ucap ku terkejut ketika melihat siapa pelaku yang masuk ke dalam kamar ku dan mengambil uang ku yang berada di dalam lemari. Namun, tiba-tiba ibu pun ternyata pulang lebih awal. Dan mungkin saat ini ibu terkejut sekaligus heran melihat ku dan ayah yang berada di halaman depan rumah dengan tangan ku yang memegang sebelah sepatu sekolah ku.        "Ada apa ini Aruna? Kenapa kalian berada di luar? Lalu, kenapa kau memegang sebelah sepatu sekolah kau?" tanya ibu dengan beruntun kepada ku. Aku yang masih terkejut pun tidak bisa mneajwab pertanyaan dari ibu. Saat ini aku sedang berpikir, apakah selama ini uang tabungan ku yang hilang itu di curi oleh ayah? Tapi ... Bagaimana bisa? Hah? Aku benar-benar bingung. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menatap ke arah tanah tempat ayah berdiri.        "Aruna!" panggil ibu sambil menggoyangkan pelan bahu ku. Aku tak menghiraukan panggilan dari ibu. Aku kembali menatap ke arah ayah yang hanya menatap ku dengan tatapan tidak merasa bersalah. Mengingat ayah tadi mengambil uang ku di dalam lemari, aku langsung saja merogoh saku jaket ayah dengan kasar. Mencari uang ku yang telah di ambil nya tadi dari dalam lemari ku. Pun ibu menatap ku dengan tatapan yang bingung.         "Mana?! Manaa?!!!!" tanya ku dengan suara yang keras sambil tangan ku masih merogoh saku jaket ayah dengan kasar. Sampai ketika jari-jari ku merasakan ada sebuah lipatan kertas di dalam salah satu saku jaket nya itu. Aku pun langsung saja mengambil lipatan kertas itu, mengeluarkan nya dari saku jaket yang ayah pakai. Benar saja, itu adalah uang ku yang telah ia lipat kecil.         "Aruna?! Ada apa sih? Ibu daritadi bertanya loh," ucap ibu yang sudah mulai jengah, karena aku sedari tadi tidak meladeni ibu.         "Dia?!!" ucap ku sambil mengangkat jari telunjuk ku ke arah wajah ayah yang sedang berdiri dengan salah satu tangan nya yang masuk ke dalam kantong jeans nya sambil melihat ku. Ibu yang melihat ku seperti itu pun heran sekaligus juga kaget karena aku dengan berani mengangkat jari telunjuk ku ke arah wajah ayah. Karena, sebelumnya aku belum pernah menunjuk wajah ayah dengan sangat berani seperti ini.         "Ada apa Aruna? Kenapa dengan ayah kau?" tanya ibu sambil menurunkan jari telunjuk ku. Aku mengalihkan pandangan ku ke arah ibu.         "Ada apa nak? Tenangkan dulu nak, jangan marah-marah seperti ini. Tidak enak jika di lihat sama tetangga-tetangga nak," ucap ibu lagi menenangkan diri ku yang sedang penuh dengan amarah yang berada di dalam tubuh ku.        "DIA PENCURI IBU!" ucap ku dengan sedikit keras dan mengangkat jari telunjuk ku kembali ke arah wajah ayah yang sedikit tertutup dengan topi hitam nya.         "ARUNA!" teriak ibu tidak kalah keras nya di hadapan ku. Aku pun terkejut mendengar suaar ibu yang memanggil ku dengan sangat keras nya. Kebetulan sekali, tiba-tiba saja ada dua orang ibu-ibu yang melewati rumah ku dan menolehkan kepala mereka melihat ke arah aku, ibu, dan ayah yang sedang berdiri di halaman depan rumah ku. Kemudian, salah satu dari ibu-ibu yang lewat itu pun menegur Emma, karena mungkin mereka tidak sengaja mendengar ibu yang mengeluarkan suara nya memanggil diri ku dengan keras.        "Emma, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya salah satu ibu-ibu tersebut. Ibu pun membalikkan badan nya menghadap ke arah ibu-ibu tersebut yang berdiri di depan pagar rumah ku yang terbuat dari bambu.        "Tidak ada kok Bu," ucap ibu sambil tersenyum agar ibu-ibu yang bertanya itu tidak merasa curiga. Kemudian, ibu pun langsung berbalik dan segera menarik tangan ku serta tangan ayah untuk segera masuk ke dalam. Setelah itu, ibu pun menutup pintu rumah sampai menimbulkan suara yang sedikit keras. Sementara itu, aku berjalan ke arah kursi di ruang tamu dan ayah berjalan masuk ke dalam mungkin ingin ke kamar nya. Namun, langkah ayah pun terhenti karena panggilan dari ibu.        "Abraham," panggil ibu kepada ayah. Aku pun melihat ayah membalikkan badan nya dan menatap ke arah ibu dengan satu alis yang terangkat.        "Duduk di kursi itu terlebih dahulu, ku jangan pergi ke kamar. Kita selesaikan masalah ini bersama-sama dengan kepala yang dingin," ucap ibu sambil berjalan ke arah kursi. Kemudian, ibu pun duduk. Ayah pun menuruti ucapan dari ibu. Lalu, ayah pun ikut duduk di salah satu kursi di ruang tamu ini.        "Sekarang Aruna, kau ceritakan dengan ibu. Ada apa semua ini? Kenapa kau marah kepada ayah kau? Dan kenapa kau memanggil ayah kau itu sebagai pencuri? Memangnya apa yang di ambil sama ayah kau, sehingga kau mengatakan perkataan yang tidak pantas seperti itu terhadap ayah kau sendiri dan bahkan kau berani menunjuk-nunjuk ayah kau dengan jari telunjuk kau itu sendiri, kau tau kan kalau itu sangat tidak sopan?" ucap ibu kepada ku. Aku menundukkan kepala ku. Aku tau aku juga salah. Aku sudah tidak bersikap sopan kepada ayah. Tapi, memang saat itu aku sudah sangat marah sekali dengan ayah. Kenapa ayah bisa-bisanya dengan berani mengambil uang ku di dalam lemari ku sendiri. Dan satu lagi, aku juga masih penasaran dengan pemikiran ku tadi, apakah benar ayah itu memang mencuri uang tabungan ku yang dulu juga?        "Aruna, kau jawab ibu. Kau jangan diam saja. Ibu tadi terkejut melihat kalian berdua ada di depan rumah dengan kau memegang sepatu sekolah kau dan ayah kau yang memegang bagian belakang kepala nya, seolah-olah ayah kau telah di timpuk dengan kau dengan menggunakan sepatu sekolah yang kau pegang itu," ucap ibu ingin mengetahui apa yang terjadi tadi.        "Tadi ... Setelah aku pulang dari warung Bu Wati untuk membeli kertas folio, aku melihat pintu rumah ini terbuka dengan lebar, tapi seingat ku pintu rumah ini sudah terkunci. Terus, aku masuk ke dalam dan melihat pintu kamar ku pun ikut terbuka dengan lebar. Aku pun melihat siapa orang yang berada di dalam kamar ku itu. Dan ternyata orang itu adalah ayah ..." ucap ku sambil menatap ayah yang ia juga sedang menatap ke arah ku. Aku pun mengalihkan pandangan ku ke arah ibu kembali.          "Lalu, aku melihat ayah yang mengobrak-abrik isi lemari ku. Dan aku juga melihat ayah mengambil uang ku yang berada di dalam lemari ku. Itu sebabnya ibu, aku menyebut ayah sebagai pencuri," ucap ku menjelaskan kepada ibu. Kemudian, aku pun menundukkan kembali kepala ku. Menatap ke arah kaki ku. Lalu, aku menatap ke arah ibu lagi. Dan ya, ekspresi ibu sekarang terkejut mendengar cerita dari aku.          "Abraham! Kenapa kau dengan berani mengambil uang miliki Aruna hah? Orang tua seperti apa kau itu!" ucap ibu kepada ayah yang aku merasakan sepertinya ayah masih melihat ku.          "Dan ibu ... Aku ingin mengungkapkan satu hal lagi. Dan ini cukup mengganggu pikiran ku daritadi," ucap ku kepada ibu.          "Ya Aruna, katakan saja," ucap ibu. Aku membasahi bibir ku terlebih dahulu.          "Ibu ... Aku ... Aku bukannya ingin menuduh, tapi ibu ingatkan? Soal uang tabungan ku yang dulu hilang?" tanya ku kepada ibu yang memerhatikan diri ku. Ibu pun langsung mengangguk. Aku melirik ayah sebentar. Kemudian, aku pun melanjutkan kembali ucapan ku.          "Entahlah apakah ini salah atau tidak, yang jelas melihat kelakuan ayah tadi yang dengan berani mengambil uang ku itu membuat ku berpikiran bahwa ayah lah yang mengambil uang tabungan ku yang dulu," ucap ku kepada ibu dan aku pun tak berani melihat wajah ayah.         "HEI!!! JAGA BICARA KAU YA!!" teriak ayah tiba-tiba kepada ku. Aku pun terkejut mendengar suara ayah yang berteriak dengan sangat keras seperti itu. "Mana buktinya?!!! Kau punya bukti? Jangan seenaknya kau nuduh-nuduh saya!!! Jangan kurang ajar kau sama saya!!" ucap ayah dengan mata nya yang memelototi ku. Aku takut. Aku tidak berani menatap ayah.         "Heh Abraham! Kalau kau tidak salah, kenapa kau marah seperti itu? Seharusnya kau bersikap santai. Kau bisa saja membantah tuduhan dari Aruna dengan baik-baik jika kau tidak bersalah," ucap ibu membela ku. Aku pun turut menatap ayah dan ayah pun mengubah kembali ekspresi nya seperti biasa kembali.         "Tidak, ya memang saya tidak salah. Ya terserah saya lah, saya berhak marah. Dan saya sebagai orang tua merasa terhina telah di tuduh oleh anak kandung saya sendiri," ucap ayah dengan cepat. Tapi, entahlah aku merasa ada yang di tutup-tutupi oleh ayah.         "Kalau kau merasa terhina. Sekarang saya ingin bertanya sama kau, Abraham. Dari cerita Aruna itu, kenapa kau dengan berani masuk ke dalam kamar nya? Saya saja sebagai ibu nya sendiri, tidak pernah tuh masuk ke dalam kamar Aruna tanpa seijin Aruna sendiri. Dan paling parah nya lagi kau mengambil uang Aruna dari dalam lemari nya itu," ucap ibu. Lalu, aku melihat ayah yang gelagapan. Ayah menggaruk-garuk kening nya sebentar, sebelum menjawab pertanyaan dari ibu.         "Ya ... Ya ... Kalau itu memang saya akui saya salah, saya akui kalau perbuatan saya hari ini sudah lancang sekali sama Aruna, dan uang nya juga udah di ambil lagi tuh sama Aruna. Jadi, intinya saat ini saya tidak mengambil apa-apa lagi dari kamar anak kau itu," ucap ayah. Aku pun tidak habis pikir sama ucapan ayah. Dan satu lagi, aku merasa ada yang janggal dengan ucapa ayah. Tadi ayah bilang ia tidak mengambil apa-apa lagi? Lagi? Maksudnya ...          "Lagi?" tanya ibu. Akhirnya ibu mewakilkan pertanyaan yang bersarang di pikiran ku.          "Ya, maksudnya saya tidak mengambil apa-apa dari kamar anak kau itu, Emma. Sudahlah, jangan lah kau itu banyak tanya. Saya ingin mau ke kamar. Dasar anak dan ibu sama saja, tidak ada yang beda," ucap ayah sambil berdiri dan langsung berjalan menuju kamar nya. Ibu menatap ke arah ku.           "Aruna, dengarkan ibu ya nak, jangan pernah lagi kau tuduh ayah kau seperti itu. Apalagi tidak ada bukti yang mengarah ke ayah kau, Ingat itu ya Aruna," ucap ibu sambil mengelus rambut ku dengan lembut.           "Tapi ibu, aku melihat tingkah ayah sedari tadi itu seperti menunjukkan kalau ia adalah pelaku yang mencuri uang tabungan ku dulu," ucap ku masih keukeuh.           "Memang tingkah ayah kau itu bagaimana Aruna?" tanya ibu lagi.          "Ya sepertinya itu ayah menutupi sesuatu dari kita. Dan entah kenapa, perasaan aku itu yakin kalau ayah lah yang mengambil uang tabungan ku itu ibu," jawab ku. Dan aku pun teringat sesuatu tentang ucapan ayah ketika tadi ia berada di dalam kamar ku.           "Ibu! Aku teringat sesuatu. Ketika ayah di kamar ku tadi, aku mendengar ayah bilang seperti dia itu seolah-olah mencari barang yang pernah ia temui di dalam kamar ku itu loh Bu. Katanya tuh dimana ya, biasanya aku menaruh barang itu di situ, begitulah kira-kira katanya. Dan disitu aku bingung. Barang apa yang aku taruh memangnya? Aku masih penasaran tentang itu ibu," ucap ku memberitahu kepada ibu.           "Mungkin ibu barang yang lain? Dan ibu juga tidak tau barang apa yang dimaksud oleh ayah kau. Yang penting mulai sekarang, kau jangan lagi menuduh-nuduh ayah kau lagi ya Aruna. Walaupun ayah kau memiliki sikap yang buruk, tapi dia tetaplah ayah kandung kau Aruna. Kalau dia tidak ada, maka kau pun juga tak ada di dunia ini. Jadi, ibu berpesan kepada kau ya Aruna, tetaplah jaga kesopanan kau sama ayah kau. Dan masaalh uang tabungan kau yang hilang itu, dan kau merasa kalau ayah kau itu adalah pelaku nya, ibu mohon kepada Aruna, jika Aruna belum ada bukti nya. Aruna jangan mengklaim kalau ayah kau lah sebagai pelaku nya. Dan jika kau masih keukeuh kalau ayah kau adalah si pelaku yang mengambil uang tabungan kau, maka tugas kau saat ini kau harus mencari bukti kuat tentang ayah kau itu. Tapi, menurut ibu lebih baik kau lupakan saja masalah itu ya nak. Ibu takut dengan adanya masalah itu, kau jadi tidak fokus dalam belajar," ucap ibu panjang lebar memberikan nasihat nya kepada ku. Jika sudah seperti ini, aku hanya bisa menuruti perkataan dari ibu. Jika keputusan ibu itu adalah yang terbaik, maka aku akan menuruti nya.           "Baiklah ibu, aku paham," ucap ku dengan tersenyum ke arah nya. Ibu pun membalas senyuman ku.          "Yaudah aku ke kamar dulu ya Bu, mau merapihkan kamar, karena di kamar masih sangat acak-acakan," ucap ku pamit untuk pergi ke kamar. Ibu pun mengangguk. Aku pun langsung bangkit dan berjalan menuju ke kamar ku. Namun, ketika aku berjalan ibu memanggil ku.          "Aruna sayang," panggil ibu. Aku pun menghentikan langkah ku dan membalikkan badan ku menghadap ke arah ibu yang masih duduk di kursi.          "Kenapa Bu?" tanya ku.          "Maafin ayah kau ya nak ...." ucap ibu dengan tatapan berharap kalau aku memaafkan perlakuan ayah tadi. Aku pun berpikir sebentar. Namun, langsung saja aku tersenyum ke arah nya dan menganggukkan kepala ku. Lalu, aku pun kembali melanjutkan langkah ku menuju ke kamar ku. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN