Pukul setengah tujuh pagi di ruang makan kediaman Yusuf Hadiwijaya, Pak Yusuf beserta sang istri sedang menikmati sarapan paginya.
" Lho kok Dany belum turun sih Pi."Bu Yusuf sedikit heran dengan ketidakhadiran putranya di meja makan.
" Mungkin baru bangun. Semalam kan kita pulang larut gara-gara macet." Suaminya menerka keadaan Dany anaknya.
" Mami cek dulu ya Pi." ujar bu Ratih.
" Iya. Hari ini kan ada meeting jadi bilangin jangan terlambat ke kantor." Pak Yusuf memberi perintah kepada istrinya.
Wanita paruh baya itu segera berdiri dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju ruang tengah setelah itu menaiki tangga ke lantai atas.
Tok tok tok
Namun tak ada suara yang menjawab.
" Dany..." Tetap tidak ada jawaban.
Bu Ratih semakin penasaran dan menyangka kalau putra no 4 nya itu masih tidur nyenyak. Beberapa detik kemudian ia buka pintu kamar anaknya itu.
Gorden kamar masih tertutup dan di atas ranjang terlihat Dany masih asyik berselimut. Ibu 5 anak itu mendekati putranya.
" Dany..." Perlahan ia menyibak selimut dan meraba kening anaknya. Kondisi Dany menghawatirkan tubuhnya panas dan menggigil.
" Dany.." sekali lagi Bu Ratih
memanggil nama anaknya.
" Ma...mi..." Terdengar suara Dany memanggil ibunya dengan bibir bergetar dan suara lirih yang hampir tidak terdengar.
" Ya Allah sayang kamu kenapa Dany? Badan kamu panas." Bu Ratih berubah panik. Ia lalu keluar dari kamar tidur turun ke bawah menuju ruangan belakang hendak mengambil kompresan.
" Papi....Dany sakit. Badannya panas. Tolong panggil dokter." Begitu tiba di ruang makan Bu Ratih langsung mengabari suaminya. Ia kemudian meminta air kompresan kepada salah satu ART yang berada di dapur.
Tidak lama kemudian Kedua orang tua tersebut sudah berada di kamar anaknya.
" Kamu kenapa Dan, perasaan tadi malam baik-baik saja." Pak Yusuf melihat keadaan putranya setelah itu ia menelpon dokter. Bu Ratih sibuk mengompres bagian kening anaknya.
Setengah jam kemudian dokter pribadi mereka datang untuk memeriksa Dany. Dany dinyatakan terkena gejala typus dan harus beristirahat selama 3 hari. Setelah memeriksa Dany dokter itu kembali. Begitu pun dengan Pak Yusuf segera pergi ke kantor.
****
" Selamat pagi Om." Heni menyapa pak Yusuf bosnya yang baru saja tiba di ruangan. Tidak biasanya bos itu datang terlambat.
" Pagi Heni." Jawabnya singkat.
" Setengah jam lagi rapat dimulai." Heni mengingatkan jadwal hari ini.
Hari ini hari Jumat sehingga meeting diadakan pagi jam 09.00 seharusnya kemarin tapi karena bos absen makanya diundur.
" Iya tolong siapin saja. Mana Fikri?" Tanyanya.
" Di ruangan rapat Om." Jawab Heni.
" Saya tadi terlambat ngurusin dulu Dany. Anak itu entah kenapa tiba-tiba sakit." Beritahu Pak Yusuf.
" Hah...sakit apa Om?" Heni bertanya penuh rasa ingin tahu.
" Gejala typus"Katanya.
" Kelelahan kali. Terlalu sering lembur." Heni memberi kesimpulan.
" Ditambah kemarin perjalanan dari Bandung pulang larut malam juga."
Tidak lama kemudian Heni meninggalkan ruangan bosnya dan mempersiapkan semua keperluan untuk meeting hari ini.
****
Sore harinya sepulang dari kantor pukul 5 sore Heni menuju rumah bosnya. Ia sengaja datang menjenguk anak bosnya. Bukan karena peduli pada kesehatannya tapi lebih pada kepentingan pribadi. Soal pudding yang kemarin. Ya Allah semoga saja puddingnya masih bisa terselamatkan. Belum basi sih karena masih bisa tahan beberapa hari di kulkas.
Tadinya wanita itu ingin membagikan hasil kreasinya itu kepada rekannya yang di divisi pemasaran. Mereka semua pasti menyukainya terlebih lagi Meilani yang kelihatan ngiler saat pertama kali melihat Heni membawanya kemarin pagi. Namun niatnya ia batalkan. Ia harus mengantarkan makanan tersebut ke tangan Dany biar bos kecil itu tahu bahwa pesanannya telah siap. Dianya saja yang tidak peduli atau entah lupa menanyakannya. Berulang kali dihubungi tapi tidak tersambung.
" Assalamualaikum." Heni mengucapkan salam ketika berada di depan pintu rumah keluarga bosnya. Pintu sedikit terbuka pertanda di ruangan tamu ada orang.
" Waalaikum salam." Jawab yang di dalam. Kemudian terlihat seorang ART muda keluar dari pintu.
" Eh ada mbak Heni. Masuk mbak." ART yang berusia 20an itu dengan ramah menyambut kedatangan Heni. Tentu saja ia mengenal baik Heni yang bukan baru sekali dua kali berkunjung ke rumah majikannya.
" Tante Ratihnya ada, Sri?" Sambil melangkah ke dalam rumah yang diiringi oleh ART bernama Sri tersebut.
" Ada di kamarnya. Biar saya panggilkan ya mbak." Katanya.
" Ga usah, biar sama aku aja. Lagian aku juga mau jenguk Dany." Tambahnya.
ART itu pun kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Heni melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju lantai dua rumah mewah tersebut. Ternyata di atas ada Bu Ratih yang baru saja keluar dari kamarnya.
" Heni...." Ia tampak setengah berteriak saking senangnya dengan kedatangan sekretaris suaminya.
" Hai Tante, apa kabar? Maaf ya aku ke sini ga ngasih kabar dulu." Heni segera menghampiri wanita yang sudah dianggap seperti ibunya tersebut. Wanita cantik itu kemudian memeluk Bu Ratih.
" Alhamdulillah kabar Tante baik cuma itu Dany lagi sakit." Bu Ratih memberi tahu.
" Ini aku mau jenguk sekalian nganterin pesanan Dany." Heni berkata sambil tersenyum manis.
" Itu apaan?" Bu Ratih terlihat penasaran memperhatikan bingkisan yang dibawa wanita yang berstatus janda beranak satu itu.
" Pudding semangka." Jawabnya.
" Oh...itu kan Pudding kesukaan Dany. Ayo kita ke kamarnya. Mudah-mudahan dia mau makan Pudding kamu. Dari tadi pagi makannya cuman sedikit." Bu Ratih berkata seraya meraih lengan Heni menuntunnya untuk berjalan menuju kamar Dany.
Di dalam kamar Dany terlihat sudah mulai dapat duduk di ranjangnya. Ia sedang asyik memainkan gadgetnya.
" Dany...nih ada yang jenguk." Tanpa permisi Ibunya masuk ke ruangan pribadinya itu ditemani Heni sekretaris Papinya.
" Hai Dany kamu sakit apa? Padahal terakhir ketemu keadaan kamu baik-baik aja." Heni mendekat ke arah dimana Dany berada. Pun dengan Bu Ratih. Kedua wanita itu kini berada di samping ranjang Dany. Heni mendekati nakas untuk menyimpan Pudding yang di bawanya.
" Gejala Thypus." Jawab Dany sambil menatap sekretaris cantik ayahnya.
" Nih buat kamu. Seenaknya minta dibikinin tapi ga ada nanya sama sekali." Heni berkata seraya menatap Dany yang sedang memperhatikan nya juga.
" Oh iya, aku lupa." Jawabnya tanpa merasa bersalah dan meminta maaf. Ia asyik kembali meraih ponselnya.
" Ya udah kamu makan ya Pudding nya, dari tadi pagi kamu susah banget makan." Bu Ratih membuka bingkisan dari Heni. Ia berharap makanan yang dibawa oleh Heni dapat masuk ke dalam mulut anaknya.
" Mami ke bawah dulu ya motongin dulu puddingnya. Heni tolong temenin dulu Dany." Lanjut Bu Ratih.
Ia segera berlalu dari hadapan mereka.
" Terimakasih udah jenguk aku." Dany membuka pembicaraan sambil menatap ke arah Heni yang sudah duduk di tepi ranjang Dany. Cantik. Batin Dany. Memang terlihat seperti itu setiap hari.
" Hmmm... sebenarnya aku ga sengaja nengokin kamu. Cuma mau bayar utang ngasih Pudding. Itu lho ongkos aku waktu kamu nganter pulang. " Bibir Heni terlihat manyun. Terlihat seksi.
" Oh..." Dany tidak menyangka bahwa Heni akan seserius itu.
" Lagian kenapa tuh HP kamu mati. Susah banget ngehubungin kamu. Aku berjuang keras membuat pudding ini. Sekarang lunas ya" Heni masih kesal.
" Haah, dasar aneh cuma gara-gara Pudding kamu kelihatan marah. Ya udah maafin aku ya."
Dany yang dari tadi tidak bisa senyum kini bahkan bisa tersenyum lebar dan hampir terbahak-bahak melihat ekspresi Heni. Panas di tubuhnya sudah mendingan begitu pun dengan sakit kepala nya tinggal badan nya yang sedikit lemas.
" Pokoknya kamu harus habisin puddingnya." Titah Heni.
" Oke..." Dany menyanggupi.
Tiba-tiba Bu Ratih sudah kembali ke kamar Dany dengan sepiring Pudding di tangannya.
" Ayo makan dulu puddingnya sayang." Bu Ratih langsung menyuapi Dany. Akhir-akhir ini Bu Ratih memang lebih perhatian kepada putranya itu padahal dulu hubungan mereka sangat dingin. Sedingin es barangkali.
" Aku makan sendiri aja Mi, kan malu ada Heni. Nanti jadi bahan gosip di kantor." Dany tahu betul Heni dan gengnya yang suka ngegosip.
" Udah ga papa" Bu Ratih tetap menyuapinya.
Heni cuma tertawa kecil melihat adegan ibu dan anak itu. Piring ukuran sedang berisi Pudding itu habis tak bersisa. Heni tersenyum senang puding buatannya dinikmati anak bosnya.
****
TBC