Bagian 9

1141 Kata
Heni kini berada di dapur ditemani oleh bi Cacih ARTnya. Selepas mandi dan berganti pakaian daster, wanita itu langsung sibuk mengumpulkan bahan-bahan untuk membuat pudding semangka yang dipesan oleh Dany. Anak bosnya yang suka memerintah seenaknya. Memang sedikit konyol permintaan Dany yang katanya sebagai ongkos Heny saat ikut pulang dengannya. Tapi Heni yang memang hobby memasak itu pasti akan membuatnya. Memasak adalah hobbynya dan baginya itu merupakan seni, maka ia akan merasa senang jika seseorang menikmati hasil karyanya. Bukankah ia juga sering membawa makanan hasil kreasinya ke kantor untuk dicicipi teman-temannya. " Bi, tolong cuciin dulu cetakannya ya." Perintah Heni kepada Bi Cacih. " Baik Bu." Jam 10 malam akhirnya selesai juga pudding buatannya. Lalu pudding semangkanya ia simpan di kulkas. Heni kemudian menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Di kamar wanita itu bukannya tidur malah sibuk di depan cermin memoles wajahnya dengan krim malam. Setelah itu ia baru menuju tempat tidurnya. Di samping tempat tidurnya masih terpajang figura dengan gambar suaminya. Wanita itu meraihnya dan memandangnya dengan penuh kesedihan. Heni selalu merindukan Abang Setelah itu ia membuka laci dan menyimpannya. Terlalu sulit untuk melupakan kepergiannya. **** " Pagi Meila, bos Dany belum datang ya?" Heni mendekati Meila yang baru saja tiba di ruang kerjanya. " Pagi juga Mbak Heni, belum tuh. Itu mbak bawa apaan?" Meila memperhatikan kotak persegi yang dibawa oleh Heni. " Ini punya bos Dany tolong simpen di kulkas ya." Heni menyerahkan pesanan anak Pak Yusuf tersebut kepada sekretarisnya. Meila menerimanya lalu ia pun menuju ruangan bosnya. Menyimpan kotak yang ternyata berisi pudding Semangka. Sementara itu Heni pergi menuju lift untuk segera ke ruangannya di lantai 6. Tak disangka saat pintu lift terbuka di dalam sudah ada Fikri assisten Pak Yusuf. " Kamu darimana?" Tanya Fikri penuh selidik. Kebetulan di dalam hanya ada mereka berdua. " Eh, mas Fikri. Aku barusan dari ruangan Dany." Jawabnya. " Oh...ngapain? Hari ini kan Dany ga kan masuk." Ucap Fikri lagi. Sesaat kemudian Heni terdiam tak percaya. Dia kenapa? Belum sempat mengajukan pertanyaan kepada assistent bosnya itu pintu lift keburu terbuka. Mereka telah sampai di lantai 6. " Ehm..Ehm...selamat Pagi Bu Heni, Pak Fikri." Seorang OB menyapa mereka. OB bernama Yanto yang tidak disukai Heni menyapa mereka. Heni memang tidak suka karena dia adalah penjilat, penguping dan mudah dibayar untuk membocorkan informasi penting. "Pagi." jawab Fikri sementara Heni cuek saja. " Tadi mas bilang Dany ga masuk emang kenapa?" Heni menanyakan Dany penuh rasa penasaran. Tentu saja ia kecewa Dany tidak masuk. Pasalnya hari ini ia sudah membawa pesanan pudding yang dibuatnya semalam dalam keadaan lelah. " Menemani Bu Ratih dan Bos Yusuf ke Bandung. Menjenguk kerabatnya yang sakit." Fikri memberikan penjelasan. Apa? terus dia ga ngasih kabar. Si Dany bener-bener kebangetan ya. Heni mendengus kesal. Bagaimana nasib puddingnya? Keduanya berpisah dan masuk ke ruangan kerja masing-masing untuk memulai rutinitas mereka. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16 lebih 30 menit. Sore ini ia akan mengambil mobilnya ke bengkel . Ia memang dari kemarin menitipkan mobilnya di bengkel Alan adiknya Ellen. Tok..tok.. Heni mengetuk pintu ruangan Fikri. Kemudian ia masuk dan dilihatnya Fikri sedang membereskan laptop nya. Rupanya ia juga akan segera pulang. " Kamu udah mau pulang?" Heni bertanya. " Iya, mumpung ga ada bos jadi pulang cepat. Nadia pasti senang." Jawabnya. " Boleh nebeng ya?" Heni merajuk. Fikri berfikir sejenak. Melihat Fikri yang tidak buru-buru menjawab Heni hendak berlalu meninggalkan Fikri. Ia mengira Fikri keberatan. " Ya