BAB 5| Perdebatan Al dan Michael

1840 Kata
*** Mendengar keputusan sang Ayah tentu saja membuat Michael terkejut bukan main. Terlebih lagi, dia tidak pernah menyangka sedikitpun bahwa tujuan sang Ayah membawa Jihan ke kediamannya ini adalah untuk dinikahkan dengannya. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Menurut Michael, keputusan Ayahnya ini adalah keputusan paling gila yang pernah dia dengar. Dengan tatapan tajam yang menusuk, Michael mengencangkan rahangnya sambil mengepalkan kedua tangannya, menunjukkan betapa emosinya begitu kuat. Suara serak khasnya terdengar ketika dia berkata, "Lelucon macam apa ini?" Matanya menyorot tajam ke arah Jihan, yang terlihat takut dengan wajah tertunduk. Michael lalu memandang Ibunya, neneknya dan kakeknya sebelum akhirnya kembali fokus pada sang Ayah. "Ini bukan lelucon, Michael. Ini adalah keputusan yang mutlak. Kau tidak berhak menolak, membantah, apalagi dengan berani menentang keputusanku. Apa yang sudah aku putuskan, maka kau wajib untuk menerima dan menjalaninya," balas Al dengan tegas, suaranya terdengar dingin. Al, pria paruh baya itu, selalu terkenal dengan ketegasannya. Dia tidak pernah berubah sejak dulu, selalu menegaskan otoritasnya dengan dingin. Sikapnya itu sering membuat Michael merasa tak berdaya dan terkekang. "Jika alasan dari pernikahan ini adalah untuk mempertahankan posisiku sebagai presiden direktur Alexander’s Corporation, maka aku dengan senang hati akan melepaskan jabatan itu. Terserah kau mau kau serahkan ke mana jabatan itu, aku tidak peduli! Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi menikahi wanita ini," desis Michael sambil melirik tajam ke arah Jihan, sebelum kembali menatap Ayahnya dengan ekspresi dingin. Di sisi lain, Arabella, Kayla, dan Marchell hanya bisa terdiam, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir mereka saat menyaksikan perdebatan sengit antara Ayah dan anak itu. Al kemudian mengangguk perlahan, "Permasalahannya bukan hanya tentang menyelamatkan posisimu di perusahaan, tetapi juga di The Phoenix!" ujarnya tegas. Michael langsung menggeram, wajahnya terlihat tegang dengan kening yang berkerut dan mata yang memicing tajam. "Apa maksudmu?!" desak Michael dengan suara yang penuh tekanan. "Jika wanita yang kau nikahi bukan Jihan, maka posisimu sebagai pemimpin The Phoenix akan dialihkan kepada Felix," jelas Al dengan tegas. Keputusannya terlihat sungguh serius dan tidak bisa ditawar. Deg! Michael terdiam, terkejut dengan keputusan ekstrim yang diambil sang Ayah. Felix yang disebut adalah cucu dari sahabat karib Marchell, namanya George. Hubungan baik antara Marchell dan George di masa lalu ternyata berlanjut hingga ke Al dan putra George, dan sekarang mempengaruhi posisi Michael sebagai pemimpin The Phoenix. Dengan tatapan serius pada putranya, Al melanjutkan, "Jika aku sudah memutuskan, maka detik itu juga kau bukan siapa-siapa di The Phoenix. Dan jangan sekali-kali kau berfikir untuk menghancurkan The Phoenix, jika tidak ingin melihat Ayahmu ini murka semurka-murkanya! Ingatlah, Michael, jika kau memberontak, maka kau akan berdiri sendiri. Sedangkan aku, ketika kau menghancurkanku, maka semua iblis-iblis itu akan berdiri dengan sendirinya di sampingku dan bersama-sama menghancurkanmu." Iblis? Tentu Michael paham siapa yang dimaksud oleh Ayahnya. Siapa lagi jika bukan Blaxton, Pratama, dan Margatama. Jika keempat bersatu menjadi sekutu, tidak ada yang tidak bisa mereka hancurkan. "Kau sungguh k*****t!" geram Michael sambil bangkit dari duduknya, menatap Al dengan pandangan yang penuh dengan kemarahan. "Michael, jaga ucapanmu, Nak," tegur Kayla dengan keras pada cucunya, mencoba menenangkan situasi yang semakin memanas. Michael tidak peduli dengan teguran dari neneknya. "Kau adalah satu-satunya Ayah yang sangat k*****t yang pernah aku temui di dunia ini!" tambahnya sambil menuding Al dengan penuh kemarahan. "Cukup, Michael!" tegur Arabella, turut menegur putranya. Lelaki itu menoleh ke arah Ibunya, tatapan kecewa terpancar dari matanya. "Jaga sikapmu, dia adalah Ayahmu. Kamu tidak boleh bersikap kurang ajar seperti itu!" Michael mengangguk kecil, namun ekspresinya masih penuh dengan kekecewaan saat menatap Ibunya. "Jadi kalian semua mendukung keputusan pria ini?!" desaknya sambil kembali menunjuk pada Al. Al terdiam, menatap sang putra dengan ekspresi datar. Marchell, Kayla, dan Arabella juga hanya diam, tanpa sepatah kata pun. Jihan semakin gemetar di tempatnya. Michael beralih pandang ke arah Jihan, yang sejak tadi hanya diam dengan pandangan tertunduk takut. Tanpa berkata apa-apa, ia tiba-tiba melangkah mendekati gadis itu, meraih tangannya dengan kasar, lalu menyeretnya bangkit dari duduknya dengan gerakan agak kasar. Jihan memekik kaget oleh tindakan tiba-tiba Michael. Gadis itu meringis kesakitan karena Michael menyakiti pergelangan tangannya. "Apa yang sudah kau lakukan pada Ayahku sehingga dia mau menikahkanmu denganku, huh?!" geram Michael sambil mencengkram kuat lengan Jihan, membuat gadis itu semakin merintih dari rasa sakit. "Ya Tuhan, Michael, lepaskan dia!" seru Arabella dengan nada panik. "Sayang, jangan perlakukan Jihan seperti itu, dia tidak bersalah," ujar Kayla dengan suara lembut. Sementara itu, Marchell hanya diam, mengetahui bahwa cucunya tidak akan mau mendengar nasehatnya. Michael tidak peduli dengan teguran dari kedua wanita tersebut. Cengkeraman yang semakin kuat di lengan Jihan membuat gadis itu hampir menangis karena rasa sakit yang dirasakannya. "Lepaskan dia! Cara bagaimana kamu memperlakukan dia akan menjadi pertimbanganku untuk menyingkirkan kedudukanmu dari The Phoenix, Michael," tegas Al membuat cengkeraman Michael seketika mengendur di pergelangan tangan Jihan. Ancaman yang begitu kuat dari sang Ayah terhadap posisinya di The Phoenix membuat Michael merasa frustasi, tak dapat berkutik. Ia bahkan rela kehilangan jabatan sebagai Presiden Direktur di Alexander's Corporation, namun tidak dengan melepaskan tanggung jawabnya dari The Phoenix. Arabella dengan sigap berdiri dari duduknya dan menghampiri Jihan, membawa gadis itu menjauh dari putranya. “Beri aku waktu satu minggu. Aku akan membawa Alea kemari,” ujar Michael, mengajukan penawaran kepada sang Ayah. “Tidak bisa!” tolak Al tanpa berpikir. “Tiga hari,” Michael tidak menyerah begitu saja, mencoba untuk tetap mengajukan penawaran demi menjaga posisinya di The Phoenix dan demi tidak menikahi Jihan. “Waktumu sudah habis dari satu bulan yang lalu, Michael. Perlu kau ingat… aku tidak begitu senang dengan negosiasi!” tegas Al, suaranya penuh dengan keputusan yang final. ‘Sial! Dia sungguh menyebalkan! Aargh!” Teriak Michael dalam hati. Dia merasa frustasi dengan sikap sang Ayah yang menurutnya sangat egois. “Dari sekian banyak wanita, mengapa kau harus memilih dia?! Bukankah kau tahu sendiri kalau Aku tidak menyukainya?!” protes Michael dengan nada sarkastik, menentang keputusan Al. “Kau tidak menyukainya, itu urusanmu. Dan aku ingin dia menjadi menantuku serta memilihnya untuk melahirkan penerus Alexander's, itu adalah hakku!” balas Al dengan tajam, menegaskan bahwa keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Michael menatap sang Ayah dengan kedua mata tajam, tangan terkepal kuat di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras kuat, dadaa bidangnya naik turun akibat deru napas yang memburu. “Menikahlah dengan Jihan. Buatlah dia melahirkan keturunan Alexander's yang akan menjadi penerusmu. Waktumu hanya 3 tahun, kalau Jihan tidak juga hamil, kau akan benar-benar aku singkirkan dari The Phoenix!” tegas Al dengan suara yang menggelegar. Deg! Sekujur tubuh Jihan sontak membeku, menegang kaku setelah mendengar ucapan Al. Dadanya berdebar kencang saat menatap Michael yang tampak semakin murka. “Aku tidak suka lelucon seperti ini, Tuan Alvino Alexander's!” sergah Michael, suaranya menggelegar penuh dengan kekesalan dan ketegangan yang memuncak. Al mengangguk pelan, “2 tahun! Setiap kali kau protes, maka waktu yang kau punya akan berkurang dengan sendirinya! Dan … bersiaplah untuk berkemas dari The Phoenix!” tegasnya tanpa peduli dengan raut wajah penuh amarah sang putra. Al dapat dikatakan sebagai Ayah yang cukup kejam dan egois. Namun perlu diketahui, Michael tak jauh berbeda dari Al. Mereka berdua adalah lawan yang cocok dalam situasi seperti ini. Terdiam dengan tatapan dingin pada sang Ayah, Michael kemudian melirik tajam pada Jihan. Gadis itu menundukkan wajah sambil meremas tangan, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Michael akhirnya melangkah pergi dari ruang keluarga menuju pintu utama Mansion. Dia keluar dan segera menuju mobilnya yang terparkir di tempat khusus. Ia masuk ke dalam mobil, memasang seatbelt, menyalakan mesin kendaraannya, dan segera memacu kendaraannya melintasi pintu gerbang yang menjulang tinggi setelah dibuka lebar oleh bodyguard yang bertugas di sana. Lelaki itu pergi entah kemana, membawa semua kekesalan yang dirasakannya terhadap sang Ayah dan juga … Jihan, gadis yang merepotkan hidupnya. *** “Uncle, aku mohon… beri aku waktu … untuk membuatnya bersedia mengenal diriku lebih jauh. Tolong jangan paksa kami seperti ini, aku mohon,” Jihan bersimpuh di hadapan Al, menyatukan kedua tangannya di dadaa sambil menatap penuh permohonan kepada pria paruh baya itu. Di belakang Jihan, Marchell, Kayla, dan Arabella terdiam dengan tatapan iba kepada gadis itu. Sedangkan Al terlihat biasa saja, tanpa sedikitpun tanda-tanda bahwa ia akan mengabulkan permohonan Jihan. “Kau meminta waktu?” tanya Al. Jihan mengangguk cepat dengan tatapan penuh harap. “Dua tahun menurutku sangat lama, Jihan. Lantas waktu semacam apa yang kau inginkan?” Deg! Jihan tertegun, memaku pandangannya pada Al, kedua matanya semakin berkaca-kaca. “Jangan menjadi seperti Michael. Semakin banyak kau mengajukan permohonan, maka waktu yang kau miliki akan terkikis dengan sendirinya. Aku sudah berbaik hati memberikan waktu 2 tahun untuk kau dan Michael. Dua tahun kau gunakan untuk membuatnya jatuh hati kepadamu, dan dua tahun Michael gunakan untuk meyakinkan hatinya dan memberi keturunan untuk Alexander's. Bukankah dalam hal ini aku bersikap cukup adil? Atau bagaimana, Jihan?” Jihan terdiam, menatap pasrah pada Al sambil menelan ludah sekedar melembabkan tenggorokan yang terasa kering. Tubuhnya yang kaku kini terasa lemas, merasakan beban yang begitu berat di pundaknya. “Daripada kau sibuk memohon seperti ini kepadaku, ada baiknya kamu persiapkan dirimu karena pernikahanmu dengan Michael akan dilangsungkan sesegera mungkin!” tambah Al dengan tegas. Jihan mengangguk pelan, tanda pasrah dan juga menyerah. Apalagi yang bisa dilakukan oleh Jihan dalam situasi seperti ini selain menuruti semua yang diinginkan oleh pria paruh baya itu. Bukankah dia sudah tidak berhak atas tubuhnya serta hidupnya? Karena bagaimanapun, Al telah membeli dirinya dengan harga yang fantastis, $100.000.000. Arabella menghela napas berat sebelum melangkah dekat ke arah Jihan yang bersimpuh di hadapan suaminya. Dengan gerakan lembut, ia menyentuh bahu sempit gadis itu dan menuntun agar berdiri. Arabella memberitahukan bahwa gadis itu sudah boleh meninggalkan ruang keluarga dan dia diizinkan untuk kembali ke lantai atas tempat kamarnya berada. Setelah kepergian Jihan dari ruang keluarga, kini giliran Marchell yang menatap serius pada putranya. “Tentu ada alasan di balik keputusanmu untuk menjodohkan Michael dengan Jihan. Dan, Dad rasa kami perlu mengetahuinya karena Michael bukan hanya milikmu, tetapi juga milikku. Dia adalah seorang Alexander's!” tegas Marchell. “Aku tidak suka dengan pilihannya yang sungguh buruk. Wanita itu tidak pantas melahirkan keturunan seorang Alexander's,” ujar Al membalas sang Ayah. “Karena wanita itu adalah putri dari musuhmu?” tebak Marchell yang tepat sasaran. “Yeah!” jawab Al dengan mantap. “Sungguh egois,” balas Marchell. Al terdiam, menatap dingin pada Ayahnya. “Dengan memaksakan Michael seperti ini, apakah kamu tidak kasihan kepada Jihan?” Arabella menatap sendu pada suaminya. “Apakah kamu tidak berpikir bahwa nanti bisa saja Michael akan menyakitinya? Bahkan tadi dihadapan kita semua, dia tidak segan menyakiti Jihan, Al.” Wanita itu menatap sang suami dengan kedua mata berkaca-kaca. Al terdiam dengan tatapan lurus ke arah istrinya. Detik berikutnya, dia berdiri dari duduknya dan melangkah sambil berkata, “Bicaralah dengan Jihan, konsep pernikahan seperti apa yang dia inginkan. Aku tunggu jawabannya besok.” Kemudian, dia berlalu pergi meninggalkan ruang keluarga tanpa mempedulikan tatapan kecewa sang istri padanya. Suasana ruangan terasa semakin tegang dengan ketegangan yang semakin terasa di udara, meninggalkan kesan yang mendalam pada semua yang berada di sana. Arabella terlihat terpaku di tempat, menyimpan kekecewaan di dalam hatinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN