***
Beberapa waktu yang lalu, Arabella naik ke lantai atas dengan tujuan menemui Jihan yang sedang beristirahat di kamarnya.
Wanita paruh baya itu hanya ingin memastikan apakah Jihan tidur atau terjaga. Saat tiba di depan pintu kamar, ia mengetuk pintu dan tidak lama kemudian pintu dibuka oleh Jihan, yang ternyata baru selesai mandi.
Jihan berdiri di depan Arabella dalam keadaan tubuh yang hanya dililit oleh handuk putih sebatas paha, sementara rambut panjangnya digelung rapi menggunakan handuk khusus.
Arabella tersenyum hangat saat menatap Jihan. Dia berusaha menunjukkan rasa nyaman dan sopan meskipun sebenarnya dia tidak setuju dengan rencana suaminya untuk menjodohkan Jihan dengan putra mereka, Michael.
Ketidaksetujuan Arabella bukan karena tidak menyukai Jihan, tetapi karena ia merasa Jihan terlalu baik untuk putranya yang memiliki sifat tidak jauh berbeda dengan suaminya, Al. Egois, pemaksa dan kadang tidak berperasaan.
Jihan kemudian bertanya mengapa Arabella sampai repot-repot menemuinya, dan wanita paruh baya itu menjelaskan bahwa tujuannya hanya untuk memastikan apakah Jihan tidur atau tidak.
Setelah itu, Arabella memberi pesan kepada Jihan bahwa setelah selesai bersiap-siap, diharapkan Jihan segera turun ke lantai dasar.
Jihan mendengarkan pesan Arabella dengan seksama dan dengan patuh menyanggupinya. Setelah Arabella meninggalkan kamarnya, Jihan segera menuju walk-in closet untuk memakai pakaian lengkap.
Di dalam lemari, Jihan menemukan cukup banyak potongan pakaian bermacam-macam. Ada dress, blouse, dan lain-lain. Jihan tinggal memilih baju mana yang ingin dia pakai karena semua pakaian tersebut adalah miliknya yang sudah disiapkan sebelumnya oleh pelayan atas perintah Al.
Setelah memilah-milah, akhirnya pilihan Jihan jatuh pada sebuah dress berwarna krem dengan corak bunga. Dress tersebut memiliki panjang selutut, cukup nyaman dipakai oleh Jihan, dan pas dengan tubuhnya yang ramping.
Jihan kemudian beralih untuk mengeringkan rambutnya sebelum memoleskan make up tipis di wajah cantiknya. Setelah selesai, dia mengambil botol parfum di atas meja rias dan menyemprotkan cairan wangi tersebut ke beberapa titik spesifik di tubuhnya.
Sekali lagi, Jihan memperhatikan penampilannya di cermin full body di sana. Ia tersenyum tipis melihat pantulan dirinya.
Jihan terlihat anggun mengenakan dress berwarna krem dengan rambut panjang halus dan tebal yang dibiarkan tergerai bebas. Penampilannya sungguh memukau dan menunjukkan keanggunan serta kecantikan alaminya.
Selama ini, Jihan biasanya hanya mengenakan celana jeans dan kaos dilapisi oleh sweater. Selama tinggal di New York bersama Ibu tirinya, Jihan tidak lagi memperhatikan penampilannya. Dia hanya fokus pada pekerjaan dan bekerja setiap harinya.
Jihan segera keluar dari walk-in closet begitu selesai bersiap-siap. Ia menghampiri ranjang untuk mengambil ponsel yang terletak di atas nakas.
Setelah mencabut charger ponselnya, dia memutar tubuh dan melangkah menuju pintu, keluar dari kamar.
Ditengah langkah, Jihan berbisik dalam hati, ‘Aku belum mengabari Mary kalau aku sudah kembali ke London.’ Ia memikirkan sahabatnya sambil menatap fokus pada ponsel dalam genggaman tangannya. ‘Aku akan mencoba menghubungi dia nanti setelah aku selesai di bawah. Kalau aku mengirim pesan sekarang, dia pasti langsung menelepon,’ lanjutnya dalam hati.
Brugh!
Karena terlalu fokus pada ponsel dalam genggamannya, Jihan tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri menjulang di hadapannya sambil menatap dengan ekspresi dingin. Orang itu adalah Michael. Jihan menabrak d**a bidang sang lelaki hingga membuat keningnya sakit karena benturan.
"Aww!" Jihan meringis, tubuh rampingnya terhuyung ke belakang dan nyaris tersungkur ke lantai jika saja tangan lebar lelaki itu tidak sigap meraih pinggangnya.
Deg!
Jihan terkejut saat tatapannya bertemu dengan sorot tajam Michael. Dadanya berdebar sangat kencang dan tubuhnya agak gemetar.
Selama ini, Jihan tidak pernah berani bertemu tatapan dengan Michael karena lelaki itu selalu melempar tatapan benci ke arahnya.
Jihan bingung, tidak tahu mengapa Michael begitu membenci dirinya padahal ia berbeda dengan keluarganya. Jihan tidak jahat seperti mereka, tetapi Michael seolah menyamakan dirinya dengan keluarga Jihan yang buruk itu.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?!” dengan suara sinis Michael bertanya sambil menatap tajam kedua mata Jihan. Suara berat dan seraknya membuat wanita itu merinding dan tercekat.
“Jawab! Kau tidak tuli, kan?! Apa yang sedang kau lakukan di Mansionku?!” desak Michael. Suaranya tetap terdengar rendah namun terdengar mengerikan di telinga Jihan.
“Sshhtt…” Jihan meringis karena pergelangan tangannya dicengkram sangat kuat oleh Michael. “S-Sakit…” ia merintih dengan kedua mata memerah. “L-Lepas, sakit, Michael,” pinta Jihan, namun tak diindahkan oleh sang pemimpin The Phoenix tersebut.
Detik berikutnya, tiba-tiba, “Lepaskan dia, Michael!” seru Al di belakang Michael. Pria paruh baya itu berdiri di sana sambil menatap tajam putranya. Rahang tegasnya mengetat dengan sempurna menandakan betapa ia geram terhadap putranya.
Michael menarik pandangan dari Jihan, ia memutar kepala dan beralih menatap Ayahnya sebelum menyentak Jihan dengan kasar. Gadis itu segera menjauh darinya dengan wajah yang mencerminkan ketakutan yang mendalam.
"Kau yang membawa sampah ini kemari?" tanya Michael kepada sang Ayah dengan sarkas.
Deg!
Jihan tertegun mendengarnya. Ia menatap nanar pada Michael, kemudian air mata mulai menetes di pipinya. Tidak dapat dipungkiri, hati Jihan sangat terluka saat mendengar kata-kata kasar yang dilontarkan oleh Michael padanya.
"Jaga bicaramu, Michael," tegur Al sebelum melangkah dekat ke arah Jihan. "Sebaiknya segera bersihkan dirimu dan turunlah. Ada yang ingin aku sampaikan padamu," lanjut Al setelah menghentikan langkah di samping Jihan. Dengan lembut, dia meraih lengan perempuan itu. "Jangan membantah apalagi protes! Aku tidak menerima penolakan!" tegasnya pada sang putra.
Tanpa banyak kata, Al membawa Jihan menjauh dari putranya. Mereka turun ke lantai dasar bersama, meninggalkan Michael di tempatnya. Lelaki itu berdiri sambil menatap tajam pada sang Ayah dan Jihan di atas tangga.
‘Apa yang sedang direncanakan? Dan untuk apa dia membawa wanita itu kemari?’ bisik Michael dalam hati, bertanya-tanya mengenai rencana licik sang Ayah dan alasan dibalik keberadaan Jihan di kediamannya ini.
Sejenak, Michael mendesah kasar sambil menarik pandangan dari sosok sang Ayah dan Jihan. Ia kemudian melangkah lebar menuju kamarnya, segera membersihkan dirinya sebelum turun ke lantai dasar.
Tak dapat dipungkiri, Michael pun merasa penasaran dengan hal penting apa yang ingin disampaikan oleh Ayahnya, dan mengapa Jihan bisa berada di kediamannya.
Michael sama sekali tidak merasa curiga atas rencana sang Ayah yang akan menikahkannya dengan Jihan. Entah bagaimana reaksinya nanti ketika dia mengetahui semua hal yang terjadi. Tepatnya apa yang ingin sang Ayah sampaikan dan alasan kehadiran Jihan membuat Michael semakin penasaran dan gelisah.
“Jangan pernah tunjukkan air matamu di depannya, Jihan, kau dengar?” ujar Al sambil melangkah bersama Jihan menuju ruang keluarga. Tidak sedikit pun dia menoleh pada perempuan itu.
“Maaf, Uncle, aku… aku hanya belum terbiasa,” lirih Jihan membalas pria paruh baya itu. Al hanya diam, tidak memberikan respon apapun lagi hingga mereka tiba di ruang keluarga dan bergabung dengan Marcell, Kayla, dan Arabella di sana sambil menunggu Michael.
Sekitar satu jam berlalu, Michael turun dari kamarnya dan menuju ruang keluarga. Sementara itu, Arabella sigap menuju meja makan bertujuan memastikan apakah hidangan makan malam untuk mereka sudah siap atau belum.
Setelah melihat semua makanan sudah siap dan tertata rapi seperti biasanya di atas meja makan yang panjang, Arabella segera kembali ke ruang keluarga untuk memanggil mereka ke meja makan bersama-sama.
Mereka semua duduk dengan rapi di tempat masing-masing. Suasana makan malam berlangsung dalam diam. Hanya Arabella dan Kayla yang bersuara, menawarkan berbagai menu kepada Jihan karena melihat gadis itu agak canggung.
Jihan terlihat agak canggung dan takut, terutama karena Michael juga berada di sana. Arabella dan Kayla mencoba membuat suasana menjadi lebih santai dengan percakapan ringan dan tawaran makanan, namun kehadiran Michael tetap membuat Jihan merasa tegang dan tidak nyaman.
Saat Jihan tidak sengaja mengangkat pandangan, ia menemukan lelaki itu sedang menatap tajam ke arahnya, membuatnya hampir tersedak oleh makanan dalam mulutnya.
Tak berapa lama kemudian, Michael selesai lebih awal, diikuti oleh Al, lalu Marcell. Jihan, Arabella, dan Kayla belakangan. Mereka kembali ke ruang keluarga setelah benar-benar selesai makan.
Kini, di ruang keluarga, mereka semua sudah berkumpul. Jihan duduk dengan wajah tertunduk dan dadaa yang berdebar kencang. Dia tidak sanggup membayangkan reaksi Michael setelah mengetahui bahwa dirinya adalah calon istri lelaki itu.
Tak lama kemudian, Al mulai membuka suara di tengah keheningan yang mengisi waktu di antara mereka. Pria paruh baya itu menatap dingin pada Michael, menciptakan ketegangan yang semakin terasa di ruangan tersebut.
“Seperti yang sudah pernah aku bicarakan padamu sebelumnya, kamu harus segera menikah untuk menutupi semua skandal yang kau buat di publik dan supaya seluruh dewan direksi di perusahaan kita tidak akan lagi meragukan kepemimpinan mu sebagai seorang direktur utama, Michael,” ujar Al, menjeda sebentar, sedangkan Michael menatap sang Ayah dengan ekspresi dingin.
Al kembali melanjutkan, “Dan karena kau tak kunjung membawa calon pengantinmu selama tiga bulan ini, makanya aku menepati janji akan menyiapkan calon istri terbaik untukmu. Dan… wanita yang ku pilih itu adalah Jihan!”
Deg!
***