udah kalau ga bisa aku naik taksi aja. Tadinya aku mau bareng Vio tapi ia lembur." Lanjutnya sambil berlalu. " Tunggu. Kok ngambek sih. Kalau mau nebeng boleh- boleh aja" Fikri tersenyum. Heni menahan langkahnya. Ya, hari ini Heni memang agak sensitif. Mungkin masih gara-gara Pudding Semangka. " Aku tunggu di luar ya. Mau ambil dulu tas. " Heni pun keluar dari ruangan Fikri. *** "Tolong anterin aku ke bengkel Alan ya. Mau ambil mobil." kata Heni ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil Fikri. Fikri yang mengemudi tersenyum. " Oke. Bu Heni."katanya " Apa kabarnya Nadia?" Heni menanyakan kabar istri Fikri yang katanya sedang hamil anak ke 2. " Alhamdulillah baik. Cuma sekarang kandungan nya baru 3 bulan jadinya masih sering morning sickness. Terus hamil kali ini ngidamnya aneh-aneh belum lagi sensitifnya minta ampun". Pria tampan itu dengan antusias menceritakan kehamilan istrinya. Dulu juga aneh kali. " Mas Fikri yang sabar aja ya." Wanita itu tersenyum geli membayangkan Nadia yang memang bawaannya sejak dulu sangat manja. " Kapan kamu mau main ke rumah? Dhea nanyain terus. Nadia juga kangen sama masakan kamu." " Kangen masakan aku? Jadi bukan kangen orangnya. Ha...ha...Nadia itu lucu ya." Heni terbahak mendengar penuturan Fikri. " Kangen orangnya juga" lanjutnya. " Ntar hari Minggu aku main ya. Aku ajak Natasya." Heni menerima ajakan Nadia istri Fikri. Hubungan mereka sebenarnya lumayan dekat. Hanya karena Nadia yang pencemburu karena ia tahu sebelum menikah dengannya, Fikri memang sempat ngejar Heni. Nadia iri kepada Heni yang menurutnya lebih cantik, seksi dan pintar. Nadia takut Fikri berpaling darinya apalagi Setiap hari mereka selalu bersama. Sehingga Heni selalu menjaga jarak agar tidak terjadi kesalahpahaman. " Anak kamu jadi pindah ke Jakarta?" Tanya Fikri perihal anak Heni. " Iya. Rencananya hari Sabtu ini Bunda Azizah yang mengantar." Heni mengabari Fikri tentang anaknya yang akan segera tinggal bersamanya di Jakarta. Anaknya yang bernama Natasya itu memang tinggal dengan ibu angkatnya di Bandung. Sudah 5 tahun ibu dan anak itu hidup terpisah. " Baguslah kamu jadi tidak kesepian lagi." Fikri setuju. " Selama 5 tahun ini aku ga bisa jadi ibu yang baik. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengannya. Aku juga ingin selalu ada untuknya. Apalagi sekarang Tasya kan sudah beranjak remaja butuh orang tua di sampingnya." Jelas Heni. " Saran aku kamu juga harus cepet nikah. Biar ada yang jagain kamu. Natasya juga kan butuh seorang ayah. Aku yakin dia juga pasti ingin seorang adik seperti teman-temannya."Fikri berkata serius. " Ha..ha...mas Fikri bisa aja. Masalahnya jodohnya belum datang mas." Tawa Heni meledak mendengar ocehan Fikri. Sejak ditinggal suaminya wanita itu fokus dengan karirnya. Sejujurnya ia masih belum bisa move on dari pria yang dikenalnya sejak bangku kuliah semester satu. Cinta pertamanya. Pria yang selalu setia dalam suka dan duka. Pria yang meninggalkan keluarga demi dirinya. " Aku serius lho. Coba kalau waktu itu kamu ga nolak lamaran aku mungkin kita udah bahagia dengan tambahan 2 anak, kamu juga ga akan menjanda seperti sekarang ini." Fikri tersenyum jahil. Mengungkit masalah pribadi antara dirinya dan sekretaris bosnya itu. " Ssttt...udah deh Mas jangan ngungkit masa lalu. Kalau Nadia dengar. Berabe tahu." Wanita itu ingin mengakhiri percakapan pribadinya. Apalagi mereka sudah hampir sampai di bengkel Alan. Apakah Fikri masih menyimpan cinta untuknya? entahlah. Ia tidak tahu dan tidak menginginkannya. Fikri memang laki-laki yang baik. Ia pun tak menampik jika ia mengaguminya. Hanya kagum. Tidak ada perasaan cinta. Ia tidak menyesal dulu pernah menolaknya dan membuatnya patah hati. **** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN