Mas Dhika mengendarai mobil cukup jauh. Jalan yang dituju pun antara asing dan tidak di mataku. Aku seperti tahu, tetapi sulit menjabarkan.
Selama di perjalanan, aku hanya diam di tempat. Mas Dhika pun tak mengajakku bicara sama sekali. Entah sudah berapa banyak lembar tisu yang kuhabiskan. Aku mengumpulkannya ke dalam sebuah plastik yang tadi diambil dari dashboard mobil.
Mas Dhika akhirnya menghentikan mobilnya di sebuah parkiran pinggir jalan. Aku menoleh, tetapi dia tak menghiraukanku. Dia turun, dan aku pun segera ikut turun meski penampilanku saat ini berantakan.
Aku mengedarkan pandangan. Lokasiku saat ini mirip dengan suatu tempat. Aku rasa, ini masih masuk area Bantul.
“Mas—“
“Ayo, masuk. Pernah ke sini?”
Aku celingukan lagi. “Belum. Di mana ini?”
“Kebun Buah Mangunan.”
“Eh? Sama Hutan Pinus Mangunan, sama atau beda?”
“Beda.”
Aku segera berlari ketika melihat Mas Dhika mengantri di loket masuk. Lagi-lagi aku celingukan. Tanah dan pepohonan di sini terlihat kering. Sepertinya sejak pagi belum hujan. Padahal, dataran tinggi cenderung memiliki curah hujan yang tinggi pula.
“Waaah!” aku langsung menutup mulut takjub begitu melihat pemandangan yang terpampang nyata di depanku.
Awan putih diapit dua tebing berwarna hujau. Cantik sekali.
“Jadi belum pernah ke sini sama sekali?”
Aku menggeleng. “Belum. Pernahnya ke Hutan Pinus Mangunan sama Becici.”
“Kan satu arah. Bedanya kalau ke hutan pinus dan Becici jalannya lurus terus, sementara kalau mau ke sini harus belok kiri.”
“Ah ... iya. Pantesan tadi sempat enggak asing.”
Mas Dhika kini duduk di bangku kayu, sementara aku masih berdiri di samping pembatas. Mau mendekat ke arahnya pun rasanya tak enak.
“Ngomong-ngomong, kenapa ngajak saya ke sini, Mas?”
“Kamu nangis terlalu lama, jadi tahu-tahu sudah sampai sini. Mau mengajak ke tempat makan, tadi kita sudah makan di warung kopi.”
Aku tersenyum, lalu jalan pelan mendekatinya. Aku duduk di bangku yang sama, tetapi sengaja memberi jarak.
“Saya tidak akan bertanya tentang tadi, jadi kamu tenang saja. Anggaplah ini rewards dadakan karena kamu sudah menyetujui kerja sama yang saya tawarkan.”
“Dia mantan saya, Mas. Kami putus saat saya belum wisuda S1.” Entah kenapa, aku sangat ingin jujur tentang hal ini pada Mas Dhika. “Saya minta maaf karena tiba-tiba ngaku-ngaku seperti tadi. Tujuannya hanya satu, agar dia tahunya saya sudah bahagia dengan yang lain.”
“Kamu belum move on dari dia dan pura-pura terlihat bahagia?”
“No! Justru lebih kepada agar dia enggak ganggu saya lagi karena tahunya saya sudah jadi milik orang lain.”
“Putus saat kamu belum wisuda, itu artinya sudah dua tahun?”
“Justru hampir tiga tahun, atau mungkin malah lebih. Ada jeda waktu dari saya wisuda sampai daftar S2.”
“Selama tiga tahun itu, dia diam saja?”
“Jelas enggak. Dia pernah datang menemui saya di kos yang lama, tapi saya enggak sepanik tadi karena kos yang lama lokasinya berada di tengah kota dan ada satpamnya juga.”
“Kenapa harus panik? Dan kenapa pula sampai menangis seperti tadi? Saya jadi bertanya karena kamu yang memulai.”
Aku diam sebentar, tidak langsung menjawab. Mataku kembali memanas.
“Tidak usah jawab kalau tidak ingin.”
“Dia pernah hampir memperkosa saya karena saya tidak mau memenuhi ajakannya.” Satu tetes air mata keluar lagi, tetapi aku buru-buru mengusapnya. “Saat itu saya langsung minta putus, dan itu membuat emosinya seketika meledak. Salah saya juga, sih, mau-maunya sama cowok b******k seperti itu.”
“Kamu bilang hampir, itu artinya dia tidak berhasil?”
“Iya, percobaannya gagal. Saya berhasil menyelamatkan diri sekalipun kepala saya sempat benjol karena membentur tembok.”
Air mataku keluar semakin banyak, dan Mas Dhika langsung mengulurkan sapu tangannya. “Tidak usah dipaksakan bercerita kalau itu membuatmu sedih.”
“Saya cerita tentang ini bertujuan agar kos milik Ibu Mas Dhika lebih aware soal keamanan.”
“Sejauh ini aman karena ada warung kopi yang buka dua puluh empat jam. Setidaknya area kos tidak pernah benar-benar sepi orang.”
“Ya bagus kalau begitu.”
Sejujurnya, baru dengan Mas Dhika inilah aku jujur tentang Gavin yang pernah hampir memperkosaku. Aku terlalu malu untuk menceritakan hal itu pada orang lain, bahkan kepada orang tua, kakak, dan Jenna sekalipun.
Namun, entah kenapa dengan Mas Dhika aku seperti tidak ada beban. Aku justru merasa lega telah menceritakan hal ini padanya.
“Maaf, Mas. Saya malah curhat enggak jelas begini.” Aku berdiri, lalu kembali mendekat ke arah pembatas.
“Jangan bunuh diri,” ucap Mas Dhika yang membuatku tersenyum. Aku tak membalas dan terus maju sampai benar-benar mentok.
Aku menarik napas panjang, lalu mulai berteriak. “AAAAAAA!”
Beberapa pengunjung langsung menoleh padaku, tetapi aku tidak peduli. Bahkan jika mereka menganggapku gila sekalipun, aku tetap tak peduli.
Berselang beberapa detik, aku merasa kepalaku basah. Aku mendongak, ternyata hujan mulai turun. Banyak pengunjung yang berlarian, tetapi aku masih bergeming di tempat.
“Tidak mau kembali ke mobil?” tiba-tiba, Mas Dhika sudah berdiri di sebelahku.
“Mas Dhika sendiri kenapa malah ke sini?”
“Saya merasa hujannya cuma lewat. Mungkin dalam beberapa detik akan berhenti.”
Ternyata benar. Hujan kini sudah berhenti. Meski begitu, baju yang kukenakan sudah agak basah. Untungnya, bahannya cukup tebal dan gelap, jadi tidak nerawang.
“Melihat mantanmu datang ke kos hari ini, saya rasa kamu wajib bilang ke orang tua dan kakakmu.”
“Sejujurnya, mereka bahkan enggak tahu kalau saya hampir mengalami insiden nahas itu.”
“Lalu kenapa kamu bilang ke saya?”
“Enggak tahu juga.” Aku mengedikkan bahu. “Lupakan saja kalau gitu.”
“Tapi saya serius. Itu sudah kriminal. Jangan remehkan orang yang nekat. Sekali kejadian, nanti yang tersisa hanyalah penyesalan.”
Aku mengangguk. “Iya, sih. Ya sudah, nanti kalau dia datang lagi—“
“Jangan menunggu datang lagi. Harus secepatnya.”
“Tapi bagaimana kalau saya bilang itu, orang tua malah semakin maksa saya untuk pulang ke Jakarta dengan dalih khawatir?”
“Kamu lebih peduli tinggal lama di Jogja daripada memikirkan keselamatanmu?”
“Enggak bisakah saya bilang sama Mas Dhika aja?”
“Kenapa percaya sama saya? Bagaimana kalau saya sama jahatnya?”
Hening sesaat.
“Waktu di penginapan, Mas Dhika sudah buktiin semuanya. Meski saya tiba-tiba datang seperti penguntit, Mas Dhika masih mau kasih saya makan dan tempat tidur yang layak. Haruskah saya berprasangka buruk pada orang yang sudah banyak menolong saya?”
Mas Dhika menoleh. Dia menatapku. “Saya mungkin tidak sebaik yang kamu kira.”
“Baik dalam konteks apa dulu?”
“Semuanya.”
“Saya enggak tahu apa yang membuat Mas Dhika merasa begitu, tapi yang jelas, di mata saya Mas Dhika orang baik.”
“Tapi saya sarankan jangan jatuh cinta dengan saya.”
Mataku refleks mendelik. “Diiih! Pede amat!”
Untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Dhika tertawa lebar memperlihatkan giginya yang rapi dan putih bersih. Itu membuat ketampanannya meningkat berkali lipat.
“Justru saya jadi khawatir kalau Mas Dhika-lah yang tiba-tiba suka saya.”
“Sebelum bilang begitu, mengacalah lebih dulu.”
“Saya udah sering ngaca, kok. Saya cantik, saya—“
“Sssst! Sudah, cukup. Sekarang kita pulang. Kamu mulai berisik, itu artinya suasana hatimu sudah membaik.”
Tepat setelah mengatakan itu, Mas Dhika balik badan dan jalan lebih dulu. Aku sendiri segera mengekor di belakangnya dengan senyum yang— entah kenapa—terus merekah lebar.
***
“Btw, saya enggak bawa uang, lho, Mas” ujarku pelan begitu melihat semangkuk bakso jumbo tersaji di depanku. Aku menelan ludah melihat kuahnya yang ngaldu, juga potongan daging di dalam bakso yang terbelah.
“Kapan saya minta kamu yang bayar? Sebelum perutmu bunyi, makan itu.”
Aku meringis. “Terima kasih banyak, Mas.”
“Hm.”
Aku segera mendekatkan mangkuk bakso dan menyeruput kuahnya. Makan bakso di saat hujan memang tidak pernah salah.
Ngomong-ngomong hujan, hujan turun dengan deras tepat ketika kami baru saja keluar dari area Kebun Buah Mangunan. Telat satu menit saja, aku dan Mas Dhika bisa basah kuyup.
Begitu tiba di area kota, Mas Dhika tiba-tiba membelokkan mobilnya ke sebuah warung bakso pinggir jalan. Dia tidak mengatakan apa pun, tahu-tahu menanyaiku ingin pesan apa. Aku yang masih agak bingung, akhirnya memilih untuk dipesankan menu yang sama.
Mas Dhika di sebelahku makan dengan lahap. Sepertinya dia lapar setelah meladeniku yang hari ini sangat tidak jelas.
“Cepat dimakan. Maghrib harus sudah sampai rumah. Malam nanti saya ada kerjaan.”
“Iya.”
Aku melirik arloji, saat ini sudah pukul lima lewat beberapa menit. Itu artinya, aku dan Mas Dhika keluar empat jam lebih karena seingatku ketika keluar dari warung kopi tadi, jam baru menunjukkan pukul setengah satu.
Di tengah-tengah makan, ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata ada telepon dari Mas Dipta. Aku segera mengangkatnya.
“Hallo, Mas?” sapaku setengah ogah-ogahan. Manusia satu ini tahu adiknya sengsara sejak lama, tetapi baru sempat telepon sekarang.
“Iya, Hallo. Sehat?”
“Enggaklah! Apalagi setelah dikhianati.”
Mas Dipta tertawa keras di seberang sana. “Kurang uang?”
“Nanya doang, kalau enggak mau ngasih, enggak aku jawab.”
“Percaya sama aku, Des. Kelamaan berontak, nanti capek sendiri.”
“Ya biarin. Emang kuakui capek ngelawan Papa, tapi seru.”
“Bocil satu ini memang—“
“Enggak usah ngatain bocil kalau sendirianya dulu juga nyusahin.”
Mas Dipta tertawa lagi. “Udah makan?”
“Ini lagi makan.”
“Sama apa?”
“Bakso.”
“Sendiri?”
“Enggak.” Aku menoleh ke arah Mas Dhika. “Sama temen.”
Mas Dhika sempat balik menoleh, tetapi dia kembali melanjutkan makannya. Dia mungkin tidak terima kuakui sebagai teman.
“Jangan telat makan—“
“Enggak usah sok peduli, deh. Kalau peduli betulan, aturan transfer.”
“Kamu tidur dulu, nanti kutransfer di mimpimu.”
“Mas, sama adik sendiri jangan pelit-pelit napa? Lima juta aja, deh. Enggak banyak, itu.”
“Seratus ribu aja ogah—“
“Pelit banget, sumpah!”
“Aku telepon cuma mastiin kamu masih hidup.”
Memang kakak tak berguna!
Sepertinya benar kata Papa. Kebaikan Mas Dipta waktu itu hanya kamuflase. Dia sebenarnya sedang balas dendam padaku.
Kuakui, dulu saat Mas Dipta kabur ke Korea, aku sempat menipunya demi dia lekas pulang. Memang berhasil, tetapi entah kembalinya dia itu karena tipuanku atau karena dia sudah lelah berontak.
“Ngomong-ngomong, Mbak Karin sama si kembar, sehat, Mas?”
“Si kembar sehat, emaknya yang lagi sakit. Kecapekan, mungkin.”
“Salamin, ya, Mas. Semoga cepet sembuh.”
“Ya. Aamiin.”
“Mana lima juta—“
“Enggak. Aku tutup.”
“Mas—“
Telepon betulan di tutup.
Aku menggeram tertahan, lalu meletakkan ponsel setengah membantingnya. Bicara dengan Mas Dipta memang kadang-kadang bikin jengkel.
“Itu kakakmu yang kemarin?” tanya Mas Dhika beberapa detik kemudian. Baksonya sudah habis.
“Bukan. Yang ini kakak kedua saya. Dia kembarannya yang kemarin.”
Kening Mas Dhika mengkerut. “Kakakmu kembar?”
“Yes. Namanya Mas Upin dan Mas Ipin.”
“Serius?”
“Enggak, enggak.” Aku nyengir. “Namanya Mas Davka dan Mas Dipta.”
“Tadi kamu sempat nyebut nama Karin. Itu kakak iparmu?”
“Iya. Kenapa memangnya?”
“Tidak, saya hanya tiba-tiba ingat punya teman SMA namanya Karin. Kebetulan dia menikah dengan orang Jakarta.”
“Another Karin, mungkin, Mas? Nama Karin kan cukup pasaran.”
Mas Dhika mengangguk. “Kemungkinan besar, iya.”
Setelah selesai makan, kami segera keluar. Hujan belum sepenuhnya reda. Masih ada gerimis kecil yang cukup rapat.
Demi menghindari hujan, aku jalan cepat-cepat. Karena tak lihat-lihat, kakiku terpleset.
Kupikir aku kan jatuh terjerembab di genangan air, tetapi ternyata tidak. Ada tangan yang lebih sigap menahan bajuku. Aku megembuskan napas lega.
“Hati-hati!” Mas Dhika berujar penuh penekanan.
“I-iya.”
Aku buru-buru masuk mobil sebelum rambut semakin basah. Mas Dhika juga segera masuk dan langsung mengenakan seat belt.
“Minta tolong ambilin air mineral di depanmu.”
“Dalam dashboard?”
“Iya.”
Aku segera mengambil satu dan menyerahkannya pada Mas Dhika. Bukannya menerima, dia malah langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Lho? Ini air mineralnya, Mas.”
“Ehm!” Mas Dhika berdehem pelan, lalu menerima air mineral dariku. Tangannya setengah meraba karena posisinya menyerong membelakangiku.
“Mas Dhika kenapa, sih?”
Dia tak menjawab. Dia malah mengambil selimut kecil yang tersampir di sandaran kursinya, lalu melemparkannya padaku.
“Tutupi dadamu! Sepertinya kancing bajumu lepas.”
Aku refleks menunduk.
“Hah!” Mataku mendelik ketika menyadari dua kancing kemejaku hilang. Itu membuat bagian atasnya terbuka cukup lebar. Aku segera meraih selimut dan menutupi diri. Tidak hanya sebatas d**a, tetapi sampai kepala.
Demi apa pun, aku malu setengah mati!
***