3. Gara-gara Ombak

1626 Kata
Aku sudah bangun sejak pukul tiga pagi. Aku tidak bisa tidur lagi karena tiba-tiba kepikiran Papa dan Mama. Ponselku mati sejak sore, jadi aku tidak tahu kabar apa pun di luar sana. Aku menebak saat ini berada di Gunungkidul. Itu karena pantainya berada di selatan dan pasirnya berwarna putih. Perjalanan sampai titik ini juga kurang lebih tiga jam, jadi kurasa tidak sampai sejauh itu. Sebetulnya butuh charger, tetapi di kamar ini tidak ada. Yang tersedia hanya colokan tiga lubang. Aku memutuskan untuk turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Aku perlu sikat gigi dan cuci muka agar lebih fresh. Saat ini sudah pukul setengah lima kurang lima menit. Hampir dua jam aku hanya diam menatap langit-langit kamar. Tepat setelah aku keluar dari kamar mandi, aku mendengar bunyi benda-benda bergesekan di luar. Itu artinya, laki-laki itu— maksudku Mas Dhika, sudah bangun. Iya, sekarang aku ingat namanya memang Dhika. Dhika siapa, aku belum tahu. “Mas Dhika ...” panggilku pelan ketika keluar kamar dan melongokkan kepala. “Apa?” Aku berjengit kaget karena tiba-tiba si empu nama sudah berdiri menjulang di depanku. “Ya ampun, ngagetin aja!” “Mau apa panggil-panggil?” “Saya boleh pinjem charger? Please, hape saya mati dari kemarin sore.” Lagi-lagi dia tak menjawab. Akan tetapi, dia masuk ke kamarnya dan keluar lagi dalam hitungan detik. Senyumku langsung mengembang begitu melihat dia membawa charger di tangan. “Cocok atau tidak?” “Sebentar, saya cek—oh, cocok. Saya pinjam, ya, Mas!” “Ya.” Ketika aku hendak menutup pintu lagi, ternyata Mas Dhika masih berdiri di depan kamarku. Kedua alisku terangkat. Bingung. “Jam lima saya akan keluar sampai mungkin jam tujuh atau delapan. Kalau lapar, ada makanan di kulkas. Gunakan barang-barang dengan hati-hati. Jalan juga lihat-lihat. Jangan merusak lagi seperti tadi malam.” “Mau ke mana pergi sepagi itu?” “Saya perlu menjawab?” “Tinggal jawab apa susahnya?” “Saya mau ke pantai.” “Pantai? Pantai mana?” “Belum bernama.” “H-hah? Memangnya ada?” Mas Dhika mengedikkan bahunya, lalu pergi ke arah dapur. Aku menyolokkan charger ke ponsel cepat-cepat, lalu keluar lagi menyusulnya. “Jadi saya ditinggal sendiri?” tanyaku begitu duduk di kursi tinggi samping pantri. Saat ini Mas Dhika sedang memanaskan air. “Hm.” “Enggak takut saya maling barang-barang berharga?” “Apa yang harus saya takutkan dari cewek yang memiliki sendal jepit merk dior?” Mendengar itu, aku langsung menunduk menatap sadalku. Dia pasti menyadari ini karena untuk masuk ke kamar yang kutempati, aku harus lepas sandal di depan pintu. “A-ah, ini KW, kok. Ini KW!” “Jam tangan piaget itu juga KW?” Mas Dhika melirik jam tanganku yang tergeletak di pantri. “Eh, saya lupa bawa masuk!” aku segera mengambil jam tangan itu. “T-tentu, Mas! Ini KW. KW seribu. Ini beli di Tanah Abang.” Aku meringis, lalu memasukkan jam tanganku ke dalam saku celana. Kalau jam ini sampai hilang, aku bisa kena omel Mama empat puluh hari empat puluh malam. Jam tangan ini kado wisuda S1 dari beliau dan edisinya sangat terbatas. Aku juga sangat menyukainya, makanya sering kupakai ke mana-mana. “Baru kali ini ada orang pakai barang KW, tapi sebangga itu.” “Bukan bangga, tapi jujur.” Aku nyengir. “Jadi, Mas Dhika enggak takut saya maling? Saya enggak punya uang sepeser pun saat ini.” “Ambil saja kalau kamu mau.” Tiba-tiba, satu cangkir teh hangat tersaji di depanku. “Tehnya buat saya?” “Tidak mau?” “Maulah, mau! Mau banget. Makasih.” Pagi ini sangat dingin. Tidak mungkin aku menolak teh hangat yang tinggal minum. Mas Dhika terlihat membuat teh lagi, mungkin itu untuk dirinya sendiri. Ternyata benar. Dia mengambil cangkir teh itu, lalu berjalan menuju kamarnya. “Mas, kalau saya ikut apa boleh? Saya takut sendirian di sini. Saya enggak tahu tempat ini sama sekali.” Mas Dhika berhenti. Dia menoleh dan menatapku sesaat. “Jam lima tepat. Telat satu menit saja, saya tinggal.” *** “Cepat, jangan lama!” Aku menggeram tertahan. Padahal masih pukul lima kurang lima menit, tetapi aku sudah diburu-buru untuk keluar. “Iya, ini saya lagi cabut hape.” Karena aku tidak membawa apa pun kemari, aku keluar hanya membawa ponsel di tangan. Sekalian aku mengembalikan charger. Lumayan, ponselku sudah terisi lima puluh persen lebih sedikit. “Ini charger-nya. Terima kasih.” “Ya.” Begitu keluar penginapan, angin langsung menerpa wajah. Rasa dingin seketika menusuk tulang. Boro-boro pakai jaket, saat ini aku bahkan pakai kaos pendek. Cardiganku kotor, aku tidak bisa memakainya lagi sebelum dicuci. Kemarin sore aku memang mengambil kaos pendek dua biji karena saat itu hawanya panas—mungkin karena aku belum mandi dan habis jalan agak jauh. Aku tidak tahu kalau besoknya akan keluar sepagi ini. Matahari bahkan belum terbit. Langit juga masih tampak gelap. “Saya duduk di mana?” tanyaku begitu menuruni tangga teras dan berdiri di samping mobil. “Seperti kemarin saja. Bukannya nyaman di bagasi?” Manusia ini memang keterlaluan! “Ya sudah, saya di belakang. Kemarin saya masuknya lewat pintu ini—“ “Saya bukan supir. Duduk depan!” Aku tersenyum. “Siap.” Begitu masuk mobil, bukannya hangat malah rasanya semakin dingin. Aku memeluk diriku sendiri dan menggesekkan telapak tangan dengan lengan. Setidaknya begini lebih hangat. “Pakai itu.” Tiba-tiba, di pangkuanku sudah ada jaket jeans warna hitam. “Jangan salah paham. Kalau kamu sampai kena hipotermia, saya juga yang repot.” Aku menoleh. Mas Dhika ternyata sedang mengenakan jaket. Warnanya coklat tua. “Terima kasih, Mas.” Sudah bisa ditebak, lagi-lagi aku terabaikan. Tak apa, aku baik-baik saja. Mobil akhirnya mulai berjalan meninggalkan penginapan. Selama perjalanan menuju pantai yang katanya tak bernama itu, aku terus menatap jendela. Perlahan-lahan keadaan sekitar mulai terlihat. Di daerah sini, pemukiman warga tampak bergerombol sekaligus berjarak dengan pemukiman lain. Aku menaikkan resleting jaket yang kukenakan. Sepertinya jaket ini milik Mas Dhika. Selain terlalu besar di badanku, wanginya juga sama persis dengan aroma mobil ini. Benar-benar mirip dengan aroma Mas Davka versi lebih lembut. Aku sangat hafal wangi kakak sulungku karena aromanya sudah begitu dari dulu. Mungkin sejak dia kenal apa itu parfum. Kisaran lima belas menit kemudian, mobil berhenti di sebuah lahan kosong. Melihat Mas Dhika turun, aku juga ikut turun. “Pantainya masih jauh, Mas—“ “Hanya dengan jalan kaki untuk sampai sana.” “A-ah. Oke.” Untuk sampai pantai yang hendak dituju, kami harus jalan kaki di jalan setapak setidaknya satu kilo. Jalannya masih dari tanah dan berlumut. Beberapa kali aku hampir terpleset, tetapi Mas Dhika diam saja. Dia terus jalan seolah aku tidak ada. Baiklah, dia sudah cukup baik meminjamiku jaket, jadi aku tidak akan protes sekalipun dia agak menyebalkan. Begitu keluar jalan setapak, aku langsung menganga menatap laut. Ralat, bukan laut, tetapi lebih tepatnya langit yang terlihat menyatu dengan laut. Kulihat Mas Dhika duduk di atas batu putih dan menatap depan. Aku tak berani mendekat, jadi aku duduk di batu kecil yang berjarak kurang lebih lima meter darinya. “Wah! Mataharinya mau terbit—“ “Sssst! Pelankan suaramu!” Aku hanya nyengir, lalu segera meraih ponsel yang baru saja kuhidupkan. Melihat notifikasi puluhan misscall dan puluhan chat, aku hanya bisa mengehela napas. Aku tidak ingin notifikasi itu mengganggu pemandangan sunrise kali ini, jadi aku akan membacanya nanti satu per satu. “Wah ...” aku terus dibuat takjub dengan pemandangan di depan sana. Selain mengambil gambar pemandangan, aku juga mengambil selfie untuk kenang-kenangan. Belum tentu lain kali aku bisa ke sini lagi. Terlebih katanya pantai ini belum bernama. Entah benar begitu atau sekadar jarang diketahui orang. Entahlah! Ketika aku asik mengedarkan pandangan, tiba-tiba aku terfokus pada Mas Dhika yang masih diam di tempatnya. Dia masih menatap lurus ke depan, membuat cetakan side profile yang sempurna dari arahku duduk. Dahi, hidung, bibir, juga dagu. Garisnya terlihat sempurna. Aku mengangkat ponsel, lalu memotretnya diam-diam. Terlepas setelah ini kami akan bertemu lagi atau tidak, aku akan mengingatnya sebagai malaikat penolongku. Jika istilah itu dianggap berlebihan, setidaknya aku akan mengenangnya sebagai orang baik. “Mas Dhika ... mau sampai kapan di sini?” tanyaku sembari melirik jam tangan. Tak terasa, saat ini sudah hampir setengah tujuh. Matahari juga sudah naik. “Entah.” Dia menjawab pelan, tanpa menoleh. Selagi menunggu Mas Dhika bergerak dari tempatnya, aku mengecek ponsel. Pesan yang pertama kali kubuka justru dari Mas Dipta. Aku masih takut membaca pesan dari Mama, Papa, juga Mas Davka. Mas Dipta Pulang, Des! Desya! Kamu masih hidup, kan? Kamu dalam masalah besar. Kok centang satu? Des, hubungi aku kalau udah baca pesan ini. Tenang, aku enggak akan marahin kamu. Aku berada di pihakmu apa pun yang terjadi. ... Aku menghela napas panjang begitu membaca pesan dari Mas Dipta. Pesan terakhir darinya dikirim semalam. Ngomong-ngomong, aku cukup kaget karena sinyal di sini ternyata full. “Aduh! Aku enggak berani buka pesan yang lain!” aku menggumam frustasi. Aku menunduk, menyembunyikan wajah di balik kedua lutut. Aku tidak tahu akan bagaimana setelah ini. Yang jelas, Papa dan Mama pasti marah besar. Aku harus siap dengan konsekuensi terburuk. Aku menunduk cukup lama sampai ketika tiba-tiba badanku ditarik paksa untuk berdiri dan seseorang mendekapku erat. Di saat yang sama, air laut sudah menerjang kakiku dengan sangat kuat. Air itu merendam kakiku sampai lutut. Aku pasti jatuh terhempas—bahkan mungkin agak terseret— andai tidak ada yang menahan badanku karena ombak itu datang dengan sangat tiba-tiba dan kuat meski beberapa detik kemudian langsung pergi. Aku mendongak diiringi detak jantung yang sangat cepat karena kaget. Mata yang saat ini berjarak cukup dekat denganku sedang menatapku tajam. “Berani-beraninya kamu tidur di tepi pantai. Mau mati?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN