“Saya harus jatuh cinta dan menikah dengan orang asli Jogja. Dengan begitu, saya akan selalu memiliki alasan untuk datang ke sini. Bukan begitu, Mas?”
Alis Mas Dhika seketika bertaut. Matanya juga menyipit. “Saya ragu ada orang Jogja yang mau sama kamu.”
Aku tertawa pelan. Benar-benar jawaban yang bisa diekspektasikan keluar dari mulut si manusia batu. Bicara pedas dan fakta adalah keahliannya.
“Hm ... sepertinya begitu. Itulah kenapa saya mau memaksimalkan hidup di sini sebelum kembali ke Jakarta. Terdengar konyol, memang, tapi apa boleh buat?”
Hujan di luar semakin deras. Jalanan bahkan sudah langsung banjir. Laju kendaraan melambat, cipratan air di mana-mana.
Aku dan Mas Dhika masih bergeming di tempat duduk masing-masing. Meja sudah kosong karena karyawan baru saja datang mengambil piring kotor.
“Oh iya, Mas.”
“Hm?” Mas Dhika menatapku dan meletakkan ponselnya. “Kenapa lagi?”
“Memangnya Mas Dhika percaya, saya akan mengerjakan tesis dengan baik? Bagaimana kalau tesis saya kurang bagus?”
“Tesis bagus atau tidak kan milikmu. Yang jelas, Pak Arman tidak mungkin Acc tesis yang isinya asal-asalan. Saya menawarkan ini bukan karena saya percaya kamu, tapi saya percaya Pak Arman.”
Aku mencebik pelan. “Ya jangan jujur-jujur banget, dong! Lihat saja! Nilai tesis saya pasti A.”
“Buktikan saja. Kalau kamu menyetujui tawaran saya tadi, dan tesismu betulan dapat A, saya akan kasih rewards.”
“Wow! Beneran, apa?”
“Iya. Saya akan kasih rewards yang pantas.”
“Apa kira-kira?”
“Setuju saja belum, berani tanya kira-kira?”
Aku nyengir. “Tunggu dua minggu, saya akan jawab lamaran Mas Dhika.”
“Apa?” Mas Dhika tampak kaget. “Lamaran, kamu bilang?”
“Kalau bukan? Memangnya lamaran hanya untuk orang menikah? Dalam dunia kerja pun istilahnya melamar.”
“Memangnya saya sedang melamar kerja di tempatmu?”
“Kan mau ikut menikmati hasil jerih payah saya.”
“Terserah kamu sajalah!”
“Oh iya, Mas.”
“Apa lagi?” nada suaranya mulai terdengar kesal.
“Mumpung lagi bicara agak serius begini, dari lubuk hati yang paling dalam, sedalam palung mariana—“
“Langsung saja intinya!” potong Mas Dhika tak sabaran.
“Kaku amat jadi orang. Cepet tua, syukurin!”
Mas Dhika tampak memejamkan matanya sesaat. Dia juga menghela napas pelan. “Apa? apa yang mau kamu katakan?” Suaranya merendah.
“Saya mau minta maaf soal insiden tujuh tahun lalu. Saya minta maaf karena bikin Mas Dhika diputusin secara enggak adil. Saya minta maaf bangeeet!” Aku menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajah. “Saya berani bersumpah kalau saya enggak ada niatan mau menghancurkan hubungan orang. Saya hanya mencari perlindungan, tapi salah sasaran karena situasnya jadi rumit.”
“Sudah lama saya maafkan.”
“Beneran? Terus, terus, pacarnya Mas Dhika sekarang di mana? Kalian jadi putus atau enggak?”
“Jadi sekarang kamu mulai kepo dengan masa lalu saya?”
“Bukan gitu. Masalahnya masa lalu yang ini ada kaitanyannya dengan saya.”
Kalau boleh jujur, sebenarnya selama tujuh tahun ini aku sering tiba-tiba merasa bersalah ketika ingat insiden itu. Aku menghancurkan hubungan orang dalam sekejap.
“Ya seperti yang kamu lihat saat itu. Dia minta putus.”
“Terus Mbaknya di mana sekarang?”
“Sudah bahagia dengan suami dan kedua anaknya.”
Aku menganga. “Suami dan kedua anak? Berarti sudah menikah?”
“Pertanyaanmu sungguh retorik.”
“Hehehehe ... belum jodoh, berarti, Mas.”
“Daripada belum, memang tidak.”
“Iya, sih.”
Entah kanapa, aku merasa Mas Dhika hari ini agak berbeda. Dia tidak sekejam biasanya. Bicaranya juga lumayan banyak dan sedikit lebih ekspresif daripada kemarin-kemarin.
Baguslah, manusia batu mulai ada perubahan.
“Hujan sudah reda. Saya pamit sekarang.”
“Saya juga. Saya mau pulang ke kos.”
Mas Dhika tak menanggapi. Dia memilih untuk terus berjalan keluar dan aku mengekor di belakangnya.
“Mas Dhika!” panggilku sebelum dia masuk mobil.
“Apa?”
“Terima kasih untuk traktirannya.”
Dia mengangguk, lalu segera masuk mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun.
***
“Serius dapat satu setengah juta?” aku menatap tak percaya pada Rifa yang baru saja memberiku ‘gaji’ dari hasil rental mobil. Dia tiba-tiba mengabari ingin bertemu, ternyata mau memberi uang.
“Iya, Des. Kalau kotornya jelas lebih. Itu udah aku potong buat perawatan dan lain-lain.”
“Oke-oke. Makasih, ya.”
“Sama-sama. Semoga bulan depan tambah, ya. Musim ujan enggak seramai musim kemarau soalnya. Ada yang rental aja syukur.”
“Aamiin. Pokoknya beneran makasih, ya, Rif.”
“Iya, sama-sama.” Rifa tiba-tiba tersenyum sambil geleng-geleng. “Agak heran sih, lihat kamu terima uang satu setengah juta bisa sesenang ini di saat sehari pernah habis dua juta.”
“Kamu kan tahu sendiri, Rif.” Aku meringis. “Keuanganku lagi ancur banget.”
“Iya. Ya udah, aku pulang dulu, ya. Aku masih harus ngurus banyak hal hari ini.”
“Oke.”
Setelah Rifa pergi, aku ikut pergi. Kebetulan kami bertemu di warung kopi dekat kosku. Rifa sudah tahu aku pindah kos, bahkan dia tahu tentang apa yang sedang kualami.
Bicara Rifa, dia adalah teman kuliahku. Dia belum lulus, tetapi sudah seminar proposal bulan lalu. Kami cukup dekat meski tak sedekat aku dengan Jenna.
Aku pulang ke kos dengan perasaan bahagia. Percayalah, aku belum pernah sebahagia ini hanya karena uang satu setengah juta. Entah kenapa, rasanya justru lebih bahagia daripada ketika mendapat uang bulanan dari Papa yang bahkan jumlahnya sepuluh kali lipat lebih.
“Kamu sekarang pindah kos di sini?” langkahku seketika berhenti begitu mendengar suara itu.
“M-mas Davka?”
Iya, kini kulihat Mas Davka sedang berdiri di depan pintu gerbang kosku. Sepertinya dia baru saja pulang ngajar karena style-nya masih cukup rapi. Sepatu pantofel hitam, celana bahan yang juga hitam, serta kemeja abu muda dengan lengan yang sudah digulung.
“Hehehehe ....” aku langsung nyengir lebar.
“Jangan cuma heha hehe. Sejak kapan?”
“Dapat info dari Jenna-kah?”
“Jawab dulu. Sejak kapan?”
“Salim dulu, Mamaskuuuh.” Aku meraih tangan Mas Davka, lalu mendongak. “Baru sebulanan.”
“Kenapa pindah?”
“Biar lebih irit, Mas.” Aku nyengir lagi. “Di sini cuma separonya dari kos yang kemarin.”
“Kenapa enggak bilang?”
“Ya kenapa harus bilang?”
“Kos ini lebih jauh dari kampus. Sudah enak-enak di kos yang dulu malah pindah.”
“Di sini enak, kok. Tuh, lihat, ada sawah. Kalau pagi sama sore rasanya syahdu karena anginnya sepoi-sepoi.”
“Ikut mobilku. Kita ngobrol di luar.”
“Enggak mau. Aku mau balik kos—“
“Desya!” Mas Davka menatapku tajam.
“Lima juta?”
“Enggak ada lima juta!”
“Pelit kalilah!”
“Cepet masuk mobil.”
“No! Udah sore, aku mau mandi lalu rebahan. Tadi aku habis dari kampus buat bimbingan.”
“Kita perlu bicara. Jangan terlalu keluar jalur, Des.”
“Bagian mana yang keluar jalur? Aku cuma pindah kos, bukan pindah keyakinan—“
“Bukan saat yang tepat buat bercanda!”
Aku langsung diam.
“Udah makan?”
“Belum.”
Mas Davka tiba-tiba membuka pintu mobil bagian belakang, lalu mengeluarkan tiga tas belanja berukuran besar berisi aneka makanan dan minuman. Aku melongo.
“Ambil!” katanya dengan nada ketus.
“Beneran, apa?”
“Cepet ambil sebelum aku berubah pikiran.”
Aku langsung meraih tiga tas itu, lalu meletakkannya di depan gerbang. Aku menatap Mas Davka sesaat, sebelum akhirnya berlari ke arahnya dan memeluknya erat-erat.
“Makasih banyaaaak!” entah kenapa, tiba-tiba mataku agak memanas.
“Sebandel apa pun kamu, kamu tetap adikku. Jangan lupa makan.”
Aku mengangguk. Pelukanku pada Mas Davka masih erat. “Makasih, Mas ....”
Mas Davka mendorongku pelan, lalu mengusap air mataku yang entah kenapa terus keluar. Padahal tidak ada alasan aku sedih, tetapi entah kenapa aku sampai menangis seperti ini.
“Masih cengeng begini, sok mau hidup keras. Tinggal ikut Papa, hidupmu jauh lebih mudah—“
“Mas tahu sendiri kalau aku lulus, aku bakal disuruh langsung pulang dan ngurus butik Mama. Aku belum siap. Aku masih mau di sini.”
“Begitulah dewasa, Des. Kita enggak bisa terus main-main.”
Aku mengangguk. “Iya, aku tahu. Cuma bentar dulu, dikit lagi. Setidaknya sampai aku lebih siap.”
“Ya udah. Sana masuk.”
“Makasih banyak, ya, Mas?”
“Ya.”
Mas Davka sempat menepuk kepalaku dua kali sebelum akhirnya masuk mobil dan pamit pergi. Aku terus melambaikan tangan meski tak mendapat balasan sama sekali.
Baru saja aku hendak mengambil tiga tas berisi belanjaan yang diberikan Mas Davka, aku sudah berjengit kaget ketika melihat ada orang yang berdiri jarak lima meter dariku.
“M-mas Dhika?”
Dia hanya menatapku sejenak, lalu masuk rumah tanpa membalas sedikit pun sapaanku.
***
Keputusanku akhirnya bulat.
Setelah menimbang berhari-hari, aku memutuskan untuk menerima tawaran dari Mas Dhika. Di lihat dari sudut pandang mana pun, tawaran itu memang bagus untukku. Ditambah lagi, aku juga dapat info dari Pak Arman kalau lokasi penelitianku yang lama semakin tidak memungkinkan untuk dilanjutkan.
“Kalau kamu setuju, tanda tangan di sini.” Mas Dhika menyerahkan satu bandel kertas padaku.
“Apa ini?”
“Surat perjanjian. Baca saja kalau penasaran dengan detail isinya. Kita transparan saja.”
Aku menerima kertas itu dan membacanya dengan teliti. Setelah memastikan tidak ada ketentuan yang aneh, akhirnya surat perjanjian itu segera kutandatangani. Anggap saja ini juga kontrak, yakni kontrak untuk mengatur hak, kewajiban, serta batasan-batasan tertentu demi kebaikan bersama.
“Sekali lagi saya mau menekankan, saya tidak mau diburu-buru.”
“Ya. Yang jelas tesismu akan diselesaikan sebelum semester delapan berakhir. Betul?”
“Iya.” Aku mengangguk. “Saya pastikan selesai karena saya tidak ingin di-DO.”
“Oke.”
Setelah tanda tangan bermaterai, Mas Dhika mengambil lagi kertas yang kubawa. Dia memasukkannya ke dalam amplop coklat, lalu membawanya di tangan kiri.
“Kalau butuh apa-apa untuk penelitianmu, kamu bisa hubungi kontak yang semalam saya kasih. Namanya Shinta. Dia sudah bekerja dengan saya sejak rumah makan saya baru di buka. Dia benar-benar ikut saya dari nol.”
“Siap, Mas.”
Setelah semua selesai, aku dan Mas Dhika keluar warung kopi. Sepertinya warung kopi ini akan menjadi salah satu tempat yang paling sering kukunjungi. Pasalnya, selain luas, suasananya juga enak. Sangat cocok untuk mengerjakan tugas. Atau kalau konteksku di sini, mengerjakan tesis.
“Kemarin itu, pacarmu?” tanya Mas Dhika ketika kami jalan beriringan untuk pulang.
“Hah? Yang mana?”
“Mungkin empat atau lima hari yang lalu?”
“O-oh, itu. Bukan. Dia kakak saya. Dia yang dulu itu, yang jemput saya waktu di gang buntu.”
“Kakakmu tinggal di Jogja?”
“Iya, soalnya dapat istri orang Jogja dan kerja di Jogja juga.”
“Kenapa tidak tinggal bersamanya?”
“Ya enggak mungkinlah. Saya enggak mau ngerepotin dia. Lagipula kurang etis kalau saya numpang tinggal karena dia sudah berkeluarga. Paling hanya sesekali jenguk kalau kangen sama ponakan.”
Mas Dhika diam, tak menyahut lagi. Kami lanjut jalan tanpa suara.
“Desya ...” tiba-tiba, seseorang memanggilku. Bukan, itu bukan Mas Dhika. “Kamu udah pindah tempat tinggal, rupanya.”
Mataku mengerjap begitu melihat siapa yang saat ini berdiri di depan mobil yang terparkir di depan kosku. Ketika dia berjalan mendekat, aku refleks mengapit lengan Mas Dhika erat-erat. Mas Dhika menoleh, tetapi aku semakin mengeratkan apitan tanganku.
“Lama tak jumpa, Des. Kamu enggak capek, apa, cantik terus?”
“Ngapain ke Jogja? Tahu dari mana kosku di sini?”
Gavin malah tertawa keras.
Iya, dia Gavin. Mantanku yang sudah kadaluarsa.
“Kamu tahu, bukan hal yang sulit untuk aku tahu di mana kamu tinggal.” Gavin menatapku sesaat, lalu gantian menatap Mas Dhika. “Siapa dia? Dia bukan kakakmu.”
“Memang bukan. Dia pacarku sekarang. Kami bahkan mau menikah segera. Kenapa?”
Mas Dhika seketika menoleh dengan mata menatapku tajam. Aku sendiri hanya bisa meremas lengannya sebagai tanda kalau aku butuh bantuannya. Aku harap dia bisa paham dengan kode yang sangat samar ini.
“Menikah, katamu? Kamu aja belum lulus!”
“Memangnya ada larangan mahasiswa pascasarjana menikah? Mahasiswa pascasarjanan punya cucu pun enggak masalah.”
“Kamu kelihatan panik.”
“Panik apanya—” kalimatku terhenti ketika Mas Dhika tiba-tiba merangkul pundakku.
“Siapa kamu?” tanya Mas Dhika yang membuat Gavin menoleh.
“Saya pacarnya Desya.”
“Pacar, kamu bilang?! Please, deh, Vin. Kita putus udah lama.”
“Aku enggak pernah setuju kita putus—“
“Menjalin hubungan harus atas kesepakatan berdua. Kalau salah satu sudah tidak ingin, jangan memaksa.” Setelah mengatakan itu, Mas Dhika menarikku masuk mobilnya yang terparkir di depan rumah. Aku pasrah saja karena aku tidak tahu harus bagaimana selain melarikan diri.
“Desya, Des—“
“Jangan ganggu pacar saya. Minggir, atau saya tabrak.” Aku cukup kaget dengan ancaman Mas Dhika untuk Gavin. Setelah mengatakan itu, dia masuk mobil dan membawaku pergi dari area kos.
Tanpa bisa dibendung lagi, air mataku kini mulai menetes. Bayangan tiga tahun lalu seketika datang seperti kaset rusak.
Tiba-tiba, satu kotak tisu mendarat di pangkuanku. Itu artinya Mas Dhika tahu kalau aku menangis. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia terus mengemudikan mobilnya. Herannya, aku tidak penasaran dia akan membawaku ke mana.
Kini yang kurasakan hanya satu. Entah kenapa, aku merasa sangat aman berada di sampingnya.
***