3. Dany Hadiwijaya

1649 Kata
Jam 1 dini hari Heni masih berada di dalam mobil di sebuah parkiran night club menunggu temannya yang sudah hampir satu jam belum juga keluar dari dalam tempat terkutuk itu. Nyesel banget deh Len aku ikut kamu. Diem di sini kaya sopir. Kalo masuk sana juga kan gak mungkin.mau ditaruh dimana nih muka kalo ada yang kenal. Heni berada di sana bukan tanpa alasan. Ia sedang menunggu sahabatnya Ellen yang ditemani kakaknya yang bernama Bima untuk melabrak suaminya. Konon katanya sudah hampir sebulan laki-laki itu sering menghabiskan waktu di tempat tersebut untuk menemui kekasih gelapnya yang kerja jadi waitress di sana. Sepuluh menit kemudian tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara pintu mobilnya yang diketuk dan dipukul pukul dengan keras. Apaan sih Ia melongo dari kaca mobilnya. Kaget bukan kepalang karena seorang pria mabuk berdiri tepat di samping pintu belakang. . Ya Allah ngapain nih orang Heni mulai ketakutan. Tapi tunggu dulu kayanya kenal deh. Itu kan Dany anaknya om Yusuf. Ngapain nih anak ada di sini dalam keadaan mabuk lagi. Rasa takutnya mulai hilang dan ia merasa iba melihat keadaan pemuda bernama Dany itu, ia hendak menolongnya. Setidaknya ia berniat mengantarkannya pulang. " Ellen aku pulang duluan ya. Kamu sama bang Bima naik taksi aja. Aku ada urusan penting." Ia menulis SMS untuk Ellen. Tanpa menunggu waktu Heni segera keluar dari dalam mobil dan menghampiri Dany yang masih memaksa meminta pintunya dibuka. " Vicky buka dong...." Teriaknya. " Cepet Vicky atau gua.." kata-katanya terhenti saat Heni berada tepat dihadapannya. " Eh..Lo siapa?" Laki-laki muda itu menatap Heni. Heni yang tidak suka dengan tatapannya segera memasukkannya ke dalam mobil. " Eh Dany kamu diam ya kita pulang. Bener kata Papi kamu ya dasar pemabuk engga ada kerjaan." Heni berkata kepadanya sambil sibuk memegang kendali mobil. Sementara di jok belakang Dany masih dalam keadaan mabuk berat. Entah apa yang keluar dari mulutnya seperti sumpah serapah dengan menyebut nama Vicky. Ya, tadi pemuda itu memang bersama temannya yang bernama Vicky menghabiskan waktu dengan minum-minum di tempat terlaknat itu. Ia pikir mobil Heni yang berwarna putih itu milik temannya. Ia tidak sadar kalau itu bukanlah mobil temannya. Vicky sudah meninggalkannya sejam yang lalu. Di persimpangan jalan Heni mulai bingung antara membawa pulang Dany ke rumah orang tuanya atau ke rumahnya sendiri. Oke deh kamu ke rumah aku aja. Kalo diantar ke rumahnya ntar ribet jawab pertanyaan ortunya. Heni memutuskan membawa Dany pulang ke rumahnya. **** Heni membantu anak bossnya itu berjalan. Setelah membukakan pintu rumah ia langsung membawa Dany ke kamar tamu dan membaringkannya. Ia membuka sepatu Dany. Merapa keningnya. Tidak panas. Ketika hendak meninggalkannya, tangan Dany malah menariknya. Jika ia tak menahannya mungkin ia akan ambruk ke arah tubuh Dany. " Jangan kurang ajar kamu..." Heni melepaskan tangan Dany, buru-buru meninggalkannya sebelum laki-laki mabuk itu bertindak lebih jauh. " Bu Heni baru pulang?" Bi Cacih menegur majikannya yang baru saja keluar dari kamar tamu. " Iya Bi." jawabnya pendek. Dari tatapan wajah ARTnya ia tahu wanita paruh baya itu hendak bertanya lebih banyak. Tentu saja pertanyaannya mengenai kedatangannya bersama seorang laki-laki mabuk. " Di kamar tamu ada anaknya Pak Yusuf." ia hanya memberikan sedikit informasi. Bi Cacih hanya manggut-manggut dan tidak berani bertanya apapun lagi. Walau sebenarnya penasaran. Ia tahu sejak tinggal bersama majikannya selama 5 tahun belum pernah ada laki laki yang menginap. Tapi ada rasa heran kenapa ia bawa orang mabuk itu ke rumahnya. Entahlah ia tidak mau menduga-duga. " Bibi permisi dulu ya Bu." Ia meninggalkan Heni yang hendak ke kamarnya di lantai atas. Bi Cacih segera mengunci pintu depan lalu kembali ke kamarnya yang terletak di bagian belakang. **** Pagi-pagi Heni sudah bangun. Walaupun ia baru bisa memejamkan mata jam 3 pagi. Jam 5 ia sudah kembali bangun. Sebenarnya masih mengantuk dan sekarang hari libur namun ia sudah terbiasa bangun pagi. Biarlah nanti siang ia ganti tidurnya yang kurang. Hobinya adalah memasak. Makanya hari libur adalah momen yang tepat untuk berkreasi. " Aku lagi ingin makan nasgor spesial. Nasi goreng kambing. " serunya saat masuk dapur. Di sana ada Bi Cacih yang baru selesai mencuci baju. " Bibi bantu ya?" Pembantu itu menawarkan diri. " Ga usah Bi. Biar aku aja yang masak. Bibi beresin jemuran sana." Heni memerintah. Bi Cacih masih terdiam. Melihat sikap Bi Cacih yang aneh Heni langsung tahu pasti ini mengenai dirinya dan laki-laki mabuk itu. " Dia belum bangun? Bibi ga usah khawatir. Tadi malam aku nemuin dia di parkiran dalam keadaan mabuk . Tadinya mau dianterin ke rumahnya tapi males juga nanti ditanya-tanya sama Mami Papinya." Heni menjelaskan sambil memotong bawang. Sementara Bi Cacih hanya mengangguk angguk kepalanya. Ia memang mengenal keluarga Pak Yusuf karena sebelum kerja di rumah Heni wanita paruh baya itu pernah bekerja di rumah kediaman Hadiwijaya. Setelah itu ART itu pun kembali ke belakang untuk menjemur pakaian yang baru selesai dicucinya. **** Dany terbangun saat pintu kamar ada yang membuka. Heni sengaja membukanya dengan keras. Supaya Dany terbangun. Usahanya berhasil laki-laki itu terbangun. " Aku dimana?!" Serunya. Ketika ia menyadari ada di sebuah kamar padahal seingatnya ia berada di night club. " Udah sana mandi dulu. ini sarapan kamu." Heni meletakan bakinya di atas nakas dan berbicara ketus pada laki-laki muda yang masih terbaring tak berdaya. Matanya terus menatapnya. Tajam tapi tak setajam silet. Ia sangat mengenalinya walau pun penampilan adik sahabatnya itu sudah lain. Rambut gondrong, cambang tumbuh, tampak kusut tak terawat. " Aww..." Dany mengaduh sambil memegang kepalanya. Rasa pening masih terasa di kepalanya. " Kamu Heni kan sekretaris Papi?" Dany masih mengingatnya. " Iya..." Heni menjawab pendek sambil membalikan badannya lalu pergi meninggalkan Dany seorang sendiri. *** Satu jam kemudian. Heni duduk di ruang tengah di depan TV. Ia masih menunggu Dany keluar dari kamar. Ada ada aja nih anak. Bilangin jangan ya sama Tante Ratih? Ternyata emang bener kelakuannya itu menyebalkan. " Pagi mbak Heni." tiba-tiba suara orang yang ditunggunya terdengar. Setelah mandi pengaruh alkoholnya sudah menghilang. Pemuda itu kembali bersikap normal. " Siang" jawab Heni sambil melirik jam dinding yang sudah menunjukan angka 10. " Makasih ya udah bawa aku pulang" katanya. Tanpa dipersilahkan langsung duduk di sofa. " Akhirnya setelah sebulan kamu di Jakarta kita bertemu juga. Dan bener ya kata Mami kamu kalau kamu gak ada kerjaan. Cuma keluyuran ga jelas." Heni tampak kesal. " Ternyata mbak Heni masih sama kaya dulu ya seneng ngomel-ngomel persis Kak Diana." Ucap Dany sekenanya. " Udah deh sekarang kamu pulang sana. Mami Papi kamu pasti khawatir. Jangan buat mereka kesal terus." Heni setengah mengusir. Ia sudah mengenal Dany sejak Dany usia 2 tahun. Ia juga masih ingat ketika Dany sering menggangunya. Bocah nakal yang jahil namun apet kepada Heni dan Diana. Maminya terlalu sibuk mengurus adiknya. " Mereka ngga akan peduli" jawabnya singkat. " Ish, Kamu jangan ngomong gitu dong" Heni ga suka dengan sikap adik sahabatnya itu. " Kenyataanya memang seperti itu. Mereka lebih peduli sama Diki." Dany mulai terlihat sedih. Selama ini ia merasa tersisihkan. Sebenarnya dalam hati kecilnya Heni mengakui hal itu. Tentu saja semua keluarga lebih memilih Diki yang pintar, baik, ga macem-macem dan selalu membuat orang tua bangga akan prestasinya. Berbeda dengan Dany yang sejak SMP sering membuat ulah. Merokok, ga naik kelas, berkelahi pokonya ga bisa disebutin satu per satu. Bahkan laki-laki usia 25 tahun itu juga pernah hampir dipenjara gara-gara kasus perkelahian dan tawuran antar pelajar. " Udah sana pulang, aku juga bentar lagi udah mau pergi." Heni kembali memberikan perintah kepada Dany. " Pergi kemana?" Tanyanya kepo. " Ngapain nanya segala. Bukan urusan kamu." Jawab Heni. " Aku mau nebeng." Ucap Dany tanpa malu-malu. " Apa? Semalam udah aku bawa pulang sekarang mau dianterin. Enak aja." Heni menolak. " Beramal itu jangan taggung-tanggung. Biar jadi pahala." Dany sok menceramahi. " Oke deh tunggu sebentar aku dandan dulu ya" Akhirnya Heni menyerah. "Iya." Dany menunggu Heni sambil membuka-buka album foto yang terletak di bawah meja. Lima belas menit kemudian Heni sudah turun lagi dengan penampilan yang sudah rapi. " Ayo." Ajak Heni kepada Dany. Keduanya berada di mobil Heni meluncur meninggalkan halaman rumah Heni. " Aku antar sampai depan komplek aja ya. Kamu ntar naik ojeg aja. Aku ga mau kalau sampai Mami kamu tahu kamu nginep di rumah aku." Heni merasa enggan mengantar Dany sampai rumahnya. " Ga usah diantar ke rumah, antar ke apartemen Vicky aja. Soal semalam tenang aja Mami sama Papi ga akan tahu." Ucap Dany. " Ya udah kebetulan tujuan aku juga rada deket ke apartemen Vicky." Ujar Heni yang memang mau ke salon. Mobil melaju perlahan di tengah kemacetan kota Jakarta. " Mami kamu sering curhat tentang kamu, ia sangat kecewa dengan ulah kamu dan kebiasaan buruk kamu. Memangnya kamu ga punya cita-cita sama tujuan hidup ya." Heni mulai bicara serius dengan Dany. " Ih ngapain kamu ikut campur urusan aku." Dany tampak tidak suka. " Aku ga peduli tentang kamu, aku cuma peduli tentang Tante Ratih. Kasihan banget punya anak bengal yang suka mabuk-mabukan dan juga judi bola terus macam kamu. Kapan sih kamu mau tobat. Seharusnya di usia kamu yang masih muda ini diisi dengan hal positif. Masih untung si Vicky dan Alan walaupun berandalan tapi seengganya punya profesi dan penghasilan sendiri ga kaya kamu yang nyusahin orang tua." Heni mengutaraka semua yang disampaikan Bu Ratih tentang Dany. " Mbak Heni yang cantik gak usah sok ngatur aku ya, kamu bukan siapa-siapa aku." Dany malah cuek dengan ucapan Heni yang dianggapnya angin lalu. " Terserah, aku cuma menyampaikan keluhan Tante Ratih tentang kamu. Umur kamu udah dewasa harusnya mulai memikirkan masa depan." Seru Heni. " Udah cukup deh nasihatnya. Terimakasih." Dany tidak ingin mendengar lagi ucapan Heni. Heni juga diam karena percuma saja bicara dengan Dany. Sejam kemudian mereka tiba di parkiran sebuah apartemen. " Thanks ya." Dany membuka pintu mobil seraya mengucapkan terimakasih kepada sekretaris papinya yang sudah mengantarnya. " Ok. Tapi ingat pesan aku yang tadi ya." Heni tersenyum manis. Keduanya berpisah menuju arah tujuan masing-masing. **** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN