“Kenapa kamu ketus gitu? Saya salah apa?” Pertama-tama, kuraih tangan Mas Dhika, lalu kuturunkan paksa sembari sedikit kupelintir. Namun, dia justru membalas pelintiran tanganku sampai membuatku meringis. “Aduh! Sakit, Mas, sakit!” Mas Dhika melonggarkan tangannya, tetapi dia tak melepas tanganku. “Kenapa tiba-tiba ketus?” tanyanya lagi. “Apa salah saya?” “Kenapa pula pegang-pegang dagu?” aku menatapnya garang. “Siapa yang megang? Saya hanya menempelkan telunjuk saya.” “Sama aja! Orang ada kontak fisik!” “Jadi kenapa ketus?” Mas Dhika masih saja bertanya hal yang sama. Wajahnya sudah mundur, tetapi matanya terus menatapku lurus. “Emang enggak boleh? Yang biasanya ketus siapa?” “Ini bukan saatnya saling membalas. Tadi kamu baik-baik saja, bahkan masih sempat cengar-cengir. Kenapa t