" Len gimana kabarnya penyergapan tadi malam?" Heni langsung mewawancara Ellen saat perempuan berambut pendek itu berkunjung ke rumahnya.
" Bang Bima langsung menghajarnya. Sampe babak belur kalau ga ada petugas mungkin udah habis tuh orang" Ellen antusias menceritakan kejadian tengah malam tadi.
" Serius, itu kan suami kamu. Kamu ga nyesel?" Heni setengah tak percaya dengan apa yang dilakukan sahabatnya. Laki-laki yang paling disayangi dan dicintai Ellen kini menjadi laki-laki paling dibencinya.
" Suami macam apa. gua udah fix mau urus perceraian. Cowok gitu emang harus dikasih pelajaran. Nyesel banget deh nikah sama dia."
Heni cuma menghela nafas. Masih tidak menyangka bahwa pernikahan temannya cuma berlangsung seumur jagung. Ya, hanya 4 bulan saja.
" lo juga hati-hati ya Hen kalau milih suami" tampak kesedihan di wajah Ellen. Ia tak mau sahabatnya salah pilih suami seperti dirinya yang jatuh cinta pada ketampanan dan kebaikan padahal ia lelaki buaya darat.
" Sabar ya Len, aku ga habis pikir kali si Kevin cowok ganteng bener. Tapi kelakuannya b***t. Di depan orang-orang dia sok alim. Mudah- mudahan kamu juga cepet move on ya" Heni memberi semangat pada sahabatnya. Hanya itu yang dapat ia lakukan.
" Eh, terus semalem lo ko ninggalin gua sih. Gua ma bang Bima naik taksi jadinya" Ellen mencoba mengalihkan pembicaraan. Rupanya ia tak mau membahas masalahnya lagi. Menurutnya hanya memperparah lukanya.
" Sorry ya, semalem apes banget. Di parkiran ketemu anaknya bos yang lagi mabuk berat. Ya aku bawa ke rumah"Heni memberi alasan.
"Siapa?" Ellen penasaran.
" Dany." dengan malas Heni menjawabnya.
" Yang di Amrik itu?" Ellen langsung bisa menebaknya. Tentu saja ia kenal karena Dany sahabat adiknya yang bernama Alan.
" Iya. Anak itu emang selalu aja bikin masalah. Kasihan Tante Ratih." Heni kesal.
" Jadi penasaran sekarang tampangnya kaya apa. Ganteng-ganteng error. Masih gitu ga ya?" Ellen jadi penasaran.
Meskipun Heni dan Ellen berbeda tempat kerja mereka bersahabat dengan baik. Keduanya bertemu 5 tahun yang lalu saat Heni baru pindah lagi ke Jakarta. Selama 1 tahun mereka tinggal satu kostan sebelum akhirnya Heni pindah rumah. Usia mereka terpaut 4 tahun namun Ellen yang tomboy selalu menganggap sejajar. Ia tidak mau memanggil mbak atau kak. Selalu nama yang disebut. Ellen yang bekerja sebagai penulis dan wartawan selalu melindungi Heni.
" Lo baik banget sih sama dia" Ellen merasa aneh.
" Kasihan aja. Ga kebayang kali dia di jalanan sendiri. Kalau terjadi apa-apa sama dia gimana." Heni menjawab sambil meraih cangkir tehnya di meja.
" Kalo gua jadi lo, gua biarin deh biar mampus tuh orang" Ellen yang gampang emosian tampak tak setuju dengan apa yang dilakukan Heni. Heni memang terlalu baik.
" Kamu jangan gitu dong. Mau gimana pun juga rasa kemanusiaan aku sangat tinggi. Apalagi aku utang banyak sama keluarganya. Bukan utang materi aja tapi juga utang budi." Seru Heni.
Ellen hanya menggelengkan kepala mendengar penuturan Heni. Ia memang benci sama Dany. Ya, karena Dany membawa pengaruh buruk terhadap adiknya.
" Eh Bang Bima nanyain lo terus." Ellen mulai membicarakan kakak sepupunya.
" Nanya apaan?" Tanya Heni.
" Katanya lo sekarang jarang main ke tempat Alan." Jawab Ellen.
" Ha..ha...sibuk banget di kantor. Belum lagi kalau libur Tante Ratih sering minta ditemenin." Heni beralasan.
" Dia kangen sama nasi goreng buatan lo. Sama lo nya juga kayanya. " Jawab Ellen.
" Kapan-kapan aku bikinin deh." Heni tersenyum.
" Bener ya, dia pasti senang banget."
****
2 Minggu kemudian
Hari Minggu yang cerah Heni sengaja ke rumah Bu Ratih untuk memenuhi undangan makan siang di rumahnya sekaligus jam 1 nanti menemaninya ke Panti Asuhan dalam rangka acara amal.
" Assalamualaikum." Heni mengucap salam
" Waalaikumsalam. Eh Bu Heni." Jawab Bi Titi salah satu ART Bu Ratih.
" Tante Ratih ada?" Tanya Heni ramah.
" Ada lagi di dapur." Jawabnya.
Heni langsung masuk ke dalam menuju dapur. Ia meletakkan parsel buah yang di bawanya di atas meja makan.
" Tante Ratih mana Dan?" Heni tak menemukan Bu Ratih. Hanya terlihat Dany yang memakai celemek. Ia baru menyelesaikan acara masaknya.
" Di belakang." Jawab Dany tangannya masih sok sibuk. Ia hanya menoleh sekilas ke arah Heni.
" Kamu lagi masak apaan?" Heni mendekati pemuda itu yang anteng memindahkan masakan yang baru saja dibuatnya. Bumbu Ayam panggang, capcay dan mie goreng.
" Nih cobain." Dany menyodorkan satu potong ayam dalam piring kecil yang sudah dilumuri bumbu.
" Ini ga beracun kan? Higienis kan?" Heni menatap masakan Dany penuh curiga. Bersiap sedia kalau-kalau rasanya aneh.
" Nih aku coba makan. Sembarangan aja bilang ada racunnya." Dany memotong ayam dengan pisau dan memakannya.
" kali aja." Heni tertawa. Ia mengambil dulu air putih. Khawatir bila harus memuntahkan makanannya.
" Aku cuci bersih bahan-bahannya, dijamin hiegienis dong, kalau ga percaya tanya aja Mami." Ucap Dany penuh percaya diri.
" Beneran kamu yang masak?Lumayan enak." Tanya Heni. Wanita itu tidak menyangka kalau masakan yang dibuat Dany cukup lezat.
" Kok lumayan sih. ini enak. Ya iyalah aku yang masak." Ucap Dany sombong.
" Kalau tahu enak menurut sendiri ga usah nanya aku dong." Jawab Heni sewot.
" Kalau gitu brapa nilainya?" Dany yang tahu dari sang Mami kalau Heni pintar masak meminta penilaiannya.
" Kaya lagi kontest aja, 75 lah." Jawab Heni sambil mencicipi masakan Dany yang lainnya.
" Kirain mau ngasih nilai 90." Dany berkata sambil melepas celemeknya.
" Hai Hen, udah lama?" Bu Ratih baru saja kembali dari halaman bwlakang.
" Baru aja. Belum sepuluh menit." Heni bercipika cipiki dengan Bu Ratih.
Sementara Bu Ratih dan Heni bercakap-cakap, Dany masuk ke dalam.
" Tante habis metik dulu lalapan nih." Bu Ratih menunjukkan keranjang berisi mentimun, daun selada, daun kemangi dan terung. Lalu membanya ke tempat cuci piring.
" O iya, tumben anak Tante ada di rumah." Heni penasaran dengan keberadaan Dany. Setiap kali datang ke rumah itu, ia tidak pernah bertemu dengannya dan ini adalah kali pertama melihat Dany berada di rumah.
" Dua hari ini emang ga kemana-mana. Lagi jadi anak baik kayanya. Seminggu yang lalu kan baru beli mobil baru." Jawab Bu Ratih.
" Mobil silver yang di depan itu?" Tanya Heni.
" Iya." Bu Ratih mengangguk.
" Diana yang ngasih. Om sama Tante ga akan ngasih fasilitas mobil lagi setelah 2 mobil rusak gara-gara tuh anak. Entah gimana caranya dia sukses merayu Diana. Dany emang lihai memanfaatkan kakak-kakaknya. Ga jarang dia ngadu yang enggak-enggak tentang Tante sama mereka." Bu Ratih mengadu perihal Dany.
" Ha..ha...masa iya sih." Heni tertawa melihat ekspresi Bu Ratih.
Beberapa saat kemudian Bu Ratih dan Heni menyiapkan makan siang yang tadi dibuat oleh Dany. Di meja makan mereka berempat menikmati hasil kreasi Dany.
Pak Yusuf tidak banyak bicara. Apalagi dengan Dany. Pria tua dan anak lelakinya itu seperti sedang bermusuhan.
" Aku ga nyangka kalau Dany bisa masak." Heni berusaha mencairkan suasana. Ia melirik ke arah Dany lalu Bu Ratih dan Pak Yusuf bergantian.
" Dulu kan aku tinggal jauh dari Mami. Tinggal sendiri jadi masak sendiri." Jawabnya.
" Ya iya lah harus bisa bisa masak jangan cuma ngabisin makanan aja." Ucap Bu Ratih tersenyum menyindir Dany yang hobi makan.
Dany cuma diam asyik menikmati makan siangnya.
" Mami sama Heni mau pergi ke acara baksos di Panti Asuhan Dahlia ya Pi." Beritahu Bu Ratih kepada suaminya.
" Iya, hati-hati. Papi juga mau main golf." ujar Pak Yusuf.
" Papi juga hati-hati, jangan lirik-lirik Caddy ya." Bu Ratih selalu cemburuan.
" Tenang aja Tante, Tante ga usah khawatir kan ada mas Fikri." Heni tersenyum. Istri bosnya selalu saja curigaan.
" Mi, Pi aku pergi dulu ya, ada janji sama Sandy." Dany yang baru menyelesaikan makannya berdiri meninggalkan mereka tanpa menunggu respon dari orangtuanya.
" Nih anak main pergi aja, bukannya sholat dulu." Bu Ratih mengomel.
" Kayanya Dany harus diruqiah deh." Canda Heni.
"Sepertinya begitu. Nanti kamu cariin tempat ruqiah yang bagus. Dia bikin Om stress. Cape ngomonginnya." Pak Yusuf setuju.
" Ternyata alasan dia sering minum-minum tuh gara-gara putus sama si Caroline. Diselingkuhi. Si Vicky yang cerita." Beritahu Pak Yusuf perohal kelakuan Dany akhir-akhir ini.
" Cuma gara-gara cewek. Tapi syukurlah dia jadi balik ke Jakarta." Ucap Bu Ratih.
" Kalau penyakit judi bola itu sudah sejak jaman SMA dulu." Pak Yusuf menghela nafas panjang.
" Om sama Tante yang sabar ya, doain saja mudah-mudahan Dany berubah." Heni menenangkan suami istri itu.
" Ga tahu dia bisa berubahnya dengan cara apa."Pak Yusuf seolah pasrah.
" Papi bujuk dia kerja dong Pi." Saran Bu Ratih.
" Tiap saat juga Papi ngajakin. Dianya yang nolak terus." Jawab Pak Yusuf.
" Blokir saja semua sumber keuangannya. Kakak-kakaknya juga harus diajak kerjasama." Usul Heni.
" Boleh juga idenya." Pak Yusuf tersenyum setuju.
****
TBC