Bagian 10

1309 Kata
Dany berada di Bandung bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka baru saja menjenguk sepupu Bu Ratih yang mengalami kecelakaan lalu lintas kemarin malam. Makanya mereka mendadak pergi ke Bandung jam 5 pagi. Sepulang dari Rumah Sakit mereka tidak langsung pulang ke Jakarta melainkan jalan-jalan keliling kota Bandung. Bagi Bu Ratih momen ini dimanfaatkan untuk shopping. Itulah hobi nenek dengan 5 orang cucu tersebut. Perjalanan mereka bertiga ditemani oleh sopirnya yang bernama Pak Budi. " Coba kalau bukan hari kerja pasti Mami bakalan ajak Heni deh. Pasti seru en ga bete." Istri Pak Yusuf terlihat menyesal. " Ngapain ngajak dia? Berisik Mi." Dany tampak tidak setuju. Kehadiran Heni di dekatnya membuatnya tidak nyaman apalagi kalau sudah memberikan kritik dan saran yang berlebihan. " Mami ini gimana sih kita kan jenguk orang sakit. Pikiran Mami tuh shopping aja." Pak Yusuf sedikit sewot dengan sikap istrinya yang kekanakan. " Papi jangan berburuk sangka gitu dong sama Mami, Mami cuman ingin berkunjung ke tempat anaknya Heni. Udah lama juga kan ga ketemu Natasya. Dia pasti udah gede dan cantik mirip mamanya." Bu Yusuf mengelak, walau sesungguhnya selain memang berniat ingin bertemu anaknya Heni ujung- ujungnya ngajak shopping juga. " Ya, Papi nuduh Mami bukan tanpa alasan. Selama ini kan dia memang selalu jadi assisten Mami buat nemenin  acara shopping Mami." Pria itu menggoda isterinya yang terlihat cemberut. " Udah deh Mami dan Papi jangan berantem gitu. Malu tahu, udah tua." Dany yang tadi mendengar pembicaraan mereka di jok depan menengahi mereka. " Hah, jadi menurut kamu Mami tuh udah tua? Enak aja Mami masih muda belum kepala 6." Bu Ratih tak terima dengan tuduhan anaknya itu. Sementara Pak Yusuf terkekeh. Demikian juga Pak Budi yang diam-diam mendengarkan mereka ikut tersenyum. Mereka semua berhenti di sebuah Restoran yang dekat dengan kawasan mall untuk makan siang. Pukul 5 sore hari mobil yang ditumpangi keluarga Hadiwijaya kembali menuju kota Jakarta. Besok hari Jumat ada pertemuan penting sehingga mereka tidak bisa menghabiskan Weekend di kota Bandung padahal di Kota Kembang itu mereka memiliki Villa yang terletak di kawasan Lembang. Selama perjalanan yang mengendarai mobil bukan hanya Pak Budi, tetapi Dany juga bergantian memegang kendali setir mobil. **** " Makasih banyak ya Mas udah nganterin aku." Ucap Heni kepada Fikri. " Ok sama-sama. Sampe ketemu besok." Jawab pria bertubuh atletis itu. Di bengkel,  Heni langsung mencari pemuda yang berada di ruang kerjanya di dalam bangunan bengkel mobil tersebut. " Kirain mobilnya ga kan diambil, rencananya tadi mau kuantar ke rumah mbak." Alan langsung mendekat ke arah Heni yang dari jauh kedatangannya sudah terlihat. " Biasa macet di jalan." Jawab wanita itu. " Santai dulu ya, mbak Heni mau dibikinin minum apa? Teh atau kopi?" Tanya Alan sambil mempersilahkannya duduk. Sikap Alan memang manis sangat jauh jika dibandingkan kakaknya yang bernama Ellen. Ellen yang tomboy dan sedikit emosian. " Aku minta teh anget aja, jangan pake gula ya. " Jawab Heni. Heni lalu duduk di sofa panjang yang terletak di ruangan Alan. Sementara Alan pergi ke ruangan belakang. Pemuda itu memang hebat. Baru dua tahun merintis bengkel sudah punya 3 cabang. Dua lainnya di Bogor dan Tanggerang. Padahal pemuda usia 25 tahun itu pada awalnya tidak memiliki modal. Bermodal ketekunan dan kerja kerasnya ia berhasil dalam usahanya. Alan yang berasal dari Tanggerang memang sudah terlebih dahulu tinggal di Jakarta bersama Tantenya. Ia merupakan salah satu sahabat Dany. Mereka berteman sejak SMA. " Ini tehnya." Alan datang kembali dengan 2 cangkir teh di nampan. Kemudian ia letakkan di atas meja depan Sofa. " Makasih, Lan." Ujar Heni. Keduanya lalu duduk berhadapan. " Ngomong-ngomong Vio nggak diajak ke sini?"  Ia mulai menanyakan pacarnya. Vio anak di divisi pemasaran yang juga geng nongkrong Heni merupakan pacar Alan terhitung sejak 6 bulan yang lalu. " Lembur." Jawab Heni pendek. " Hampir seminggu ini aku sama dia nggak jalan bareng. Kayanya dia sibuk terus tuh. Aku jadi dicuekin. Ntar kalau udah nikah aku mau dia resign aja." Adik sahabatnya itu mulai curhat. " Cie..cie...kamu udah serius gitu sama Vio. Pake ngomongin nikah segala." Heni menggoda Alan. " Kayanya aku sama dia udah merasa cocok. Ngapain juga ditunda-tunda." Lanjut Alan sambil menikmati tehnya. " Aku doain deh semoga dilancarkan segala persiapannya. Ngomong-ngomong kapan mau ngelamar dia?" wanita itu tampak penasaran. " Dalam waktu dekat setelah urusan mbak Ellen beres."  Ucap pemuda tampan dengan belahan rambut di tengah itu. " Iya mudah-mudahan urusan perceraian dia cepet kelar." Imbuh Heni. " Gak jadi cerai kali." Beritahu Alan. " Hah? Maksudnya." Heni kaget dengan pernyataan Alan. Bukankah sidang cerai Ellen dengan suaminya yang bernama Kevin itu tinggal selangkah lagi. Tapi kenapa bisa tidak jadi begitu. Sejumlah tanda tanya muncul dipikiran Heni. Heni yang terakhir kali bertemu Ellen seminggu yang lalu benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan Ellen. " Sidang perceraian dihentikan dan mereka memilih damai karena mbak Ellen lagi hamil jalan 3 bulan. Mas Kevin yang ngemis-ngemis memohon perceraian dibatalkan begitupun keluarganya. Semuanya demi kebaikan mbak Ellen dan mas Kevin udah berjanji akan berubah. Awalnya mbak Ellen menolak tapi melihat semua itu ia kembali mempertimbangkan untuk rujuk lagi. Setidaknya perceraian ditunda sampai bayinya lahir." Alan menjelaskan panjang lebar. Sementara Heni antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Kehadiran seorang anak ternyata bisa mengubah segala keputusan dengan cepat. Rasa sakit hati dan penghianatan seolah dapat dengan mudah dihapus demi Anaknua. Semoga ini adalah yang terbaik untuk sahabatnya. " Sebenarnya sulit dipercaya kalau Ellen bertindak seperti itu tapi mudah-mudahan itu adalah yang terbaik demi anak mereka." Heni mendoakan sahabatnya. " Aku sama bang Bima juga awalnya marah dan gak setuju tapi akhirnya semua keputusan ada ditangan mbak Ellen. Lagian yang menjalani semuanya kan dia. Kita cuma bisa berdoa dan kalau terjadi hal yang buruk soal perangai mas Kevin, aku dan bang Bima nggak akan tinggal diam." Alan terlihat berapi-api. Sejujurnya Heni masih ragu apakah Kevin si Playboy itu akan berubah? " Udah Maghrib aku balik ya...minta bon semuanya jadi berapa?" Heni ingin mengakhiri tema obrolan tentang Ellen. Ia menghabiskan tehnya. Sementara Alan memberikan bon biaya service mobil Heni yang tentunya diskon besar-besaran. " Thanks banget ya Lan." Heni mengeluarkan uang untuk membayar tagihannya. " Ada salam dari bang Bima. Kayanya dia ngebet banget sama mbak Heni." Alan menggoda Heni sebelum wanita itu menuju mobilnya diantar oleh Alan. " Waalaikumsalam" jawab Heni sambil tersenyum. " Kayanya cocok tuh. Bang Bima kan bujangan lapuk.he..he.." Alan menggoda Heni. " Alan...kamu ada-ada aja" Heni lalu bersiap membuka pintu mobilnya. " Titip salam buat Dany. Bilangin aku tunggu di bengkel. Sejak kerja dia jadi sombong banget jarang ngumpul. Kalau futsal aja kita ketemu itu pun jarang" Alan berkata saat Heni sudah berada di balik kemudi. Dany...oh My Good gimana nasib pudding semangka itu. Mendengar nama Dany wanita yang berprofesi sebagai sekretaris itu teringat kembali puddingnya. " Ok. Bye" " Bye" Heni lalu meninggalkan Bengkel Alan. **** Setiap pulang dari kerja Heni selalu menghubungi anaknya. Barusan ia sudah menelpon putrinya yang berusia 12 tahun. Wanita itu setiap saat selalu merindukan anaknya buah cintanya dengan Almarhum suaminya yang bernama Hilman Faturrahman, pria berdarah Minang yang sangat dicintainya. Kepergian suaminya membuatnya benar-benar terpukul. Ia harus menjadi single parent bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak semaya wayangnya. Bukan keinginannya menitipkan sang anak kepada ibu angkatnya, namun kondisi yang memaksanya. Heni berbaring di atas tempat tidurnya. Ia kesepian. Sudah lebih dari 6 tahun menjanda. Menghabiskan malam sendirian. Ia jadi memikirkan omongan Bunda Azizah. " Sampai kapan kamu akan hidup sendiri, kamu berhak bahagia Nak, jangan terlalu sibuk bekerja. Kamu masih muda masih banyak lelaki yang mencintai kamu. Lupakan Hilman, dia sudah tenang di alam sana. Bunda yakin Tasya juga tidak akan keberatan jika kamu menikah lagi. Coba buka hati kamu untuk pria lain. Anak teman bunda ada yang nanyain kamu,kayanya serius. Nanti bunda kenalin." Heni tersenyum geli mengingat ucapan Bunda Azizah. Menikah! Suatu hal yang tidak pernah terlintas di pikirannya selama 6 tahun ini. **** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN