5. Belum Genap Sehari

2375 Kata
“Di mana kosmu?” tanya Mas Dhika begitu mobil memasuki area Jogja kota. Aku sempat ketiduran di mobil, tahu-tahu ketika bangun sudah hampir sampai. Ternyata kota juga hujan deras. Terlihat dari genangan air di jalan yang belum sepenuhnya surut. “Kos saya di dekat warung makan yang kemarin, Mas.” Mas Dhika menoleh. “Warung Makan Raja Bagus?” “Iya. Kos saya masuk gang sampingnya, mungkin lima ratus meteran.” “Oke. Kamu turun di warung itu dan pulang sendiri.” “Siap!” Lima belas menit belalu, akhirnya mobil berhenti di depan Warung Makan Raja Bagus. Bicara warung itu, aku baru beberapa kali makan di sana karena selalu ramai. Memang, kuakui masakannya enak. Namun, aku bukan tipe orang yang rela antri hanya demi makan. “Sekali lagi terima kasih banyak, Mas Dhika,” ujarku begitu turun dari mobil. “Ya.” Aku segera berlari menuju gang dan mulai jalan pelan-pelan. Kupikir Mas Dhika akan pergi, tetapi ternyata dia masuk warung itu. Aku diam sebentar. Kemarin dia juga keluar dari warung itu bersama perempuan yang dia sebut ‘Mbak’. Apa warung ini milik kerabatnya? “Ah, entahlah!” Hal yang pertama kali harus kulakukan begitu tiba di kos adalah ‘membunuh’ Jenna. Kalau dingat lagi, sikapnya kemarin benar-benar menjengkelkan. “Jenna!” aku menggedor pintu kamarnya yang hanya berjarak dua pintu dari kamarku. Harusnya anak itu ada di kamar karena hujan begini dia tidak mungkin kelayapan. “Desya, ya?” “Cepet bukain pintu!” Hanya dalam hitungan detik, pintu kamar Jenna sudah dibuka dari dalam. Saat itu juga, aku langsung menyerangnya. Dia malah tertawa sambil terus berusaha menghindar. “Pengkhianat, kamu, Jen!” “Itu demi kebaikanmu. Betewe, kemarin Mamamu pingsan. Papamu kelihatan panik banget.” Setelah lelah menyerang Jenna, aku menghempaskan badan di kasur lalu memejamkan mata sejenak. “Yang kemarin kaya ngimpi rasanya.” “Kabur kemana kamu? Kelaparan atau enggak?” “Jangan tanya itu dulu. Aku lagi kepikiran nanti malam harus ke rumah Mas Davka.” “Ya memang harus. Kamu ini dikasih enak malah menyulitkan diri.” Aku tak menyahut lagi. Mau dijelaskan berkali-kali pun, Jenna tidak akan paham apa yang kurasakan. Dia hanya melihat dari sisi aku yang serba kecukupan secara finansial, tetapi tidak dari sisi yang lain. “Oh iya, kamu pulang sama siapa, Des? Dan semalam tidur di mana?” “Rahasialah! Kepo aja, lu!” “Terus, terus, jaket ini punya siapa? Gede amat. Enggak mungkin punya kamu, kan?” “Punya Ayang.” Aku menjawab asal. “Pengen?” “Hahahaha!” Jenna malah tertawa dengan kerasnya. Dia sampai menutup mulut karena kelepasan. “Ayang yang mana lagi? Kebanyakan ngaku-ngaku, sih, jadi sulit dipercaya!” Aku terkekeh. Jenna benar. Aku memang kadang suka asal bicara. Saat ini aku tidak punya pacar. Mantanku hanya satu, dan dia tinggal di Jakarta. “Ya intinya ini punya orang baik yang nolongin aku. Udah baik, ganteng, pula!” “Jadi semalam kamu tidur sama cowok?” “Iyalah— eh enggak!” “Aku laporin Mas Davka, ah—“ “Woy, k*****t! Enggak, enggak. Barusan aku asal ngomong aja. Oke, aku jujur. Yang nolongin aku emang cowok, dan jangan suruh aku cerita sekarang karena panjang. Tapi yang jelas, tidur di sini maksudnya di kamar yang berbeda. Serius, semalam aku enggak macem-macem. Aku berani sumpah kalau perlu.” Jenna akhirnya mengangguk. “Oke. Di era gempuran pembelaan orang yang udah having s*x sebelum nikah bilang value perempuan bukan hanya dari keperawanan, kita tetap harus junjung tinggi prinsip hanya akan having s*x setelah menikah.” “Iya, iya. Kamu kan tahu, dulu aku mutusin mantanku gara-gara dia ngajak anu.” “Padahal ganteng banget mantanmu. Udah ganteng, tajir pula.” “Ya justru karena dia ngerasa ganteng dan tajir, jadi seenak udel ngajak begituan. Emang aku apaan? Big no!” “Dipertahankan, Desya-ku sayang. Meski kita belum sepenuhnya suci, tapi bukan berarti kita menjerumuskan diri.” “Siap, Ustadzah Jenna.” Jenna terbahak, lalu dia ikut tiduran di sebelahku. Suasana kamar Jenna mendadak hening untuk beberapa saat. “Tapi, Jen ...” “Apa?” “Yang nolongin aku ini beneran gantengnya enggak ngotak. Beneran seganteng itu.” Aku bicara dari hati. Secara objektif, Mas Dhika memang sangat tampan. “Ganteng mana sama kedua kakakmu?” “Ya ganteng dialah! Kedua kakakku mana ada ganteng-gantengnya!” “Oh ... selain rabun, kamu ini emang terverifikasi adik durhaka.” Jenna menoyor lenganku. “Tapi dia serius enggak ngapa-ngapain kamu, kan?” “Boro-boro ngapa-ngapain, yang ada dia marah-marah mulu aku ikutin ke mana-mana.” “Aku kok mendadak kepo. Cerita, dong, Des. Please, aku pengen denger.” “Tagih lagi kalau kita lagi longgar. Habis ini aku mau mandi, tidur, lalu jam setengah tujuh mau ke rumah Mas Davka. Aku harus menyiapkan mental dulu.” “Enggak usah lebay! Nyiapin mental apanya? Keluargamu semuanya baik. Kamunya aja yang prik!” “Aku enggak bilang mereka enggak baik, Jen, tapi mereka kurang mau ngertiin aku.” “Kurang gimana, sih?” “Ah, capek ngomong masalah ini ke kamu. Kamu enggak akan pernah tahu rasanya!” Aku bangkit dari ranjang Jenna, lalu meraih kresek berisi baju kotor yang tadi kuletakkan sembarangan. “Aku naik dulu. Jangan ganggu!” “Okey. Nanti selamat dikeroyok, Baby!” Sekali menyebalkan memang menyebalkan! Aku meraih salah satu baju Jenna di gantungan, menggulungnya, lalu melempar benda itu ke wajahnya. “Dasar teman enggak ada akhlak!” *** “Sudah puas mainnya, Des?” Mama bertanya pelan. Aku mendekat, lalu kuraih tangan beliau. Beliau tampak pucat. “Aku minta maaf, Ma.” “Kamu ini kenapa setakut itu lihat Mama sama Papa datang?” Aku nyengir. “Ya kenapa lagi? Pasti aku dikejar-kejar soal tesis.” “Itu memang salah satunya, tapi kan ada alasan lain. Mama juga kangen kamu. Jogja - Jakarta cuma sejam, tapi kamu udah enggak pulang hampir setengah tahun.” Aku nyengir lagi. “Jujur, aku betah banget di Jogja, Ma.” “Atau mau jadi orang Jogja juga kaya kakakmu?” “Kalau emang jodohnya orang sini, boleh aja, sih.” “Jangan-jangan, kamu punya pacar di sini?” Aku buru-buru menggeleng. “Enggak, Ma. Aku enggak ada pacar. Serius!” “Jadi sejauh ini pacarmu cuma si Gavin?” “Gavin udah mantan, kali, Ma. Bukan pacar lagi. Udah lama pula putusnya, sebelum aku wisuda S1. Dia jadi mantan pun udah expired!” “Setelah Gavin, belum ada lagi yang deketin kamu?” Mama tersenyum. “Belum, Ma.” “Gimana mau ada yang deketin? Kalakuan tiap hari tantrum.” Mas Davka tiba-tiba menyahut. Dia datang membawakan teh untuk Mama. “Mas ini sekate-kate kalau ngomong. Kalau aku mau, udah banyak pacarku. Aku bilang belum karena yang deketin aku banyak yang modus.” “Daripada bahas cowok, mending tesismu itu cepet dikelarin. Jangan nunda-nuda lagi.” “Aku usahain—“ “Ya dipaksa, Des. Atau nunggu Papa menghubungi dosenmu—“ “Eh? Emang bisa?” “Mudah bagi Papa buat tahu siapa pembimbing tesismu.” Suara Papa membuatku menegang. Aku menoleh, beliau datang membawa satu piring potongan buah pear. Beliau menyerahkan piring itu ke Mama. “Kamu kira Papa akan diam saja kalau kamu susah diatur?” Aku segera menghampiri Papa yang kini duduk di sofa. “Papa enggak berniat nemuin Pak Arman, kan?” Pak Arman adalah pembimbing tesisku. Beliau sudah tua, mungkin hanya beberapa tahun di bawah Papa. “Tergantung kamu.” “Pa—“ “Papa mau lihat m-banking-mu.” Tiba-tiba, Papa mengulurkan tangan. Aku refleks bergeser menjauh. “Buat apa, Pa? Kok tiba-tiba bahas m-banking?” “Cepat, hapemu kasih ke Papa. Papa cuma mau lihat.” Melihat raut wajah Papa yang serius, aku langsung menyerahkan ponselku. “Ya dibuka dulu aplikasinya, lalu tunjukin saldonya.” Aku menurut. “Tinggal segitu, Pa. Bulan ini kan belum kiriman.” “Masih lumayan.” “Berapa, Mas?” tanya Mama. “Masih dua puluh tujuh.” Mama manggut-manggut. “Beneran masih lumayan.” “Tapi bulan ini Papa belum tranfer, lho. Mau kapan?” aku mendekat lagi ke arah Papa. “Papa enggak akan transfer lagi sampai kamu dinyatakan lulus.” “HE?” Aku mendelik kaget. “Yang bener aja, Pa?” “Kenapa? Itu kan masih banyak. UKT semester ini toh udah dibayar.” “Tapi kos belum.” “Ya tinggal bayar. Sebulan kan cuma satu setengah juta. Kamu bayar lima bulan juga masih sisa banyak.” “Pa, please, deh!” “Kalau kamu sidang cepat, uang itu lebih dari cukup. Katamu, di Jogja apa-apa murah?” “Tapi, Pa—“ “Enggak ada tapi. Kalau mau Papa transfer, sidang dulu. Bahkan misal kamu minta mobil baru pun akan langsung Papa kasih. Kata Davka, mobilmu mulai banyak rewel?” Aku diam. Ancaman macam apa, ini! “Kalau ngotot mau nunda lulus, ya terserah. Tapi ingat, Papa enggak akan transfer uang lagi. UKT semester depan, kos, uang makan, lain-lain, tanggung sendiri.” Rasanya aku kehabisan kata-kata. Papa ini kejam sekali! “Oh iya, kalau kamu merasa aman karena bisa minta kedua kakakmu, mereka enggak akan kasih. Dipta berada di pihakmu? Itu cuma biar kamu mau pulang. Jangan lupa, kamu juga bohongin dia waktu dia kabur ke Korea.” Aduh! Iya juga! Kenapa aku melupakan itu? Jangan-jangan Mas Dipta sedang balas dendam! “Jangan diam aja, Des.” Mama bersuara lagi. “Papamu lakuin itu demi kebaikanmu.” “Tapi kalau aku bijak gunain uang ini, aku bebas lulus kapan aja, kan, Pa?” Papa mengangguk. “Iya. Terserah. Tapi kalau sampai kena DO, namamu Papa coret dari kartu keluarga.” “Pa—“ “Papa enggak pernah main-main sama pendidikan anak-anak. Ingat itu baik-baik.” *** Aku harus cari kerja. Itu adalah hal yang selalu aku pikirkan sejak semalam. Aku sampai sulit tidur dan baru bisa memejamkan mata kisaran jam tiga pagi. Kalau hanya mengandalkan uang yang tersisa di rekeningku, mau tidak mau aku harus lulus dalam kurun waktu kurang dari satu semester. Namun, tidak, aku belum siap. Aku merasa itu terlalu cepat. Kalau hanya bicara uang kos dan makan, dua puluh tujuh juta bisa untuk berbulan-bulan. Aku bisa pindah kos yang lebih kecil untuk mengurangi biaya. Untuk makan pun aku tidak perlu khawatir karena di sini banyak makanan murah sampai ada beberapa yang kupikir tidak masuk akal. Namun, kalau sudah bicara UKT, aku mendadak pusing. UKT-ku sendiri sudah dua digit, yakni sepuluh juta. Sebetulnya sepuluh juta itu sangat kecil kalau Papa masih mau mengirim uang bulanan, tapi kalau benar-benar stop, jelas jadi banyak sekali. Belum kalau nanti aku benar-benar mulai penelitian. Biaya yang dibutuhkan pasti semakin besar. “Papa ini memang keterlaluan!” Aku menendang-nendang kaleng yang kutemukan tergeletak sembarangan di Jalan. Aku baru saja dari bandara mengantar Papa dan Mama pulang. Aku sengaja minta Mas Davka menurunkanku di indomaret terdekat dari kosku karena butuh beli cemilan. Sebelum turun, Mas Davka menyelipkan uang satu juta di saku jaketku. Namun, aku justru curiga itu adalah uang terakhir yang dia berikan padaku sebelum benar-benar tidak memberiku uang sama sekali sampai aku lulus nanti. Kadang-kadang, Mas Davka bisa sangat tega padaku. “Salamin buat Om Dimas dan Tante Shila, ya, Al!” “Oke, Mas. Siap!” Aku refleks menoleh ketika mendengar dua suara itu. Pasalnya, keduanya terdengar familiar di telingaku. Ternyata ada Al. Dia bersama seorang laki-laki yang kini sedang berjalan masuk ke warung makan. Aku tidak bisa lihat wajahnya karena posisinya memunggungi. Aku segera membuang kaleng ke tempat sampah, lalu berlari menuju halaman warung makan. “Al, Al, Al! Tunggu!” “Siapa— oh, kamu. Ngapain kamu di sini?” Al mengurungkan niatnya masuk mobil. “Kosku dekat sini kalau kamu lupa.” “Oh, iya. Kenapa?” “Ya enggak papa. Manggil aja.” “Gajelas!” Ketika Al hendak kembali masuk mobil, aku menahan pintunya. “Kenapa, Des?” “Bilangin Om Dimas, Al. Aku butuh kerjaan. Please ... gaji UMR Jogja pun aku mau.” Mendengar itu, Al langsung menutup pintu mobil. Dia batal masuk. Bicara Al, dia adalah anak dari adik ketemu gedenya Mama. Kami tidak ada ikatan darah, tetapi hubungan keluarga kami cukup dekat. “Kamu dibuang Om Dilan?” tanyanya dengan alis menekuk. “Iya.” “Yang bener kalau ngomong—“ “Bener! Seribu persen. Aku ikut kamu pulang, ya? Aku bilang sendiri, deh, ke Om Dimas.” “Enggak, enggak, enggak!” Al menghalangiku yang hendak masuk mobilnya. “Aku habis ini bukan mau pulang. Aku masih ada urusan.” “Jahatnya!” “Kalau mau ngobrol serius, tunggu lusa. Dua hari ini aku full jadwal.” “Halah! Pengangguran aja sok-sokan full jadwal.” Al memang pengangguran. Dia baru wisuda magister bulan lalu dan saat ini masih nganggur. Sepertinya, salah satu alasan kenapa Papa dan Mama semakin mendorongku untuk cepat lulus ya karena mereka tahu Al sudah wisuda. Dia lulus jauh sebelum itu karena wisuda periode kemarin diundur lama. “Lebih tepatnya, jadwal kencan.” Al terkekeh. “Pamer, terus! Diputus, sukurin!” “Semoga mulutmu cepat dapat hidayah.” Setelah mengatakan itu, Al membuka kembali pintu mobilnya. “Al, please ...” “Aku serius, Des. Kalau butuh ngobrol sesuatu yang penting, ngomongnya tunda dua hari lagi. Kalau sekarang, aku enggak bisa.” Aku mengangguk. “Ya udah, oke.” Akhirnya, Al masuk mobil dan pergi meninggalkanku. Aku tebak, pacarnya pasti sedang pulang ke Jogja. Pejuang LDR sepertinya memang harus pandai-pandai meluangkan waktu ketika bisa bertemu. “Oke, aku harus sabar dua hari lagi. Sekarang pulang, lalu tidur.” Baru saja aku balik badan hendak pulang ke kos, aku sudah berjengit kaget dan refleks mundur dua langkah. Mataku melebar begitu melihat siapa yang saat ini berdiri satu meter di depanku. “Kamu kenal dengan Al? Kamu siapanya?” Mataku mengerjap. “Kok Mas Dhika di sini?” Iya, yang berdiri di depanku adalah Mas Dhika. Sekali lagi, MAS DHIKA. Saat ini bahkan belum genap dua puluh empat jam sejak kami berpisah kemarin, tetapi kami sudah bertemu lagi. “Saya tanya, kamu siapanya Al?” “Eee ... saya kakaknya Al, Mas. Iya, Al itu adik saya.” Mata Mas Dhika seketika menyipit. “K-kakaknya Al?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN