Mas Dhika kenapa, sih?
Sejak kemarin, emosinya terus meledak-ledak. Aku tahu aku salah, tetapi apa perlu dia terus marah-marah seperti itu?
“Cepat! Jalannya jangan lelet!”
Mulai lagi. Nadanya meninggi, membuatku merasa serba salah.
Satu hal yang harus kusyukuri dari kemarin adalah, dia bukan tipe laki-laki yang mudah membentak. Hanya saja, nada bicaranya kurang enak didengar. Dia seperti sedang menyimpan amarah yang entah ditujukan untuk siapa. Mungkin saja aku, mungkin saja bukan.
“Cepat—“
“Jalannya licin, Mas!” volume suaraku mendadak naik. “Saya enggak pernah jalan di jalan kaya gini.”
“Tadi kenapa minta ikut?”
“Ya saya mana tahu bakal begini.”
Akhirnya, Mas Dhika menghampiriku. Aku yang sempat kesusahan berpegangan pada akar sebuah pohon—karena ada sebagian jalan yang medannya sulit, langsung berhasil naik ketika dia mengulurkan tangan dan menarikku.
“Terima kasih,” ujarku pelan yang tak mendapat tanggapan. Ketika aku hendak menarik tanganku, ternyata Mas Dhika tak melepasnya. Pegangan tangannya justru mengerat. Dia jalan cepat, membuatku terseok-seok mengikuti langkah kakinya yang lebar. Aku tidak berani protes karena takut dia akan marah-marah lagi.
“Mau nasi atau bubur?” tanyanya di sela-sela perjalanan.
“Nasi.”
Sesekali, aku menatap tangan Mas Dhika yang menggenggam tanganku. Aku tidak menangkap maksud modus di sini. Aku hanya merasa dia ingin cepat sampai di jalan utama. Sedari tadi memang aku membuat perjalanan jadi lebih lama.
“Kita makan di bawah sana. Nasi uduk dan ayam gorengnya enak,” ucap Mas Dhika begitu kami tiba di dekat mobil. Di saat yang sama, pegangan tangannya terlepas.
“Saya minta nomor rekeningnya, Mas. Nanti utang saya bakal lebih banyak.”
“Itu bahas nanti,” katanya pelan sebelum akhirnya masuk mobil. Aku segera menyusulnya, dan mobil pun mulai jalan melewati turunan panjang yang cukup curam.
Mas Dhika menghentikan mobilnya di depan sebuah warung bambu pinggir jalan. Warung itu dibangun di atas tanah padas berwarna putih. Suasananya menenangkan. Dari sini, sayup-sayup terdengar bunyi ombak yang bersahutan.
“Pagi, Bu,” sapa Mas Dhika begitu masuk warung itu. Aku diam saja di belakangnya.
“Iya, pagi. Siapa?”
“Saya, Bu. Dhika.”
Beberapa detik kemudian, terlihat seorang Ibu-ibu yang lari tergopoh dari arah dalam. “Eh, Mas Dhika, ya? Sudah lama enggak ke sini.”
“Iya, Bu. Kemarin-kemarin lagi agak sibuk.”
“Oh, pantes. Silakan duduk dulu. Ibu tak nerusin cuci piring. Barusan sudah ada yang makan, lima belas orang. kayaknya nge-camp di pantai.”
“Laris manis, Bu.”
“Alhamdulillah, Mas.”
Mas Dhika memilih meja yang duduknya lesehan. Aku menatapnya ragu, dan ternyata dia menepuk tempat di sebelahnya dengan santai.
“Mau makan atau tidak?” tanyanya.
“M-maulah!” Aku segera duduk di sebelahnya. Karena suhu mulai agak panas, aku melepas jaket dan menaruhnya di pangkuan. Mas Dhika sudah melepas jaketnya sejak di mobil.
“Mau pesan apa, Mas Dhika?” Ibu yang tadi datang lagi.
“Seperti biasa, Bu. Dua.”
“Minumnya?”
Mas Dhika menoleh. “Mau minum apa?”
“Air es aja.”
“Air es dua.” Aku agak kaget karena Mas Dhika ternyata menyamakan pesanan.
“Oh, ya. Tunggu, ya, Mas.”
“Iya, Bu.”
Selama menunggu makanan datang, aku membuka pesan dari Papa, Mama, dan Mas Davka. Ternyata pesan dari mereka tak semengerikan yang kukira. Semua pesan yang masuk intinya hampir sama, yakni mereka menyuruhku untuk lekas pulang.
Ketika aku masih sibuk membaca pesan, tiba-tiba Mas Dipta telepon. Aku segera mengangkatnya tanpa ragu. Dia sudah janji akan berada di pihakku bagaimanapun kondisinya.
“Hallo, Mas?” sapaku begitu panggilan terhubung.
“Iya, hallo. Di mana kamu sekarang?” belum-belum, nada bicara Mas Dipta sudah agak ketus.
“Rahasia. Nanti di-cepuin.”
“Aku enggak cepu. Di mana kamu?”
“Di sebuah tempat yang ...” aku celingukan sebentar. “Indah dan tenang.”
“Di mana pun itu, hari ini juga kamu harus pulang ke kota. Ke rumah Davka jangan lupa. Papa dan Mama nginap di sana.”
“Enggak mau! Nanti aku dikeroyok habis-habisan.”
“Enggak. Mereka enggak akan ngeroyok. Satu lagi, Papa sama Mama belum akan pulang kalau kamu belum nemuin mereka.”
“Kan! Udah pasti aku mau di—“
“Enggak, Des. Percaya sama aku. Dan perlu kamu tahu, kemarin Mama masuk rumah sakit.”
“Hah? Yang bener, Mas?”
“Iya. Tensi Mama naik drastis. Beliau pingsan gara-gara mikirin kamu.”
“Terus gimana?”
“Untungnya aman. Enggak pakai rawat inap. Habis ini segera kabari Mama kalau kamu baik-baik aja. Mama cuma butuh kabar itu. Ke rumah Davka boleh sore atau malam.”
“Ya udah, iya.”
“Aku tutup teleponnya sekarang. Habis ini mau meeting.”
“Okey. Nanti salamin buat Mbak Karin sama Ney kuadrat, ya, Mas.”
“Hm.”
Setelah panggilan dari Mas Dipta selesai, aku langsung menelungkupkan kepala di atas meja. Rasa bersalahku semakin besar, terutama ke Mama, tetapi di saat yang sama aku masih belum berani bertemu beliau.
“Terima kasih, Bu.”
“Iya, sama-sama.”
Mendengar itu, aku kembali menegakkan badan. Kini, di depanku sudah tersaji dua piring nasi uduk dan ayam goreng beserta sambal dan lalapannya.
Mas Dhika mengambil bagiannya dan langsung makan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku juga mengambil bagianku dan ikut makan tanpa suara.
“Mas Dhika, habis ini jangan pulang dulu, ya? Bu Harti mau ke sini.”
“Lho? Bu Harti?” Mas Dhika tampak kaget. “Ibu bilang saya sedang di sini?”
“Iya.” Ibu pemilik warung meringis, sementara Mas Dhika langsung terdiam. Aku menangkap ekspresi kesal di wajahnya.
Beberapa saat berlalu, kulihat sarapan Mas Dhika sudah habis. Punyaku masih separuh lebih karena aku kurang berselera. Aku kepikiran Mama.
“Makannya cepat habisin.”
“Enggak habis,” balasku lesu.
“Ya sudah. Habis atau tidak habis, kita pulang sekarang.“
“Tapi tadi disuruh nunggu—“
“Enggak perlu—“
“Mas Dhika!” tiba-tiba, terdengar seseorang memanggil. Aku dan Mas Dhika kompak menoleh.
Kini, terlihat seorang Ibu-ibu dan perempuan muda—yang kuduga adalah anaknya— baru saja turun dari motor. Senyum cerah tampak jelas di wajah mereka.
“Aduh, senangnya saya lihat Mas Dhika akhirnya main ke sini lagi.”
Mas Dhika mendadak merapatkan duduknya padaku. “Iya, Bu Harti.”
Ah, jadi beliau ini Bu Harti.
“Sini, Win, jangan diam di situ!” Ibu itu— maksudku Bu Harti— menyuruh anaknya mendekat. “Cepet!”
“Iya, Buk. Bentar!”
Anak Bu Harti tampak sedang mengaca di spion motor. Wajahnya cantik sekaligus manis di saat bersamaan.
“Pagi, Mas Dhika,” sapa perempuan itu ramah. Dia duduk di sebelah Ibunya.
“Iya.” Mas Dhika hanya mengangguk sekilas.
Perempuan itu menatapku, dan aku langsung tersenyum seramah yang kubisa. Selama dua tahun lebih hidup di Jogja, aku belajar banyak tentang budayanya. Salah satunya, hidup di sini tidak boleh terlalu individualis.
“Siapa dia, Mas?” tanya perempuan itu sambil melirikku.
“Calon istriku, Win.”
Uhuk-uhuk!
Aku yang baru saja minum, seketika tersedak. Karena air yang kuminum banyak, tersedakku agak parah. Mas Dhika segera menyerahkan sapu tangannya dan menepuk-nepuk punggungku.
“Hati-hati, sayang.”
Sayang?
What the—
Aku menatap Mas Dhika minta penjelasan, dan dia langsung mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Saya anggap utangmu lunas kalau kamu mau ikuti alur yang saya buat. Saya butuh bantuanmu.”
Deal!
Diam-diam, aku manutkan jari kelingkingku dan jari kelingking Mas Dhika tanda setuju.
“Es-nya masuk duluan, Mas. Jadi kesedak.” Aku sengaja membuat nada bicaraku agak merengek.
“Mata kamu sampai berair gitu. Hati-hati, makanya.”
Setelah napasku normal, aku menatap Bu Harti dan anaknya bergantian. “Maaf, Bu, Mbak. Saya minum kurang hati-hati. Perkenalkan, saya Desya, calon istrinya Mas Dhika.”
“A-ah ... iya, i-iya. Lama enggak ke sini, Mas Dhika udah bawa c-calon aja.” Mendengar bagaimana Bu Harti agak tergagap, dia pasti sangat kaget. Anaknya juga seketika diam membisu.
“Belum lama ini, kok, Bu.” Aku tersenyum lagi. “Ini lagi diajak liburan.”
“Oh, gitu.”
“Ya sudah, Bu. Kami pamit dulu. Soalnya setelah ini masih ada acara.” Mas Dhika tiba-tiba berdiri, jadi aku juga ikut berdiri.
“Mari, Bu.”
“I-iya, Mas, Mbak.”
Setelah Mas Dhika membayar, dia segera merangkulku dan mengajakku menuju mobil. Dia membukakan pintu, juga melindungi kepalaku agar tak terbentur. Setelah itu, dia mengitari depan mobil dan menyempatkan mengangguk pada pemilik warung dan Bu Harti.
Tepat setelah Mas Dhika masuk mobil, mata kami bersitatap. Seketika, suasana menjadi sangat canggung.
“Ehm!” Mas Dhika berdehem pelan. “Terima kasih.”
“Iya, sama-sama.”
Ketika akhirnya mobil pergi dari area warung, entah kenapa, tiba-tiba senyumku mengembang secara perlahan.
***
“Mas, kayaknya saya tetap mau bayar utang, deh. Anggap saja bantuan yang di warung tadi untuk membalas pertolongan Mas yang dulu saat saya dikejar preman. Yang ini saya mau bayar. Penginapan, makan malam, sarapan, sama belanja kemarin sore. Tranportasi pulang pergi juga dihitung. Oh, sama piring pecah juga. Total berapa?” tanyaku ketika melihat Mas Dhika keluar kamar menenteng tas ransel. Kami akan pulang ke Jogja sekarang juga.
“Tidak usah.”
“Jangan begitu. Saya ngerasa utang budi, nanti.”
“Saya tidak menganggap itu utang budi.” Mas Dhika keluar penginapan, lalu berhenti di depan pintu. “Cepat keluar, pintunya mau saya kunci.”
Aku menurut. Setelah mengunci penginapan, Mas Dhika meletakkan kunci itu di bawah salah satu pot bunga yang terletak di teras. Dia juga menelepon seseorang, sepertinya petugas yang bertanggungjawab atas penginapan ini.
“Masuk mobil. Sepertinya sebentar lagi hujan.”
“Mas, saya serius mau bayar utang.” Aku masih tidak menyerah. “Please ...”
“Saya tidak menghitung berapa banyak yang sudah saya keluarkan untuk kamu, jadi saya tidak tahu.”
“Satu juta cukup?”
“Sepuluh juta,” katanya sambil memasukkan tas ransel di jok belakang.
“Oke. Mana rekeningnya?”
Mas Dhika seketika menatapku dengan mata menyipit. “Kamu yakin akan transfer sepuluh juta?”
“Iya.” Aku mengangguk mantap.
“Semudah itu?”
“Lalu berapa? Mas Dhika minta sepuluh juta, itu enggak masalah. Penginapan, tranportasi, makan, belanjaan, kalau dihitung lagi memang banyak. Saya yang keterlaluan cuma nawarin satu juta.”
“Sudah, lupakan.”
“Loh, Mas! Please ... saya enggak mau berutang budi. Belum tentu kita ketemu lagi. Saya enggak akan nganggep Mas Dhika perhitungan, kok. Saya sudah berterima kasih banyak karena ditolong.”
Mas Dhika akhirnya mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukkan sebuah nomor rekening padaku. “Tidak perlu sepuluh juta. Tadi saya hanya asal bicara. Satu juta saja, seperti yang kamu tawarkan tadi.”
“Beneran?”
“Ya. Cepat!”
Aku segera mengetik nomor rekeningnya, lalu membuka m-banking. Mas Dhika sudah masuk mobil, jadi aku buru-buru menyusulnya. Sepertinya sebentar lagi memang akan turun hujan. Awan di atas sana sudah terlihat gelap dan menggulung.
Aku meliriknya sesaat sebelum akhirnya mengetik nominal lima juta. Satu juta rasanya terlalu sedikit. Tadi aku asal bicara sampai tidak memperhitungkan dengan benar.
“Radhika Bagaspati?” aku menoleh, dan Mas Dhika mengangguk.
Wah ... namanya bagus!
Mas Dhika menyalakan mesin mobil, memanasinya sebentar, lalu mobil mulai berjalan meninggalkan penginapan.
“Saya sudah kirim uang.”
“Ya.”
Mobil baru jalan lima menitan ketika tiba-tiba hujan turun. Sekali turun rintiknya langsung deras. Mobil melaju dengan lambat karena jalanan jadi licin. Belum lagi, medannya juga tidak ramah.
Suhu di dalam mobil semakin lama semakin dingin. Itu membuatku merapatkan jaket yang kukenakan. Namun, tiba-tiba aku ingat sesuatu.
“Ya ampun, Mas!”
“Kenapa?”
“Jaketnya masih saya pakai. Gimana, ini? Saya enggak mungkin ngembaliin dalam keadaan kotor. Gimana kalau—”
“Pakai saja. Itu buat kamu.”
Mendengar itu, mataku langsung mendelik. “S-serius buat saya?”
“Saya tidak suka mengulangi kalimat yang sama.”
“Ya sudah. Makasih!”
“Hm.”
Meski kebesaran, aku tidak keberatan jika harus menyimpannya. Jaket ini bagus. Aku suka modelnya. Andai lebih kecil, aku pasti akan sering memakainya.
Aku menunduk, melihat-lihat lebih detail jaket yang kupakai. Gerakan tanganku— yang sedang meraba— seketika berhenti begitu menemukan dua huruf di ujung jaket bagian dalam.
D’D
Selain dua huruf D, ada juga dua emoticon smile di sebelahnya.
Kenapa jaket ini berinisial D dan D? Andai memang huruf D adalah inisial nama, sudah pasti bukan Dhika dan Desya.
Lalu siapa? Kenapa pula Mas Dhika semudah itu memberikan jaket ini padaku?
***